Industri kapal Tegal mati suri
A
A
A
Sindonews.com - Kejayaan industri galangan dan dok kapal di Kota Tegal kini seakan tinggal kenangan. Secara perlahan, satu per satu perusahaan pembuatan kapal rakyat mulai kolaps akibat berbagai hal. Pada era 1980-an, industri galangan kapal di kota berjuluk ”Bahari” ini tumbuh pesat.
Dari data Pemkot Tegal menyebutkan, industri galangan kapal atau dok saat ini tinggal 15 perusahaan, antara lain PT Pantai Mulia Semesta, PT Tegal Shipyard Utama, H Sodikin, PT Amas International Lines, PT Sanur Marindo Shipyard, PT Citra Bahari, PT Sarana Bahtera Shipyard, PT Tegalindo, PT Surut Berpantang, CV Pantura Bersaudara, PT Perikanan Nusantara Shipyard, Mulya Jaya, KUD Karya Mina, PT Sarana Lautan Nusantara, dan PT Jakarta Lioyd.
Jumlah itu diperkirakan lebih banyak pada era 1980-an, namun seiring perkembangan waktu dengan berbagai kompetitor dan berbagai hambatan, jumlahnya terus menyusut. Industri kapal di Tegal ini mampu membuat aneka jenis kapal, dari kapal baja atau kapal kayu biasa. Tapi, sampai saat ini potensi itu belum berjalan maksimal. Kapal baja yang dibuat tenaga ahli dari Kota Tegal dan sekitarnya ini baru sebatas kapal berukuran kecil, yakni sekitar 2.000 panjang bobot mati (DWT).
Pendangkalan muara menjadi kendala utama. Kapal baja yang diproduksi perusahaan galangan kapal Kota Tegal baru sebatas jenis kapal ferry dan kapal keruk. Selain itu, kapal kayu jenis sopek,semi purseseine, dan purseseine untuk keperluan penangkapan ikan lepas pantai. Adanya galangan kapal dan dok ini sangat menunjang kelancaran operasional kegiatan penangkapan ikan maupun kegiatan pengangkutan barang antarpulau di wilayah nusantara.
Penanggung jawab Unit Dok KUD Karya Mina Tegal,Suharto, 68, mengatakan kelesuan industri galangan kapal dan dok ini terjadi akibat pendangkalan muara Kali Sibelis yang berada di Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.Pendangkalan menyebabkan kapal yang hendak diperbaiki atau yang akan dibuat menjadi terbatas. Sekitar lima tahun lalu,kata Suharto,jumlah kapal yang bisa masuk ke dok miliknya bisa mencapai 8-15 unit per bulan.
Namun pada saat pendangkalan mulai terjadi, jumlah kapal yang bisa masuk ke doknya hanya 6 unit per bulan. ”Kalau pendangkalan, kapal yang mau masuk ke dok jadi susah,” katanya ditemui SINDO di Unit Dok Kapal KUD Karya Mina Jalan Blanak Tegal, Jumat (1/6).
Menurut dia, kondisi demikian mengakibatkan pendapatan atau omzetnya berkurang. Sebelum pendangkalan muara, omzet perbaikan dan pembuatan kapal bisa mencapai Rp15 juta per bulan.
Namun, pascapendangkalan jumlahnya menurun menjadi sekitar Rp7 juta per bulan. Suharto mengaku sudah meminta kepada pemkot untuk mengeruk lumpur muara sungai. ”Pada 2012 ini, pemerintah sedianya akan melakukan pengerukan. Tapi gak tahu kapan,” ujarnya.
Kapal yang masuk ke dalam dok untuk perbaikan, kata Suharto, biasanya memakan waktu maksimal 5 hari per kapal. Rata-rata perbaikannya pada makal atau pendempulan kayu kapal, cat bodi, dan penambahan paku. Adapun biaya perbaikan kapal per unitnya mencapai Rp2 juta tergantung dari tingkat kerusakan.
Suharto menuturkan, industri dok kapal di Tegal sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Namun, dia tidak mengetahui persis jumlah industri kapal saat itu. ”Pada 1945 silam, dok sudah banyak yang berdiri,” ucapnya.
Adapun jenis kapal yang dibuat atau diperbaiki adalah kapal dogol dan kapal gillnet. Salah satu pekerja dok kapal di wilayah tersebut, Suripto, 47,mengatakan untuk jenis kapal yang diperbaiki itu ratarata ukuran 28 grass ton (GT) atau 30 GT ke bawah. ”Lebih dari 30 GT, itu masuk ke dok yang ada di Pelabuhan Tegal,” tutur warga Jalan Blanak, Kota Tegal ini.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSNI) Kota Tegal Mahmud Efendi menyatakan, nelayan di Tegal sangat mengandalkan keberadaan dok untuk memperbaiki kapalnya.
Wali Kota Tegal, Ikmal Jaya mengaku siap mengatasi kelesuan industri kapal di Tegal. ”Untuk menyongsong program pemerintah yakni Tegal Bisnis 2012, maka kendala pelaku industri akan ditindaklanjuti,” kata Ikmal saat mencanangkan Tegal Bisnis 2012.
Ikmal juga mengaku akan lebih memfokuskan pada sinergi pelaku pembangunan, yakni antara pemerintah dengan dunia usaha yang meliputi perbankan dan para pelaku usaha. (bro)
()