ESDM restui reposisi PGN
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan reposisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) merupakan jalan yang terbaik. Pasalnya, saat ini dengan posisi Transporter sekaligus Trader tidak baik di bisnis gas di Indonesia.
"Itu memang sebaiknya nanti harus ada pemisahan supaya enggak double," ujar Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (25/6/2012).
Evita belum menyebutkan secara pasti, bentuk solusi yang akan ditawarkan ke PGN. Walaupun, kalau dirunut sesuai dengan undang-undang, PGN harus mendirikan anak usaha untuk melakukan penjualan.
"Iya, kemungkinan gitu," singkat Evita.
Pembicaraan dari Kementerian, menurutnya, belum dilakukan secara resmi. Maka dari itu, target penyelesaian juga belum bisa diungkapkan ke publik.
"Resmi belum, tapi kita udah mulai ngomong-ngomong," tambahnya.
Sebelumnya, wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, tingginya harga gas PGN ke industri disebabkan peran PGN yang ganda yaitu sebagai transporter sekaligus trader gas.
Menurut dia posisi PGN ini bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. “PGN harus segera direposisi agar PGN focus hanya sebagai transporter saja,” kata dia.
Dia juga menjelaskan posisi PGN saat ini tidak konsisten dengan Undang-undang minyak dan gas (UU Migas) yang mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir. Kendati PGN tidak bergerak di hulu, namun dengan melakukan pembelian gas lalu dijual lagi hal tersebut justru merangkap dari hulu hingga hilir.
Saat ini, PGN mengalirkan gas miliknya melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat (South Sumatra-West Java) yang juga dikuasainya. Ini melanggar Permen ESDM tersebut karena PGN seharusnya sebagai transporter hanya mengutip ongkos angkut (toll fee) gas milik kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) kepada konsumen.
Oleh karena itu, lanjut Komaidi, akan berdampak negatif baik di sektor hulu migas dan industri. Dia mengusulkan agar pemerintah mereposisi bisnis PGN sehingga akan berdampak positif di hulu migas, industri dan perseroan itu sendiri.
Dia juga mencontohkan saat ini, PGN membeli gas hanya sekitar USD5 per million metric british thermal unit (MMBTU), namun menjualnya hingga USD10-USD11 per MMBTU. Padahal berdasarkan perhitungannya, jika PGN sebagai transporter maka harga jual gas PGN ke industri hanya USD7-USD8 per MMBTU. “Selisihnya terlalu tinggi. Akibatnya, bisnis hulu migas tidak berkembang dan industri pun menjadi tidak kompetitif,” ujarnya.
"Itu memang sebaiknya nanti harus ada pemisahan supaya enggak double," ujar Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (25/6/2012).
Evita belum menyebutkan secara pasti, bentuk solusi yang akan ditawarkan ke PGN. Walaupun, kalau dirunut sesuai dengan undang-undang, PGN harus mendirikan anak usaha untuk melakukan penjualan.
"Iya, kemungkinan gitu," singkat Evita.
Pembicaraan dari Kementerian, menurutnya, belum dilakukan secara resmi. Maka dari itu, target penyelesaian juga belum bisa diungkapkan ke publik.
"Resmi belum, tapi kita udah mulai ngomong-ngomong," tambahnya.
Sebelumnya, wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, tingginya harga gas PGN ke industri disebabkan peran PGN yang ganda yaitu sebagai transporter sekaligus trader gas.
Menurut dia posisi PGN ini bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. “PGN harus segera direposisi agar PGN focus hanya sebagai transporter saja,” kata dia.
Dia juga menjelaskan posisi PGN saat ini tidak konsisten dengan Undang-undang minyak dan gas (UU Migas) yang mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir. Kendati PGN tidak bergerak di hulu, namun dengan melakukan pembelian gas lalu dijual lagi hal tersebut justru merangkap dari hulu hingga hilir.
Saat ini, PGN mengalirkan gas miliknya melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat (South Sumatra-West Java) yang juga dikuasainya. Ini melanggar Permen ESDM tersebut karena PGN seharusnya sebagai transporter hanya mengutip ongkos angkut (toll fee) gas milik kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) kepada konsumen.
Oleh karena itu, lanjut Komaidi, akan berdampak negatif baik di sektor hulu migas dan industri. Dia mengusulkan agar pemerintah mereposisi bisnis PGN sehingga akan berdampak positif di hulu migas, industri dan perseroan itu sendiri.
Dia juga mencontohkan saat ini, PGN membeli gas hanya sekitar USD5 per million metric british thermal unit (MMBTU), namun menjualnya hingga USD10-USD11 per MMBTU. Padahal berdasarkan perhitungannya, jika PGN sebagai transporter maka harga jual gas PGN ke industri hanya USD7-USD8 per MMBTU. “Selisihnya terlalu tinggi. Akibatnya, bisnis hulu migas tidak berkembang dan industri pun menjadi tidak kompetitif,” ujarnya.
()