Mencermati momentum rights issue
A
A
A
Sindonews.com - Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam berinvestasi saham adalah aksi korporasi dari perusahaan penerbit (emiten). Umumnya, aksi korporasi berpengaruh pada saham dari emiten-emiten tersebut.
Hal ini terlihat pada pergerakan harga sahamnya di bursa yang langsung bereaksi jika beredar kabar aksi korporasi dari suatu emiten. Dampaknya, harga saham tentu bisa bergerak naik atau justru turun. Salah satu jenis aksi korporasi yang memengaruhi pergerakan harga saham di bursa, yaitu hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).
Singkatnya, HMETD merupakan hak investor untuk memesan terlebih dahulu atas saham baru yang diterbitkan dari suatu emiten pada harga pelaksanaan (excercise price) tertentu berdasarkan porsi yang ditentukan oleh emiten.HMETD juga familiar disebut rights issue.
Rights Issue diperlukan karena emiten perlu menambah modal melalui penerbitan saham baru. Ada kalanya,setelah penawaran umum perdana (initial public offering/IPO), emiten masih membutuhkan tambahan dana untuk mendukung kinerjanya ke depan, seperti membayar utang maupun melebarkan bisnis.
Namun, hak perolehan saham baru ini harus ditawarkan terlebih dahulu kepada para pemegang saham lama dan bersifat cuma-cuma. Karena bersifat hak, investor tidak harus membeli saham baru yang diterbitkan emiten tersebut (melaksanakan haknya).
Dalam praktiknya, pemberian rights issue dilakukan berdasarkan porsi yang tercermin pada angka rasio.Misalnya, rights issue saham XYZ dengan rasio 4:1 dan harga pelaksanaan di Rp500.
Artinya, setiap empat lembar saham lama berhak mendapatkan satu lembar hak pembelian saham baru di harga Rp500 per saham. Sementara yang berhak membeli saham baru adalah pemegang saham lama yang tercatat hingga tanggal terakhir (cum date) di mana masih ada kesempatan mem-peroleh rights issue.
Dalam rights issue, dikenal juga istilah harga teoritis.Maksudnya, harga yang terbentuk dari penyesuaian antara harga saham lama dengan harga saham baru berdasarkan rasio yang ditentukan. Perhitungan harga teoritis adalah [(a x harga saham lama)+(b x harga saham baru)]/(a+b). Harga saham lama merupakan harga saham penutupan saat cum date, sementara harga saham baru merupakan harga pelaksanaan hak rights issue. Huruf “a” merupakan rasio saham lama dan “b”merupakan rasio saham baru.
Kembali ke contoh, dengan harga saat cum date sebesar Rp600,maka harga teoritis saat ex date sebesar Rp580.Dengan kata lain, secara teoritis harga saham mengalami penurunan. Bagi investor yang cenderung bersikap acuh, rights issue mungkin tidak begitu diperhatikan. Berbeda dengan investor yang berkepentingan atas besarnya kepemilikan di suatu emiten, maka rights issue menjadi hal yang penting karena menentukan pengaruh hak suara dari investor tersebut.
Contohnya, saham PT XYZ melakukan rights issue dengan rasio 4:1. Sebelum rights issue, PT XYZ memiliki saham beredar sebanyak 100 juta lembar. Investor A saat ini memiliki saham XYZ sebanyak 100.000 lembar saham atau mencerminkan kepemilikan sebesar 0,1%.
Setelah rights issue, saham beredar PT XYZ menjadi 125 juta lembar.Jika investor A melaksanakan haknya, maka lembar saham XYZ yang dimiliki bertambah menjadi 125.000 lembar atau kepemilikannya stabil di 0,1%.
Namun, jika tidak melaksanakan haknya,maka persentase kepemilikannya akan tergerus menjadi 0,8% (100.000 dibagi 125 juta lembar saham). Bagaimana dampak rights issue terhadap pergerakan harga saham emiten? Untuk itu, penulis mengambil sampel sebanyak 46 emiten saham yang melakukan aksi rights issuedi periode Desember 2008 hingga Juni 2011. Metode pengukuran, yakni dengan menghitung return saham yang mengacu pada harga pasar saham saat cum date. Periode pengukuran yang dipilih adalah H-10,H-5,H-3,H+3,H+5, dan H+90.
Dari return tersebut, penulis menghitung peluang kenaikan dan rata-rata return dari 46 emiten untuk setiap periode pengukuran. Berdasarkan tabel,peluang kenaikan harga saham dan rata- rata return dari ke-46 saham menjelang cum date terlihat semakin turun. Bahkan, penurunan tersebut juga berlanjut hingga hari ke-5 pasca-cum date.
Penyebabnya,karena harga teoritis setelah cum date yang turun, terutama jika harga pelaksanaan rights issue di bawah harga pasar sehingga membuat investor cenderung menjual saham tersebut dan kembali masuk hingga harga saham dianggap sudah tidak jauh dari harga pelaksanaan.
Selain itu, srespon investor yang kurang antusias terhadap aksi korporasi ini juga diperkirakan turut menekan harga saham penerbit rights issue. Meskipun cenderung turun, namun investor sebenarnya bisa memanfaatkan momentum ini untuk mendulang sedikit keuntungan asalkan investor memiliki saham tersebut jauh-jauh hari sebelum cum date.
Hal ini terlihat pada peluang kenaikan yang lebih besar justru saat H-10 atau kurang lebih dua minggu sebelumnya, yakni sebesar 73,91% dengan rata-rata return6,40%. Tak hanya itu,tekanan harga saham karena efek rights issue juga hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat pendek.
Hal ini terlihat dari kinerja harga saham yang menjadi sampel pada 90 hari kalender sejak cum date dengan peluang kenaikan 45,65% dan rata-rata returnsebesar6,87%.Meskipun peluang kenaikan kurang signifikan, namun peningkatan peluang dari 39,13% di H+5 menjadi 45,65% di H+90 cukup membuktikan bahwa masih ada potensi kenaikan harga saham pasca cum date rights issue, terutama untuk periode yang lebih panjang. (bro)
MAGGIE HARTONO
Analis www.infovesta.com
()