Kebijakan suku bunga pasca-OJK
A
A
A
Sindonews.com - Setelah melalui proses panjang, Undang-Undang (UU) tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disahkan akhir tahun lalu. Terbentuknya OJK menandakan bagaimana integrasi otoritas perbankan dengan otoritas jasa keuangan lainnya, dipandang lebih penting ketimbang integrasi otoritas perbankan dengan otoritas moneter.
Padahal sesungguhnya, keduanya sama pentingnya. Perbankan merupakan saluran utama kebijakan moneter memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sebagian besar jalur transmisi kebijakan moneter terjadi melalui bank atau dipengaruhi oleh suku bunga bank.
Fungsi Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tidak cukup hanya dengan menetapkan kebijakan moneter misalnya kebijakan BI Rate.BI perlu memastikan sinyal respons suku bunga kebijakan moneter itu diteruskan secepat dan sepenuh mungkin ke suku bunga simpanan dan kredit, agar berdampak optimal bagi perekonomian. Untuk itu, BI memerlukan perbankan yang tidak hanya prudent dan resilient, tetapi juga efisien dan kompetitif dalam menjalankan intermediasi keuangan.
Transmisi kebijakan moneter yang belum optimal terjadi dalam sistem perbankan saat ini, yang dinilai terjaga stabil terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) yang berada jauh di atas minimum delapan persen dan terjaganya rasio kredit bermasalah bruto di bawah lima persen.
Penerusan BI Rate ke suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), suku bunga simpanan, dan suku bunga kredit masih menemui banyak friksi. Penyebabnya beragam. Di hulu rantai transmisi moneter, suku bunga PUAB belakangan ini bergerak di bawah BI Rate karena berlebihnya likuiditas perbankan.
Namun, ekses likuiditas itu tidak membuat suku bunga simpanan mudah turun karena struktur pendanaan perbankan belum ideal. Sekitar 60 persen dana deposito dipasok oleh sejumlah kecil nasabah besar bernilai rekening lebih dari dua miliar rupiah. Nasabah besar ini berdaya tawar kuat untuk menikmati suku bunga tinggi melampaui suku bunga penjaminan simpanan, sedangkan nasabah lainnya memperoleh suku bunga yang mengikuti tingkat bunga penjaminan.
Sayangnya, tingkat bunga penjaminan belum mengikuti gerak suku bunga di pasar uang yang lebih mencerminkan likuiditas perbankan. Selain karena suku bunga dana yang tidak gampang turun, ada penyebab lain yang perlu dibenahi agar suku bunga kredit bisa bergerak lebih fleksibel mengikuti suku bunga kebijakan; supaya marjin suku bunga bersih (NIM) yang kini masih di atas lima persen kelak menyamai marjin di negaranegara tetangga yang lebih rendah.
Pertama, mendorong dan mengatur bank untuk terus mengefisiensikan operasional usahanya. Selain itu, bank perlu terus didorong untuk lebih akurat menetapkan premi risiko agar tidak berlebihan mengalokasikan biaya cadangan penghapusan kredit bermasalah. Bank juga perlu menetapkan target CAR optimal yang dikaitkan dengan target penurunan suku bunga kredit.
CAR yang terlalu tinggi dan meningkat, menaikkan biaya kesempatan yang hilang dari pe nempatan jangka pendek atas dana penyangga modal, apalagi jika itu terjadi di tengah suku bunga PUAB dan in strumen operasi moneter satu malam yang menurun.Akibatnya, penurunan suku bunga kredit bisa tertahan. Terakhir, mengetatkan persaingan pasar perbankan sehingga mendorong bank lebih efisien dan mengurangi tingkat labanya yang saat ini paling tinggi di antara negara sekawasan.
Itu sebabnya respons suku bunga kebijakan moneter di Indonesia membutuhkan kebijakan pelengkap. Untuk itu, berbagai upaya telah ditempuh BI untuk mempercepat dan memperbesar transmisi moneter ke suku bunga perbankan, misalnya melalui kebijakan mengenai suku bunga dasar kredit yang dipublikasikan dan rencana bisnis bank yang memuat target penurunan biaya dana, biaya operasional dan marjin laba. Setelah beroperasinya OJK,BI sepatutnya tetap dapat meregulasi aspek tertentu mikro perbankan demi mempercepat transmisi kebijakan moneter.
Namun, langkah tersebut berisiko kurang efektif tatkala BI tidak punya kewenangan lagi sebagai regulator mikroprudensial perbankan dan penilai tingkat kesehatan bank. UU OJK memang mengatur koordinasi dan kerja sama antara OJK dan BI, dalam hal pengawasan dan pemeriksaan bank serta tindakan mengatasi bank yang kesulitan likuiditas. Namun,UU itu tidak mengatur kewenangan BI menangani bank terkait dengan fungsinya sebagai saluran utama transmisi kebijakan moneter.
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan manajemen kebijakan moneter tersebut. Sesuai UU OJK Pasal 45 ayat 1, forum ini dapat merekomendasikan BI untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan (SSK) dalam keadaan normal. Hanya, UU OJK, seperti halnya UU BI, tidak memuat definisi SSK.Oleh karena itu, OJK dan BI perlu menetapkan definisi yang sama.
