UU Perumahan zalimi masyarakat
A
A
A
Sindonews.com - Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga rumah sejahtera tipe 36 dari Rp70 juta menjadi Rp88-145 juta mendapat kritikan dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).
Dalam realisasinya penyaluran dana FLPP baru teralokasikan pada 6.000 unit rumah, padahal Kemenpera menargetkan alokasi pada 240 ribu unit rumah. Namun, penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi melalui skim FLPP ini masih belum bisa mencapai target karena masih terhalang kendala besar.
"Permenpera baru tersebut tujuannya untuk mengangkat target penyeluran FLPP, tapi belum bisa full, karena masih terkendala Pasal 22 ayat 3 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dimuat dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 yang menetapkan standar minimal rumah yang bisa memperoleh dana FLPP adalah tipe 36," kata Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo sebagaimana dikutip dari Okezone di Jakarta, Jumat (1/6/2012).
Menurutnya, selama UU tersebut belum diubah maka masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan tetap sulit memiliki rumah dengan subsidi pemerintah. Alasannya, MBR hanya mampu membeli rumah dengan harga dibawah Rp70 juta dan notabene ukurannya di bawah tipe 36, yakni tipe 21 m2, 27 m2 dan 30 m2. Sementara rumah dengan tipe ini belum, diperbolehkan memperoleh subsidi FLPP.
"Dalam UU tersebut juga ada peraturan yang tidak memperbolehkan masyarakat membangun rumah di bawah tipe 36, bahkan bisa didenda hingga Rp5 miliar. Itu UU yang zalim. Makanya harus segera diubah, agar masyarakat nantinya dapat membangun atau membeli rumah di bawah tipe 36 yang memang sesuai kemampuan mereka," terang Eddy.
Dia juga mengungkapkan ketidakadilan lain yang tersirat dalam UU tersebut. "Untuk rumah susun (rusun) yang tipenya di bawah 36 boleh memperoleh KPR bersubsidi, padahal rusun kan yang beli masyarakat kelas menengah, sedangkan masyarakat miskin justru tidak bisa mendapat subsidi. Ini sudah membatasi hak asasi manusia untuk bisa memiliki rumah dan bertentangan dengan UUD '45 dan Pancasila Sila ke-5," ujarnya.
Saat ini Apersi masih menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi atas tuntutan meraka dalam uji materiil (judicial review) Pasal 22 ayat 3 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dimuat dalam UU Nomor 1 Tahun 2011.
"Kami masih menunggu keputusannya. Ini sudah satu bulan lebih, belum ada keputusan. Heran juga kenapa bisa lama begini. Kami akan tetap menuntut UU tersebut diubah, jika belum berhasil juga kami akan menghadap langsung ke DPR hingga presiden," ungkap Eddy.
Eddy pun menyampaikan bahwa hal kenaikan harga rumah sederhana tersebut merupakan kenyataan yang harus diambil pemerintah. Pasalnya, harga Rp70 juta dinilai sebagai hal yang tidak logis.
"Sebenarnya harga tersebut bukan naik, tapi memang sesuai kenyataan yang ada, realitanya seperti itu. Rumah tipe 36 dengan harga Rp70 juta yang diatur dalam Permenpera No 04 dan 05 Tahun 2012 itu tidak logis dan tidak wajar. Harga baru yang ditetapkan sekarang hanya menyesuaikan dengan kondisi sebenarnya," kata Eddy.
Menurutnya, Permenpera baru yang mengatur kenaikan harga rumah sejahtera tersebut belum serta merta dapat direalisasikan.
"Efeknya belum serta merta, karena untuk dilaksanakan harus ada sebelumnya perjanjian kerjasama operasional (PKO) antara Badan Layanan Umum (BLU) Kemenpera dengan bank-bank pelaksana yang memberikan KPR bersubsidi," paparnya.
Dia menambahkan, dampak dari Permenpera lama yang menetapkan harga rumah sejahtera tipe 36 maksimal Rp70 juta tersebut menyebabkan mandeknya penyaluran KPR bersubsidi melalui skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang baru tersalurkan sekira satu persen dari yang ditargetkan pemerintah.
