Kenaikan harga BBM diyakini sejahterakan masyarakat
A
A
A
Sindonews.com - Paradigma subsidi yang seharusnya dinikmati oleh mereka yang miskin dan tidak mampu secara ekonomi di Indonesia sudah melenceng. Pasalnya, subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan UU 30/2007 Tentang Energi Pasal 7 Ayat (2) yang menegaskan bahwa subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) M. Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (9/6/2013).
Kenyataannya, lanjut Romahurmuziy, subsidi BBM di Indonesia dinikmati lebih 70 persen kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi.
"Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu," jelasnya.
Dia menegaskan, saat ini seperlima APBN Indonesia tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Alhasil, ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif kemudian menjadi terbatas.
Ujung-ujungnya, daya saing yang tercipta di pasar internasional menjadi rendah, semua lantaran didominasi berbagai produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. "Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," tegasnya.
Romi yakin, kenaikan harga BBM pada akhirnya demi kemaslahatan anak cucu dan juga masa depan ekonomi Indonesia.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi yang juga setuju harga BBM bersubsidi dinaikkan. Dengan begitu, dana subsidi BBM akan bisa dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Dana subsidi bisa dialihkan ke infrastruktur. Kita sama-sama tahu, pelabuhan sudah macet, jalan sudah macet," kata Sofyan Wanandi.
Dengan adanya perbaikan infrastruktur dari pengalihan subsidi BBM, Sofyan yakin akan turut meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. "Dengan begitu mendorong dunia usaha makin efisien sehingga menaikan daya saing produk ekspor dan daya saing pengusaha," ucap dia.
Menurut Sofyan, infrastruktur yang mendesak untuk diperbaiki selain pelabuhan dan jalan untuk melancarkan barang, juga perbaikan infrastruktur listrik, air, irigasi untuk para petani. "Dengan begitu rakyat tetap bisa kerja meski BBM naik," kata dia.
Ia minta pemerintah harus cepat menaikkan harga BBM bersubsidi. Kemudian juga menyiapkan sebagian dana alokasi subsidi untuk masyarakat miskin. Kepastian kenaikan harga BBM karena sudah ditunggu sejak lama oleh investor. Dengan tidak pasti, akan membuat gerak investor di Indonesia lebih sulit.
"BBM naik tidak masalah, justru itu sudah ditunggu sejak lama. Butuh kepastian cepat," ujar Satrio Utomo, Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia.
Dia menegaskan, jika kenaikan BBM tidak segera, justru akan memunculkan banyak risiko terutama dari sisi anggaran. Di sisi lain, publik atau investor juga akan menilai pemerintah bermain-main dengan anggaran. "Itu yang membuat belakangan ini orang tidak suka, sehingga lepas posisi di pasar saham," tukas Satrio.
Adapun soal inflasi akibat BBM, menurut Satrio, relatif tidak masalah. Apalagi dalam dua bulan terakhir yakni April dan Mei terjadi deflasi. Ini artinya, pemerintah mampu menetralisir efek kenaikan harga daging dan bawang yang tinggi.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) M. Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (9/6/2013).
Kenyataannya, lanjut Romahurmuziy, subsidi BBM di Indonesia dinikmati lebih 70 persen kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi.
"Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu," jelasnya.
Dia menegaskan, saat ini seperlima APBN Indonesia tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Alhasil, ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif kemudian menjadi terbatas.
Ujung-ujungnya, daya saing yang tercipta di pasar internasional menjadi rendah, semua lantaran didominasi berbagai produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. "Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," tegasnya.
Romi yakin, kenaikan harga BBM pada akhirnya demi kemaslahatan anak cucu dan juga masa depan ekonomi Indonesia.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi yang juga setuju harga BBM bersubsidi dinaikkan. Dengan begitu, dana subsidi BBM akan bisa dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Dana subsidi bisa dialihkan ke infrastruktur. Kita sama-sama tahu, pelabuhan sudah macet, jalan sudah macet," kata Sofyan Wanandi.
Dengan adanya perbaikan infrastruktur dari pengalihan subsidi BBM, Sofyan yakin akan turut meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. "Dengan begitu mendorong dunia usaha makin efisien sehingga menaikan daya saing produk ekspor dan daya saing pengusaha," ucap dia.
Menurut Sofyan, infrastruktur yang mendesak untuk diperbaiki selain pelabuhan dan jalan untuk melancarkan barang, juga perbaikan infrastruktur listrik, air, irigasi untuk para petani. "Dengan begitu rakyat tetap bisa kerja meski BBM naik," kata dia.
Ia minta pemerintah harus cepat menaikkan harga BBM bersubsidi. Kemudian juga menyiapkan sebagian dana alokasi subsidi untuk masyarakat miskin. Kepastian kenaikan harga BBM karena sudah ditunggu sejak lama oleh investor. Dengan tidak pasti, akan membuat gerak investor di Indonesia lebih sulit.
"BBM naik tidak masalah, justru itu sudah ditunggu sejak lama. Butuh kepastian cepat," ujar Satrio Utomo, Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia.
Dia menegaskan, jika kenaikan BBM tidak segera, justru akan memunculkan banyak risiko terutama dari sisi anggaran. Di sisi lain, publik atau investor juga akan menilai pemerintah bermain-main dengan anggaran. "Itu yang membuat belakangan ini orang tidak suka, sehingga lepas posisi di pasar saham," tukas Satrio.
Adapun soal inflasi akibat BBM, menurut Satrio, relatif tidak masalah. Apalagi dalam dua bulan terakhir yakni April dan Mei terjadi deflasi. Ini artinya, pemerintah mampu menetralisir efek kenaikan harga daging dan bawang yang tinggi.
(gpr)