Definisi yang tidak hanya terkait dengan kemampuan sistem keuangan bertahan dari krisis keuangan, tetapi juga kondisi yang memungkinkan sistem keuangan mengalokasikan sumber pendanaan secara efektif dan efisien. Dengan demikian,transmisi kebijakan moneter dapat diperkuat dan koordinasi kebijakan moneter,makroprudensial dan mikroprudensial dapat terjalin lebih baik sehingga membawa manfaat maksimal bagi perekonomian Indonesia.ïŸ
AKHIS R HUTABARAT
Deputi Direktur Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Padahal sesungguhnya, keduanya sama pentingnya. Perbankan merupakan saluran utama kebijakan moneter memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sebagian besar jalur transmisi kebijakan moneter terjadi melalui bank atau dipengaruhi oleh suku bunga bank.
Fungsi Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tidak cukup hanya dengan menetapkan kebijakan moneter misalnya kebijakan BI Rate.BI perlu memastikan sinyal respons suku bunga kebijakan moneter itu diteruskan secepat dan sepenuh mungkin ke suku bunga simpanan dan kredit, agar berdampak optimal bagi perekonomian. Untuk itu, BI memerlukan perbankan yang tidak hanya prudent dan resilient, tetapi juga efisien dan kompetitif dalam menjalankan intermediasi keuangan.
Transmisi kebijakan moneter yang belum optimal terjadi dalam sistem perbankan saat ini, yang dinilai terjaga stabil terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) yang berada jauh di atas minimum delapan persen dan terjaganya rasio kredit bermasalah bruto di bawah lima persen.
Penerusan BI Rate ke suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), suku bunga simpanan, dan suku bunga kredit masih menemui banyak friksi. Penyebabnya beragam. Di hulu rantai transmisi moneter, suku bunga PUAB belakangan ini bergerak di bawah BI Rate karena berlebihnya likuiditas perbankan.
Namun, ekses likuiditas itu tidak membuat suku bunga simpanan mudah turun karena struktur pendanaan perbankan belum ideal. Sekitar 60 persen dana deposito dipasok oleh sejumlah kecil nasabah besar bernilai rekening lebih dari dua miliar rupiah. Nasabah besar ini berdaya tawar kuat untuk menikmati suku bunga tinggi melampaui suku bunga penjaminan simpanan, sedangkan nasabah lainnya memperoleh suku bunga yang mengikuti tingkat bunga penjaminan.
Sayangnya, tingkat bunga penjaminan belum mengikuti gerak suku bunga di pasar uang yang lebih mencerminkan likuiditas perbankan. Selain karena suku bunga dana yang tidak gampang turun, ada penyebab lain yang perlu dibenahi agar suku bunga kredit bisa bergerak lebih fleksibel mengikuti suku bunga kebijakan; supaya marjin suku bunga bersih (NIM) yang kini masih di atas lima persen kelak menyamai marjin di negaranegara tetangga yang lebih rendah.
Pertama, mendorong dan mengatur bank untuk terus mengefisiensikan operasional usahanya. Selain itu, bank perlu terus didorong untuk lebih akurat menetapkan premi risiko agar tidak berlebihan mengalokasikan biaya cadangan penghapusan kredit bermasalah. Bank juga perlu menetapkan target CAR optimal yang dikaitkan dengan target penurunan suku bunga kredit.
CAR yang terlalu tinggi dan meningkat, menaikkan biaya kesempatan yang hilang dari pe nempatan jangka pendek atas dana penyangga modal, apalagi jika itu terjadi di tengah suku bunga PUAB dan in strumen operasi moneter satu malam yang menurun.Akibatnya, penurunan suku bunga kredit bisa tertahan. Terakhir, mengetatkan persaingan pasar perbankan sehingga mendorong bank lebih efisien dan mengurangi tingkat labanya yang saat ini paling tinggi di antara negara sekawasan.
Itu sebabnya respons suku bunga kebijakan moneter di Indonesia membutuhkan kebijakan pelengkap. Untuk itu, berbagai upaya telah ditempuh BI untuk mempercepat dan memperbesar transmisi moneter ke suku bunga perbankan, misalnya melalui kebijakan mengenai suku bunga dasar kredit yang dipublikasikan dan rencana bisnis bank yang memuat target penurunan biaya dana, biaya operasional dan marjin laba. Setelah beroperasinya OJK,BI sepatutnya tetap dapat meregulasi aspek tertentu mikro perbankan demi mempercepat transmisi kebijakan moneter.
Namun, langkah tersebut berisiko kurang efektif tatkala BI tidak punya kewenangan lagi sebagai regulator mikroprudensial perbankan dan penilai tingkat kesehatan bank. UU OJK memang mengatur koordinasi dan kerja sama antara OJK dan BI, dalam hal pengawasan dan pemeriksaan bank serta tindakan mengatasi bank yang kesulitan likuiditas. Namun,UU itu tidak mengatur kewenangan BI menangani bank terkait dengan fungsinya sebagai saluran utama transmisi kebijakan moneter.
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan manajemen kebijakan moneter tersebut. Sesuai UU OJK Pasal 45 ayat 1, forum ini dapat merekomendasikan BI untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan (SSK) dalam keadaan normal. Hanya, UU OJK, seperti halnya UU BI, tidak memuat definisi SSK.Oleh karena itu, OJK dan BI perlu menetapkan definisi yang sama.
Definisi yang tidak hanya terkait dengan kemampuan sistem keuangan bertahan dari krisis keuangan, tetapi juga kondisi yang memungkinkan sistem keuangan mengalokasikan sumber pendanaan secara efektif dan efisien. Dengan demikian,transmisi kebijakan moneter dapat diperkuat dan koordinasi kebijakan moneter,makroprudensial dan mikroprudensial dapat terjalin lebih baik sehingga membawa manfaat maksimal bagi perekonomian Indonesia.ïŸ
AKHIS R HUTABARAT
Deputi Direktur Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
()