Firmanzah: Menaikkan BBM pilihan yang pahit
A
A
A
Sindonews.com - Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah menyampaikan rasa syukurnya berkenaan dengan telah tercapainya kesepakatan antara Pemerintah dan DPR RI tentang sejumlah hal strategis untuk membuat fiskal (APBN) menjadi elemen penting untuk resiliensi (pertahanan) dan juga sebagai salah satu motor penggerak pembangunan nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Firmanzah menanggapi kesepakatan Pemerintah dan DPR terhadap dua komponen penting RAPBN-P 2013, yaitu revisi asumsi makro 2013 dan dana kompensasi terkait kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) bersubsidi telah mendapat persetujuan dari Komisi VIII DPR-RI.
Selain itu juga, program penghematan belanja di Kementrian/Lembaga sebesar Rp24,6 triliun juga dibahas untuk terus meningkatkan ketahanan fiskal dan mengurangi defisit anggaran dari sisi pengeluaran APBN.
Firmanzah mengatakan, kebijakan menaikkan BBM memang kebijakan tidak populis dan merupakan pilihan yang pahit. "Namun demi kepentingan bangsa dan generasi mendatang, kebijakan ini perlu dilakukan," ujarnya seperti dikutip dari situs Setkab, Senin (10/6/2013).
Firmanzah menguraikan, dari sisi permintaan, trend konsumsi BBM yang terus menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir merupakan ancaman tidak hanya terhadap fiskal tetapi juga memberi tekanan kesinambungan energi.
Sementara dari sisi pasokan, menurunnya produksi minyak dunia akibat menipisnya cadangan minyak dunia telah berdampak pada volatilitas harga minyak dunia, serta diliputi oleh serentetan aksi spekulasi di pasar global.
“Bagi Pemerintah, kondisi ini akan semakin membebani fiskal dan berpotensi menghambat sejumlah agenda pembangunan yang sedang berjalan. Tekanan lonjakan konsumsi BBM subsidi di tengah menurunnya produksi minyak nasional merupakan ancaman serius bagi kesehatan fiskal dan neraca perdagangan. Fenomena defisit ganda (twin-deficit) yang dialami beberapa waktu terakhir ini merupakan salah satu konsekuensi dari tidak terkendalinya BBM subsidi,” papar Firmanzah.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu memaparkan, alokasi subsidi BBM dalam APBN 2013 ditargetkan sebesar 46 juta KL dengan nilai mencapai Rp 193,8 triliun. Namun tren konsumsi Januari hingga Maret 2013, realisasi konsumsi BBM bersubsidi telah mencapai 10,74 juta KL atau 6 persen lebih tinggi dari target kuota yang telah ditentukan.
Dengan tren konsumsi seperti ini, menurut Firmanzah, diperkirakan permintaan BBM bersubsidi akan melonjak mencapai 53 juta KL dengan nilai mencapai Rp 297,7 triliun. Kondisi ini tentunya akan membebani kesehatan fiskal dimana defisit fiskal akan mencapai Rp 353,6 triliun atau 3,8 persen dari PDB (melebihi batas yang ditetapkan Undang Undang).
“Jadi, kebijakan menaikkan harga BBM subsidi secara terbatas dan terukur serta penghematan anggaran di sejumlah di Kementerian/Lembaga dilakukan untuk menyelamatkan fiskal dan proses pembangunan yang sedang berjalan di sejumlah wilayah di Indonesia,” jelas Firmanzah.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Firmanzah menanggapi kesepakatan Pemerintah dan DPR terhadap dua komponen penting RAPBN-P 2013, yaitu revisi asumsi makro 2013 dan dana kompensasi terkait kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) bersubsidi telah mendapat persetujuan dari Komisi VIII DPR-RI.
Selain itu juga, program penghematan belanja di Kementrian/Lembaga sebesar Rp24,6 triliun juga dibahas untuk terus meningkatkan ketahanan fiskal dan mengurangi defisit anggaran dari sisi pengeluaran APBN.
Firmanzah mengatakan, kebijakan menaikkan BBM memang kebijakan tidak populis dan merupakan pilihan yang pahit. "Namun demi kepentingan bangsa dan generasi mendatang, kebijakan ini perlu dilakukan," ujarnya seperti dikutip dari situs Setkab, Senin (10/6/2013).
Firmanzah menguraikan, dari sisi permintaan, trend konsumsi BBM yang terus menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir merupakan ancaman tidak hanya terhadap fiskal tetapi juga memberi tekanan kesinambungan energi.
Sementara dari sisi pasokan, menurunnya produksi minyak dunia akibat menipisnya cadangan minyak dunia telah berdampak pada volatilitas harga minyak dunia, serta diliputi oleh serentetan aksi spekulasi di pasar global.
“Bagi Pemerintah, kondisi ini akan semakin membebani fiskal dan berpotensi menghambat sejumlah agenda pembangunan yang sedang berjalan. Tekanan lonjakan konsumsi BBM subsidi di tengah menurunnya produksi minyak nasional merupakan ancaman serius bagi kesehatan fiskal dan neraca perdagangan. Fenomena defisit ganda (twin-deficit) yang dialami beberapa waktu terakhir ini merupakan salah satu konsekuensi dari tidak terkendalinya BBM subsidi,” papar Firmanzah.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu memaparkan, alokasi subsidi BBM dalam APBN 2013 ditargetkan sebesar 46 juta KL dengan nilai mencapai Rp 193,8 triliun. Namun tren konsumsi Januari hingga Maret 2013, realisasi konsumsi BBM bersubsidi telah mencapai 10,74 juta KL atau 6 persen lebih tinggi dari target kuota yang telah ditentukan.
Dengan tren konsumsi seperti ini, menurut Firmanzah, diperkirakan permintaan BBM bersubsidi akan melonjak mencapai 53 juta KL dengan nilai mencapai Rp 297,7 triliun. Kondisi ini tentunya akan membebani kesehatan fiskal dimana defisit fiskal akan mencapai Rp 353,6 triliun atau 3,8 persen dari PDB (melebihi batas yang ditetapkan Undang Undang).
“Jadi, kebijakan menaikkan harga BBM subsidi secara terbatas dan terukur serta penghematan anggaran di sejumlah di Kementerian/Lembaga dilakukan untuk menyelamatkan fiskal dan proses pembangunan yang sedang berjalan di sejumlah wilayah di Indonesia,” jelas Firmanzah.
(gpr)