Merajut peluang BPR di 2013
A
A
A
Sindonews.com - Sungguh, sejatinya bank perkreditan rakyat (BPR) memiliki kompetensi untuk menjadi ujung tombak perbankan mikro. Kesempatan emas itu dapat mulai dirintis pada 2013.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita lirik dulu kinerja BPR. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi terakhir yang terbit pada 11 Januari 2013 mencatat kredit tahunan tumbuh subur 21,51 persen dari Rp40,68 triliun per November 2011 menjadi Rp49,43 triliun per November 2012. Dana pihak ketiga (DPK) yang hanya meliputi deposito dan tabungan tumbuh kalah subur, yakni 17,57 persen dari Rp37,28 triliun menjadi Rp43,83 triliun. Dengan aneka keterbatasan,BPR masih kalah dibandingkan bank umum dalam pertumbuhan kredit 21,94 persen dan DPK 18,14 persen.
Pertumbuhan itu mengangkat loan to deposit ratio (LDR) dari 80,67 persen menjadi 81,11 persen sedikit lebih rendah daripada LDR bank umum 83,61 persen, tetapi keduanya masuk rasio ideal 78-100 persen. LDR BPR yang makin tebal itu menyiratkan fungsi intermediasi keuangan BPR makin cantik. Ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia (BI) dalam mendorong bank umum dan BPR untuk mengerek pengucuran kredit dengan menurunkan BI Rate yang kini mencapai 5,75 persen sejak Februari 2012.
Ajakan itu mendapat sambutan hangat. Apa buktinya? Suku bunga rata-rata deposito terus merosot dari 9,99 persen per November 2011 menjadi 8,44 persen per November 2012, sedangkan tabungan menurun sedikit dari 5,30 persen menjadi 4,71 persen. Penurunan suku bunga rata-rata itu telah menekan suku bunga rata-rata kredit. Maka, suku bunga kredit modal kerja menipis dari 32,22 persen menjadi 31,19 persen, kredit investasi dari 28,19 persen menjadi 27,05 persen dan kredit konsumsi dari 27,09 persen menjadi 26,10 persen pada periode yang sama. Ada gejala menarik bila dibandingkan dengan bank umum.
BPR justru menawarkan suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi lebih tinggi daripada kredit konsumsi. Sebaliknya, bank umum memasang suku bunga kredit konsumsi lebih tinggi daripada kredit produktif. BPR juga mampu mencetak laba tahun berjalan yang melesat 26,14 persen dari Rp1,76 triliun menjadi Rp2,22 triliun. Hal ini membuat imbal hasil aset (return on assets/ROA) naik dari 3,53 persen menjadi 3,68 persen atau lebih dua kali ambang batas 1,5 persen.
ROA BPR itu berhasil melampaui ROA bank umum 3,12 persen. Wow! Namun, jangan terlalu berpuas diri sebab masih banyak ancaman dan tantangan yang harus dihadapi BPR pada Tahun Ular Air 2013.
Bagaimana kiat menghadapinya? Pertama, menggenjot modal. Data SPI menunjukkan jumlah BPR dari 1.681 BPR dengan 4.140 kantor cabang per November 2011 makin gendut menjadi 1.667 BPR dengan 4.404 kantor cabang per November 2012. Sayangnya, total aset malah menipis 1 persen dari Rp1,68 triliun menjadi Rp1,67 triliun pada periode yang sama.
Artinya, BPR wajib menambah aset terlebih modal. Modal merupakan benteng kokoh untuk mengantisipasi risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional yang melekat pada produk, jasa dan aktivitas bank. Modal juga menjadi senjata ampuh untuk mampu bersaing. Terlebih kini bank umum wajib mengucurkan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) paling rendah 20 persen dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 efektif pada tanggal yang sama. Inilah ancaman berat bagi BPR mengingat semua kelompok bank pasti akan mengejar target tersebut. Sebaliknya, BPR akan menghadapi tantangan ketika ada bank umum yang menggarap kredit mikro tetapi tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) andal. Akibatnya, bank umum itu lebih memilih penerusan kredit (credit chanelling).
Kedua, menaikkan tingkat efisiensi. Di tengah anjuran BI untuk menipiskan margin bunga bersih (net interest margin/NIM), BPR masih menikmati NIM tinggi sekitar 18 persen dengan mencermati selisih suku bunga rata-rata kredit dengan deposito. NIM BPR itu jelas jauh lebih tinggi daripada NIM rata-rata industri bank umum 5,48 persen. Ingat, BI telah menerbitkan suku bunga dasar kredit (SBDK) mikro efektif 15 Januari 2013 yang bertujuan final untuk menurunkan suku bunga kredit mikro. Untuk itu, BPR wajib menipiskan suku bunga kredit, antara lain dengan menaikkan tingkat efisiensi dan transparansi.
Tanpa itu, BPR bakal terjepit di antara bank umum yang makin rajin bermain di kredit mikro. Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) hendaknya menggandeng mesra Perbanas untuk memperkaya ilmu dan pengetahuan perbankan yang terus berkembang, katakanlah, kredit, audit, manajemen risiko dan kepatuhan (compliance).
