Ini jurus jitu atasi ketergantungan impor pangan
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat Pertanian, Ahmad Yakub mengatakan, ada tiga hal yang harus dibenahi pemerintah Indonesia terkait dengan masalah pangan, agar tidak tergantung pada impor dan mencapai swasembada pangan.
Dia menjelaskan, pertama adalah terkait dengan pertanahan. Saat ini, banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pangan, seperti digunakan untuk infrastruktur, perkebunan, perumahan, dan pembangunan lainnya.
"Di Indonesia ini terjadi konversi lahan. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Pertanian (Kementan) ada sekitar 150 ribu hektare (ha) lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pertanian per tahun," katanya saat dihubungi Sindonews, Sabtu (23/3/2013).
Menurutnya, jika lahan tersebut dikonversi dengan sawah, maka hasilnya akan besar. Seandainya dalam setahun panen hingga dua kali, maka luas penanamannya sekitar 300 ribu ha. "Nah, kalau sekali tanam dapat lima ton per ha, berarti ada sekiar 1,5 juta ton per tahun dari 300 ribu ha untuk beras," ujarnya.
Kedua, lanjut dia, bekaitan dengan produksi. Di mana ketersediaan benih dan pupuk baik pupuk organik maupun non organik kurang tepat waktu. Selain itu, teknologi untuk produksi yang digunakan petani tidak berkembang sejak dulu.
"Itu semua karena kita gagal memahami bahwa pertanian Indonesia ini skala kecil dan berbasis keluarga. Jadi, jangan diperkenalkan dengan teknologi mesin tanam seperti di negara lain yang harganya miliaran rupiah, enggak masuk akal. Teknologi yang memungkinkan bagi kita adalah bersifat kolektif atau komunitas," jelas dia.
Ketiga, terkait dengan adanya aturan tata niaga yang jelas. Ahmad menuturka, petani akan menjadi korban pertama jika harga hasil pertanian turun. Hal ini disebabkan tidak ada insentif dari pemerintah. "Kalau pun ada, itu tidak menjangkau seluruh petani," katanya.
Dia menjelaskan, pertama adalah terkait dengan pertanahan. Saat ini, banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pangan, seperti digunakan untuk infrastruktur, perkebunan, perumahan, dan pembangunan lainnya.
"Di Indonesia ini terjadi konversi lahan. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Pertanian (Kementan) ada sekitar 150 ribu hektare (ha) lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non pertanian per tahun," katanya saat dihubungi Sindonews, Sabtu (23/3/2013).
Menurutnya, jika lahan tersebut dikonversi dengan sawah, maka hasilnya akan besar. Seandainya dalam setahun panen hingga dua kali, maka luas penanamannya sekitar 300 ribu ha. "Nah, kalau sekali tanam dapat lima ton per ha, berarti ada sekiar 1,5 juta ton per tahun dari 300 ribu ha untuk beras," ujarnya.
Kedua, lanjut dia, bekaitan dengan produksi. Di mana ketersediaan benih dan pupuk baik pupuk organik maupun non organik kurang tepat waktu. Selain itu, teknologi untuk produksi yang digunakan petani tidak berkembang sejak dulu.
"Itu semua karena kita gagal memahami bahwa pertanian Indonesia ini skala kecil dan berbasis keluarga. Jadi, jangan diperkenalkan dengan teknologi mesin tanam seperti di negara lain yang harganya miliaran rupiah, enggak masuk akal. Teknologi yang memungkinkan bagi kita adalah bersifat kolektif atau komunitas," jelas dia.
Ketiga, terkait dengan adanya aturan tata niaga yang jelas. Ahmad menuturka, petani akan menjadi korban pertama jika harga hasil pertanian turun. Hal ini disebabkan tidak ada insentif dari pemerintah. "Kalau pun ada, itu tidak menjangkau seluruh petani," katanya.
(izz)