Kadin: Potensi kartel komoditas strategis Rp11,34 T
A
A
A
Sindonews.com - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta Menteri Koordinator Perekonoimian, Hatta Rajasa untuk merombak tata niaga impor pangan nasional. Karena adanya ketidakseimbangan antara suplai dan demand, sehingga rentang dengan spekulasi dan kartel.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan, selama ini pangan nasional tidak seimbang karena demand-nya banyak, sementara suplai berkurang.
Berdasarkan catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis seperti daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras nilainya mencapai Rp11,34 triliun. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," kata dia dalam rilisnya, Rabu (17/7/2013).
Jika dirinci, kata dia, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel bisa diperkirakan. Di mana kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp340 miliar, daging ayam 1,4 juta ton mencapai Rp1,4 triliun.
Sementara, gula sebanyak 4,6 juta ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton mencapai Rp1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton kartelnya mencapai Rp2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Menurut Natsir, gambaran tersebut diakibatkan karena penataan managemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan. Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah dinilai masih sangat sentralistik.
Dia menilai, Kementerian Perdagangan, Kementterian Pertanian dan Kementerian Perindustrian tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu kebutuhan daerah.
"Kontrol DPR terhadap pangan ini juga lemah. Sehingga DPR perlu memberikan sanksi kepada Kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di Kementerian itu," kata Natsir.
Selain itu, kata Natsir, tidak adanya logistik pangan ikut menyebabkan persoalan pangan nasional sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif dan pada gilirannya data pangan tidak bisa tepat dan akurat.
"Jadi wajar kalau Presiden kita marah terhadap Kemendag dan Kementan karena tidak mampu mengatur pangan nasional yang juga kerap kali terjadi kelangkaan," ungkap Natsir yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti).
Pihaknya berharap agar Hatta Rajasa bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis seperti gula komsumsi/rafinasi yang perlu dibuka pabrik-pabrik baru, kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan, selama ini pangan nasional tidak seimbang karena demand-nya banyak, sementara suplai berkurang.
Berdasarkan catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis seperti daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras nilainya mencapai Rp11,34 triliun. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," kata dia dalam rilisnya, Rabu (17/7/2013).
Jika dirinci, kata dia, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel bisa diperkirakan. Di mana kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp340 miliar, daging ayam 1,4 juta ton mencapai Rp1,4 triliun.
Sementara, gula sebanyak 4,6 juta ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton mencapai Rp1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton kartelnya mencapai Rp2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Menurut Natsir, gambaran tersebut diakibatkan karena penataan managemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan. Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah dinilai masih sangat sentralistik.
Dia menilai, Kementerian Perdagangan, Kementterian Pertanian dan Kementerian Perindustrian tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu kebutuhan daerah.
"Kontrol DPR terhadap pangan ini juga lemah. Sehingga DPR perlu memberikan sanksi kepada Kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di Kementerian itu," kata Natsir.
Selain itu, kata Natsir, tidak adanya logistik pangan ikut menyebabkan persoalan pangan nasional sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif dan pada gilirannya data pangan tidak bisa tepat dan akurat.
"Jadi wajar kalau Presiden kita marah terhadap Kemendag dan Kementan karena tidak mampu mengatur pangan nasional yang juga kerap kali terjadi kelangkaan," ungkap Natsir yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti).
Pihaknya berharap agar Hatta Rajasa bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis seperti gula komsumsi/rafinasi yang perlu dibuka pabrik-pabrik baru, kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.
(izz)