Greenomics: Grup Sinarmas rambah hutan primer di Papua
A
A
A
Sindonews.com - Golden Agri Resources (GAR), bisnis sawit grup Sinarmas, melakukan ekspansi usaha perkebunan sawitnya di hutan Papua seluas lebih dari 20 ribu hektare (ha). Namun areal izin ekspansi sawit tersebut diperoleh setelah ‘mengeluarkan’ areal tersebut dari areal moratorium hutan primer.
Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Greenomics Indonesia berjudul “What are Golden Agri’s plans for its new palm oil concession in Papua’s forests?” yang dipublikasi 27 Juni 2013 lalu.
Menurut laporan Greenomics Indonesia, GAR yang merupakan grup bisnis sawit terbesar kedua di dunia, pada akhir Juli 2012 memperoleh izin pelepasan sebagian kawasan hutan Papua yang berlokasi di Kabupaten Jayapura seluas 20.143,30 ha, setelah mendapatkan izin prinsip pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada Maret 2011.
Namun demikian, areal tersebut ternyata masuk ke dalam areal Penundaan Izin Baru pada Hutan Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut “peta moratorium”) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 20 Mei 2011.
Cara satu-satunya untuk meneruskan proses pelepasan kawasan hutan adalah dengan mengeluarkannya dari peta moratorium, yang secara legal memang dimungkinkan karena telah mendapatkan izin prinsip sebelum diterbitkannya peta moratorium.
“Akhirnya, pada peta moratorium revisi I yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada 22 November 2011, calon areal sawit anak usaha GAR tersebut sudah dihapuskan dari areal moratorium,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di jakarta (24/7/2013).
Menurutnya, mayoritas hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut masih baik tutupan lahannya, di mana lebih dari 76 persen merupakan areal berhutan.
Bahkan, berdasarkan data shape file peta moratorium hasil interpretasi Kementerian Kehutanan tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009, areal tersebut merupakan hutan primer. “Makanya, relevan mengapa areal tersebut sempat dimasukkan ke dalam peta moratorium,” ujar Elfian.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada 2011, tutupan lahan hutan Papua yang dilepas untuk perkebunan sawit GAR tersebut, lebih dari 97 persen merupakan tutupan hutan dalam kondisi baik, yaitu berupa hutan primer seluas lebih dari 15 ribu ha dan hutan sekunder lebih dari 4.500 ha. Sisanya, 549 ha berupa kebun sawit.
“Ini menarik, karena ternyata terdapat kebun sawit seluas 549 ha pada areal yang diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan tersebut. Artinya, telah terjadi pembukaan kawasan hutan Papua sebelum adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” ungkap Elfian.
Laporan Greenomics Indonesia juga menunjukkan hasil pengecekan antara interpretasi tutupan lahan Kementerian Kehutanan pada 2011 tersebut dengan image Google Earth pada 28 November 2011. Image Google Earth itu menunjukkan secara jelas bagaimana masih baiknya tutupan hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut.
“Dalam SK Menhut pelepasan kawasan hutan untuk anak usaha GAR tersebut, disebutkan kewajiban memproteksi areal HCVF di areal tersebut. Ini tantangan bagi GAR dalam mengimplementasikan kebijakan konservasi hutannya, karena telah diwajibkan oleh Pemerintah Indonesia, bukan lagi sekedar dari komitmen GAR,” katanya.
Elfian menambahkan, Greenomics Indonesia meminta GAR menjelaskan kepada publik tentang rencana operasinya terhadap areal izin pelepasan kawasan hutan Papua yang mayoritas tutupan lahannya berupa hutan alam yang masih baik.
Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Greenomics Indonesia berjudul “What are Golden Agri’s plans for its new palm oil concession in Papua’s forests?” yang dipublikasi 27 Juni 2013 lalu.
Menurut laporan Greenomics Indonesia, GAR yang merupakan grup bisnis sawit terbesar kedua di dunia, pada akhir Juli 2012 memperoleh izin pelepasan sebagian kawasan hutan Papua yang berlokasi di Kabupaten Jayapura seluas 20.143,30 ha, setelah mendapatkan izin prinsip pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan pada Maret 2011.
Namun demikian, areal tersebut ternyata masuk ke dalam areal Penundaan Izin Baru pada Hutan Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut “peta moratorium”) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 20 Mei 2011.
Cara satu-satunya untuk meneruskan proses pelepasan kawasan hutan adalah dengan mengeluarkannya dari peta moratorium, yang secara legal memang dimungkinkan karena telah mendapatkan izin prinsip sebelum diterbitkannya peta moratorium.
“Akhirnya, pada peta moratorium revisi I yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada 22 November 2011, calon areal sawit anak usaha GAR tersebut sudah dihapuskan dari areal moratorium,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di jakarta (24/7/2013).
Menurutnya, mayoritas hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut masih baik tutupan lahannya, di mana lebih dari 76 persen merupakan areal berhutan.
Bahkan, berdasarkan data shape file peta moratorium hasil interpretasi Kementerian Kehutanan tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009, areal tersebut merupakan hutan primer. “Makanya, relevan mengapa areal tersebut sempat dimasukkan ke dalam peta moratorium,” ujar Elfian.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada 2011, tutupan lahan hutan Papua yang dilepas untuk perkebunan sawit GAR tersebut, lebih dari 97 persen merupakan tutupan hutan dalam kondisi baik, yaitu berupa hutan primer seluas lebih dari 15 ribu ha dan hutan sekunder lebih dari 4.500 ha. Sisanya, 549 ha berupa kebun sawit.
“Ini menarik, karena ternyata terdapat kebun sawit seluas 549 ha pada areal yang diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan tersebut. Artinya, telah terjadi pembukaan kawasan hutan Papua sebelum adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” ungkap Elfian.
Laporan Greenomics Indonesia juga menunjukkan hasil pengecekan antara interpretasi tutupan lahan Kementerian Kehutanan pada 2011 tersebut dengan image Google Earth pada 28 November 2011. Image Google Earth itu menunjukkan secara jelas bagaimana masih baiknya tutupan hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut.
“Dalam SK Menhut pelepasan kawasan hutan untuk anak usaha GAR tersebut, disebutkan kewajiban memproteksi areal HCVF di areal tersebut. Ini tantangan bagi GAR dalam mengimplementasikan kebijakan konservasi hutannya, karena telah diwajibkan oleh Pemerintah Indonesia, bukan lagi sekedar dari komitmen GAR,” katanya.
Elfian menambahkan, Greenomics Indonesia meminta GAR menjelaskan kepada publik tentang rencana operasinya terhadap areal izin pelepasan kawasan hutan Papua yang mayoritas tutupan lahannya berupa hutan alam yang masih baik.
(gpr)