Dirjen Pajak akui 60% perusahaan tambang mangkir
A
A
A
Sindonews.com - Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak A. Fuad Rahmany membenarkan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad yang mengatakan bahwa sekitar 60 persen perusahaan pertambangan tidak membayar pajak dan royalti ke negara.
Kendati demikian, Fuad menegaskan bahwa da tidak bisa membuka informasi mengenai seberapa besar tingkat kepatuhan perusahaan pertambangan ke publik.
“Apa yang disampaikan beliau (Samad) kemungkinan benar dan saya tidak bisa terlalu banyak bicara karena ini masalah kepatuhan termasuk yang sesuatu tidak bisa kita buka,” tutur Fuad usai menghadiri penandatanganan kesepakatan bersama (MoU) antara Ditjen Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (4/7/2013).
Dia menjelaskan, KPK sebelumnya pernah mengundang Ditjen Pajak (DJP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) terkait pajak di sektor tambang. pasalnya, KPK saat ini sedang memprioritaskan pengawasan pada sektor tambang.
“Karena di sana banyak stakeholder, bukan hanya DJP tapi juga perusahaan tambang, pemda, instansi lain, penegak hukum dan interaksinya memang belum optimal di sektor penerimaan pajaknya di usaha tambang,” jelasnya.
Fuad mengatakan, DJP saat ini tengah bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk meminta data mengenai pajak pertambangan. Beberapa instansi yang diajak kerja sama adalah pemda, Kementerian ESDM, surveyor independen, syahbandar dan PT Pelindo. Data yang diambil, antara lain data produksi, ekspor dan penjualan.
“Selama ini sulit sekali dapatkan data. Tambang-tambang itu kan diangkut oleh tongkang-tongkang lewat pelabuhan kecil dan sungai-sungai. DJP tidak punya kemampuan untuk monitor itu,” ujarnya.
Kendati demikian, Fuad menegaskan bahwa da tidak bisa membuka informasi mengenai seberapa besar tingkat kepatuhan perusahaan pertambangan ke publik.
“Apa yang disampaikan beliau (Samad) kemungkinan benar dan saya tidak bisa terlalu banyak bicara karena ini masalah kepatuhan termasuk yang sesuatu tidak bisa kita buka,” tutur Fuad usai menghadiri penandatanganan kesepakatan bersama (MoU) antara Ditjen Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (4/7/2013).
Dia menjelaskan, KPK sebelumnya pernah mengundang Ditjen Pajak (DJP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) terkait pajak di sektor tambang. pasalnya, KPK saat ini sedang memprioritaskan pengawasan pada sektor tambang.
“Karena di sana banyak stakeholder, bukan hanya DJP tapi juga perusahaan tambang, pemda, instansi lain, penegak hukum dan interaksinya memang belum optimal di sektor penerimaan pajaknya di usaha tambang,” jelasnya.
Fuad mengatakan, DJP saat ini tengah bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk meminta data mengenai pajak pertambangan. Beberapa instansi yang diajak kerja sama adalah pemda, Kementerian ESDM, surveyor independen, syahbandar dan PT Pelindo. Data yang diambil, antara lain data produksi, ekspor dan penjualan.
“Selama ini sulit sekali dapatkan data. Tambang-tambang itu kan diangkut oleh tongkang-tongkang lewat pelabuhan kecil dan sungai-sungai. DJP tidak punya kemampuan untuk monitor itu,” ujarnya.
(rna)