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
Sebelum melangkah lebih jauh, kita lirik dulu kinerja BPR. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi terakhir yang terbit pada 11 Januari 2013 mencatat kredit tahunan tumbuh subur 21,51 persen dari Rp40,68 triliun per November 2011 menjadi Rp49,43 triliun per November 2012. Dana pihak ketiga (DPK) yang hanya meliputi deposito dan tabungan tumbuh kalah subur, yakni 17,57 persen dari Rp37,28 triliun menjadi Rp43,83 triliun. Dengan aneka keterbatasan,BPR masih kalah dibandingkan bank umum dalam pertumbuhan kredit 21,94 persen dan DPK 18,14 persen.
Pertumbuhan itu mengangkat loan to deposit ratio (LDR) dari 80,67 persen menjadi 81,11 persen sedikit lebih rendah daripada LDR bank umum 83,61 persen, tetapi keduanya masuk rasio ideal 78-100 persen. LDR BPR yang makin tebal itu menyiratkan fungsi intermediasi keuangan BPR makin cantik. Ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia (BI) dalam mendorong bank umum dan BPR untuk mengerek pengucuran kredit dengan menurunkan BI Rate yang kini mencapai 5,75 persen sejak Februari 2012.
Ajakan itu mendapat sambutan hangat. Apa buktinya? Suku bunga rata-rata deposito terus merosot dari 9,99 persen per November 2011 menjadi 8,44 persen per November 2012, sedangkan tabungan menurun sedikit dari 5,30 persen menjadi 4,71 persen. Penurunan suku bunga rata-rata itu telah menekan suku bunga rata-rata kredit. Maka, suku bunga kredit modal kerja menipis dari 32,22 persen menjadi 31,19 persen, kredit investasi dari 28,19 persen menjadi 27,05 persen dan kredit konsumsi dari 27,09 persen menjadi 26,10 persen pada periode yang sama. Ada gejala menarik bila dibandingkan dengan bank umum.
BPR justru menawarkan suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi lebih tinggi daripada kredit konsumsi. Sebaliknya, bank umum memasang suku bunga kredit konsumsi lebih tinggi daripada kredit produktif. BPR juga mampu mencetak laba tahun berjalan yang melesat 26,14 persen dari Rp1,76 triliun menjadi Rp2,22 triliun. Hal ini membuat imbal hasil aset (return on assets/ROA) naik dari 3,53 persen menjadi 3,68 persen atau lebih dua kali ambang batas 1,5 persen.
ROA BPR itu berhasil melampaui ROA bank umum 3,12 persen. Wow! Namun, jangan terlalu berpuas diri sebab masih banyak ancaman dan tantangan yang harus dihadapi BPR pada Tahun Ular Air 2013.
Bagaimana kiat menghadapinya? Pertama, menggenjot modal. Data SPI menunjukkan jumlah BPR dari 1.681 BPR dengan 4.140 kantor cabang per November 2011 makin gendut menjadi 1.667 BPR dengan 4.404 kantor cabang per November 2012. Sayangnya, total aset malah menipis 1 persen dari Rp1,68 triliun menjadi Rp1,67 triliun pada periode yang sama.
Artinya, BPR wajib menambah aset terlebih modal. Modal merupakan benteng kokoh untuk mengantisipasi risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional yang melekat pada produk, jasa dan aktivitas bank. Modal juga menjadi senjata ampuh untuk mampu bersaing. Terlebih kini bank umum wajib mengucurkan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) paling rendah 20 persen dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 efektif pada tanggal yang sama. Inilah ancaman berat bagi BPR mengingat semua kelompok bank pasti akan mengejar target tersebut. Sebaliknya, BPR akan menghadapi tantangan ketika ada bank umum yang menggarap kredit mikro tetapi tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) andal. Akibatnya, bank umum itu lebih memilih penerusan kredit (credit chanelling).
Kedua, menaikkan tingkat efisiensi. Di tengah anjuran BI untuk menipiskan margin bunga bersih (net interest margin/NIM), BPR masih menikmati NIM tinggi sekitar 18 persen dengan mencermati selisih suku bunga rata-rata kredit dengan deposito. NIM BPR itu jelas jauh lebih tinggi daripada NIM rata-rata industri bank umum 5,48 persen. Ingat, BI telah menerbitkan suku bunga dasar kredit (SBDK) mikro efektif 15 Januari 2013 yang bertujuan final untuk menurunkan suku bunga kredit mikro. Untuk itu, BPR wajib menipiskan suku bunga kredit, antara lain dengan menaikkan tingkat efisiensi dan transparansi.
Tanpa itu, BPR bakal terjepit di antara bank umum yang makin rajin bermain di kredit mikro. Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) hendaknya menggandeng mesra Perbanas untuk memperkaya ilmu dan pengetahuan perbankan yang terus berkembang, katakanlah, kredit, audit, manajemen risiko dan kepatuhan (compliance).
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
(rna)