Duit menganggur... no way!

Minggu, 01 Juli 2012 - 01:45 WIB
Duit menganggur... no way!
Duit menganggur... no way!
A A A
SAYA punya teman seorang brand manager di sebuah perusahaan consumer good terkemuka di Jakarta. Teman asal Klaten ini termasuk workaholic karena kesehariannya hanya kerja dan kerja.

Ya karena belum ada anak dan istri, ditambah lagi ia tinggal sendirian alias kos di Jakarta. Karena berprestasi dan kerja sepenuh hati, belum sampai lima tahun posisi empuk brand manager ia raih, tentu dengan gaji yang lumayan. Karena terbiasa prihatin sejak kecil, pengeluaran per bulannya minim.

Ia tidak hobi belanja atau makan-makan di mal. Ia tak hobi mengoleksi gadget seperti banyak dilakukan teman-teman profesional muda. Ia juga tidak hobi travelling menghabiskan uang. Akibatnya gampang ditebak, gajinya tiap bulan praktis utuh. Lalu dikemanakan uangnya yang menganggur? Ini yang tidak saya duga.

Rupanya si teman piawai mengelola aset yang dimilikinya. “Ada yang di deposito, ada yang diinvestasikan di properti, lalu satu lagi diinvestasikan di reksa dana,” ujar si teman ketika saya tanya ke mana lari gajinya. Saya tak menduga si teman begitu rapi mengelola uangnya, karena setahu saya ia lugu dalam hal mengurus duit. Ya karena seumur-umur tidak pernah punya uang banyak.

Kelas menengah baru
Teman saya di atas adalah potret kelas menengah baru Indonesia. Awalnya dari kampung, berasal dari keluarga sederhana, pintar di sekolah sehingga mampu belajar sampai ke universitas. Berbekal sekolah dan pengetahuan, mereka berurbanisasi ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Pengetahuan memang ampuh menjadi alat pendongkrak status ekonomi. Dengan pengetahuan yang didapat di universitas, mereka bisa mendapatkan pekerjaan bagus dan survive hidup di Jakarta.

Dengan “kultur kampung” yang prihatin dan kerja keras, mereka sukses berkompetisi di antara kolega-koleganya di kantor sehingga posisi demi posisi empuk diraihnya. Sukses karier tentu saja diikuti dengan sukses fulus. Maka dua-tiga tahun bekerja, biasanya mereka mulai punya duit berlebih. Apalagi di awal-awal bekerja, umumnya mereka belum berkeluarga sehingga banyak porsi duitnya menganggur (discretionary income).

Kelas menengah baru ini umumnya sangat knowledgeable dan technology savvy, karena itu mereka banyak membaca buku dan googling untuk mencari informasi mengenai bagaimana mengelola aset miliknya. “Gara-gara baca buku Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki saya jadi tahu bagaimana mengelola duit,” begitu komentar teman saya mengenai bagaimana awalnya ia sadar untuk mengelola keuangannya. Melalui internet, mereka juga aktif berburu informasi mengenai instrumen-instrumen investasi keuangan seperti saham, reksa dana, obligasi, unit link, dan lain-lain.

Asset management
Saya memperkirakan, kelompok kelas menengah yang memiliki potensi dana berlebih untuk diinvestasikan dalam berbagai instrumen keuangan ini ada di segmen kelas menengah atas (upper middleclass) yang memiliki rentang pengeluaran per hari USD10–20.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah kelompok ini pada tahun 2009 saja sudah mencapai 2,2 juta. Jumlah mereka terus meningkat sehingga Indonesia merupakan pasar yang sangat prospektif bagi para manajer investasi.

Seperti tercermin dari FGD (focus group discussion) yang saya lakukan akhir tahun lalu, konsumen kelas menengah (Consumer 3000) adalah kelompok masyarakat yang sudah sadar mengelola aset-aset mereka secara sistematis. Prosesnya berjalan secara natural. Karena mereka mulai memiliki dana menganggur yang cukup besar, akan sayang jika dana berlebih tersebut tidak berkembang.

Kalau dana mereka masih kecil, menyimpan dana tersebut dalam bentuk tabungan biasa tidak menjadi masalah. Namun ketika dananya sudah cukup besar, mereka mulai berpikir bagaimana dana tersebut bisa menghasilkan return yang lebih besar. Karena itu, mereka mulai mencari instrumen-instrumen investasi yang sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka.

Pilihannya beragam, memilih saham atau reksa dana yang berisiko. Ada memilih investasi melalui pembelian properti. Atau pilihan yang aman seperti deposito atau obligasi pemerintah. Riset yang dilakukan oleh Knight Frank dan Citi Private misalnya, menemukan sasaran investasi mereka terutama adalah obligasi pemerintah, dana tunai, dan emas yang relatif lebih aman. Intinya mereka mulai berpikir bahwa duit menganggur tersebut harusnya bekerja untuk mereka; bukannya mereka yang bekerja untuk mencari duit.

New banking behavior
Karena itu, revolusi kelas menengah di Indonesia serta-merta akan diikuti dengan pergeseran banking behavior dari konsumen baru ini. Perbankan Indonesia akan memasuki babakan baru di mana konsumen menjadi semakin maju, tak hanya menggunakan layanan perbankan dasar seperti tabungan, kartu kredit, atau kartu debit.

Mereka memanfaatkan layanan-layanan perbankan yang lebih advance seperti investasi melalui saham, reksa dana, bancassurance, atau obligasi. Layanan-layanan tersebut tak hanya dinikmati segelintir segmen konsumen kelas atas, tapi mulai diadopsi oleh kelas menengah secara massal.

Saya sering menggunakan istilah “mass luxury” untuk menyebut produk/ layanan yang dulunya hanya dimonopoli oleh segelintir kalangan atas, tetapi kemudian “turun kelas” mulai diadopsi secara massal oleh konsumen kelas menengah. Saya sering menyebut mobil, iPad, TV flat, tiket pesawat, atau liburan ke luar negeri sebagai contoh aktual dari mass luxury. Barang-barang tersebut awalnya dimonopoli milik orang kaya, tapi kemudian menjadi merakyat milik orang kebanyakan.

Nah, di industri perbankan saya melihat tren fenomena mass luxury ini pun terjadi ketika instrumen-instrumen investasi keuangan seperti reksa dana, bancsurance, atau obligasi pemerintah mulai diadopsi secara massal oleh konsumen kelas menengah.

Ketika jumlah kelas menengah ini kian signifikan, tak terelakkan lagi layanan-layanan keuangan tersebut akan menemukan criticalmass-nya. Satu lagi gempa tektonik bakal melanda industri perbankan kita seiring munculnya konsumen kelas menengah. Bagi para bankir, message-nya jelas, bahwa Anda para bankir harus mulai pasang kuda-kuda untuk lari cepat menyongsong tsunami konsumen yang bakal ditimbulkannya. Ingat, kecepatan sering kali menentukan apakah Anda menjadi winner atau loser.

YUSWOHADY
Pengamat Bisnis dan Pemasaran
Blog: www.yuswohady.com
Twitter: @yuswohady
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4068 seconds (0.1#10.140)