Dalam realisasinya penyaluran dana FLPP baru teralokasikan pada 6.000 unit rumah, padahal Kemenpera menargetkan alokasi pada 240 ribu unit rumah. Namun, penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi melalui skim FLPP ini masih belum bisa mencapai target karena masih terhalang kendala besar.
"Permenpera baru tersebut tujuannya untuk mengangkat target penyeluran FLPP, tapi belum bisa full, karena masih terkendala Pasal 22 ayat 3 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dimuat dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 yang menetapkan standar minimal rumah yang bisa memperoleh dana FLPP adalah tipe 36," kata Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo sebagaimana dikutip dari Okezone di Jakarta, Jumat (1/6/2012).
Menurutnya, selama UU tersebut belum diubah maka masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan tetap sulit memiliki rumah dengan subsidi pemerintah. Alasannya, MBR hanya mampu membeli rumah dengan harga dibawah Rp70 juta dan notabene ukurannya di bawah tipe 36, yakni tipe 21 m2, 27 m2 dan 30 m2. Sementara rumah dengan tipe ini belum, diperbolehkan memperoleh subsidi FLPP.
"Dalam UU tersebut juga ada peraturan yang tidak memperbolehkan masyarakat membangun rumah di bawah tipe 36, bahkan bisa didenda hingga Rp5 miliar. Itu UU yang zalim. Makanya harus segera diubah, agar masyarakat nantinya dapat membangun atau membeli rumah di bawah tipe 36 yang memang sesuai kemampuan mereka," terang Eddy.
Dia juga mengungkapkan ketidakadilan lain yang tersirat dalam UU tersebut. "Untuk rumah susun (rusun) yang tipenya di bawah 36 boleh memperoleh KPR bersubsidi, padahal rusun kan yang beli masyarakat kelas menengah, sedangkan masyarakat miskin justru tidak bisa mendapat subsidi. Ini sudah membatasi hak asasi manusia untuk bisa memiliki rumah dan bertentangan dengan UUD '45 dan Pancasila Sila ke-5," ujarnya.
Saat ini Apersi masih menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi atas tuntutan meraka dalam uji materiil (judicial review) Pasal 22 ayat 3 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dimuat dalam UU Nomor 1 Tahun 2011.
"Kami masih menunggu keputusannya. Ini sudah satu bulan lebih, belum ada keputusan. Heran juga kenapa bisa lama begini. Kami akan tetap menuntut UU tersebut diubah, jika belum berhasil juga kami akan menghadap langsung ke DPR hingga presiden," ungkap Eddy.
Eddy pun menyampaikan bahwa hal kenaikan harga rumah sederhana tersebut merupakan kenyataan yang harus diambil pemerintah. Pasalnya, harga Rp70 juta dinilai sebagai hal yang tidak logis.
"Sebenarnya harga tersebut bukan naik, tapi memang sesuai kenyataan yang ada, realitanya seperti itu. Rumah tipe 36 dengan harga Rp70 juta yang diatur dalam Permenpera No 04 dan 05 Tahun 2012 itu tidak logis dan tidak wajar. Harga baru yang ditetapkan sekarang hanya menyesuaikan dengan kondisi sebenarnya," kata Eddy.
Menurutnya, Permenpera baru yang mengatur kenaikan harga rumah sejahtera tersebut belum serta merta dapat direalisasikan.
"Efeknya belum serta merta, karena untuk dilaksanakan harus ada sebelumnya perjanjian kerjasama operasional (PKO) antara Badan Layanan Umum (BLU) Kemenpera dengan bank-bank pelaksana yang memberikan KPR bersubsidi," paparnya.
Dia menambahkan, dampak dari Permenpera lama yang menetapkan harga rumah sejahtera tipe 36 maksimal Rp70 juta tersebut menyebabkan mandeknya penyaluran KPR bersubsidi melalui skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang baru tersalurkan sekira satu persen dari yang ditargetkan pemerintah.
()