Bangga membangun usaha sendiri
A
A
A
JIKA berbeda sendiri, minoritas, ditambah belum berhasil (masih merintis usaha), dipertanyakan statusnya, siapapun menjadi tidak nyaman. Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, kalimat pamungkas yang keluar saat berkenalan adalah, “Kerja di mana?”
Terus Anda mau jawab, “Oh saya nggak kerja, jualan kebab aja”.
Hal ini yang sering dirasakan sahabat muda Indonesia yang baru awal merintis usaha. Mereka merasa sendirian, minder ketika melihat teman-temannya menjadi karyawan sebuah perusahaan besar, sudah mampu membeli mobil, rumah, sedangkan mereka masih berjibaku dengan gerobak usaha andalannya.
Status pekerjaan dan kekayaan menjadi faktor pendukung kepercayaan diri seseorang. Meskipun usahanya sudah punya lima outlet, tetap saja status menjadi persoalan bagi orang tua di Indonesia.
Mungkin karena usahanya masih usaha mikro sehingga masa depannya tidak dilirik. Padahal, dream big start small, hal itulah yang diajarkan Budi Isman saat sesi seminar yang diadakan komunitas Smartpreneur “How to be Smart Enterpreneur” di Jakarta Design Senter, baru-baru ini.
Budi adalah salah satu founder dan advisor komunitas yang baru 7 bulan berjalan. Dia pernah 30 tahun menjadi profesional hingga akhirnya memutuskan pensiun dini menjadi sosial preneur, investor dan coach bagi usaha-usaha mikro dan SMB. Padahal, sebelumnya dia adalah master coach international untuk para CEO national dan multinational company. Dia juga pernah menjabat sebagai Dir Group Cocacola, Dir Avrist Insurance, CEO Sari Husada (red-produsen SGM) dan komisaris Danone.
“Di komunitas ini kami tidak hanya kumpul-kumpul. Komunitas positif itu perlu saling motivasi dan sharing. Tapi, lebih dari itu kami punya agenda yang belum memiliki usaha wajib buka usaha, yang sudah punya usaha tapi masih mikro harus kita dorong agar menjadi usaha kecil, terus menjadi menengah dan seterusnya,” ujar CEO Smartpreneur, Yuszak M Yahya.
Ke depan anak muda akan pede dan bangga menyebut dirinya sebagai UKM. Seperti plesetan Hendy Setiono, pengusaha kebab yang menyebut UKM adalah usaha kecil tapi omzet miliar. Dia memulai usaha kebab di usia 20 tahun. Dia mampu meningkatkan skala usahanya dari satu outlet menjadi 1.000 outlet hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun.
“Anak muda itu penuh dengan ide. Tapi, ide juga harus ditunjang sistem yang bagus agar bisnis terus tumbuh dan berkembang,” terang Yuszak.
Para anggota juga diperkenalkan sebuah model deteksi 'kesehatan' usaha yang juga dapat dijadikan tools atau worksheet untuk merancang sebuah business plan. Ada banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab sebelum membuka usaha.
"Dimulai dari siapa segmen pasarnya? Di mana Industri dan ketegori usahanya bermain? Bagaimana distribusinya? Dan, bagaimana struktur keuangannya kelak? Hal itu harus mampu dijawab oleh seseorang yang niat berbisnis. Jangan sampai gara-gara hanya modal nekat orang buka usaha wartel. Padahal, saat ini industri wartel sedang sunset,” terang Yuszak.
Wusda H Ribawa, ketua Smartpreneur Regional Jakarta mengatakan, gerakan sosial ini memiliki visi one in twenty, membina dan mencetak 1 juta pengusaha pada 2020. "Kami juga banyak melakukan kolaborasi dengan berbagai komunitas lain, seperti Tangan di Atas, Yoters YoungOnTop dan komunitas enterpreneur di berbagai kampus," ujarnya.
Terus Anda mau jawab, “Oh saya nggak kerja, jualan kebab aja”.
Hal ini yang sering dirasakan sahabat muda Indonesia yang baru awal merintis usaha. Mereka merasa sendirian, minder ketika melihat teman-temannya menjadi karyawan sebuah perusahaan besar, sudah mampu membeli mobil, rumah, sedangkan mereka masih berjibaku dengan gerobak usaha andalannya.
Status pekerjaan dan kekayaan menjadi faktor pendukung kepercayaan diri seseorang. Meskipun usahanya sudah punya lima outlet, tetap saja status menjadi persoalan bagi orang tua di Indonesia.
Mungkin karena usahanya masih usaha mikro sehingga masa depannya tidak dilirik. Padahal, dream big start small, hal itulah yang diajarkan Budi Isman saat sesi seminar yang diadakan komunitas Smartpreneur “How to be Smart Enterpreneur” di Jakarta Design Senter, baru-baru ini.
Budi adalah salah satu founder dan advisor komunitas yang baru 7 bulan berjalan. Dia pernah 30 tahun menjadi profesional hingga akhirnya memutuskan pensiun dini menjadi sosial preneur, investor dan coach bagi usaha-usaha mikro dan SMB. Padahal, sebelumnya dia adalah master coach international untuk para CEO national dan multinational company. Dia juga pernah menjabat sebagai Dir Group Cocacola, Dir Avrist Insurance, CEO Sari Husada (red-produsen SGM) dan komisaris Danone.
“Di komunitas ini kami tidak hanya kumpul-kumpul. Komunitas positif itu perlu saling motivasi dan sharing. Tapi, lebih dari itu kami punya agenda yang belum memiliki usaha wajib buka usaha, yang sudah punya usaha tapi masih mikro harus kita dorong agar menjadi usaha kecil, terus menjadi menengah dan seterusnya,” ujar CEO Smartpreneur, Yuszak M Yahya.
Ke depan anak muda akan pede dan bangga menyebut dirinya sebagai UKM. Seperti plesetan Hendy Setiono, pengusaha kebab yang menyebut UKM adalah usaha kecil tapi omzet miliar. Dia memulai usaha kebab di usia 20 tahun. Dia mampu meningkatkan skala usahanya dari satu outlet menjadi 1.000 outlet hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun.
“Anak muda itu penuh dengan ide. Tapi, ide juga harus ditunjang sistem yang bagus agar bisnis terus tumbuh dan berkembang,” terang Yuszak.
Para anggota juga diperkenalkan sebuah model deteksi 'kesehatan' usaha yang juga dapat dijadikan tools atau worksheet untuk merancang sebuah business plan. Ada banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab sebelum membuka usaha.
"Dimulai dari siapa segmen pasarnya? Di mana Industri dan ketegori usahanya bermain? Bagaimana distribusinya? Dan, bagaimana struktur keuangannya kelak? Hal itu harus mampu dijawab oleh seseorang yang niat berbisnis. Jangan sampai gara-gara hanya modal nekat orang buka usaha wartel. Padahal, saat ini industri wartel sedang sunset,” terang Yuszak.
Wusda H Ribawa, ketua Smartpreneur Regional Jakarta mengatakan, gerakan sosial ini memiliki visi one in twenty, membina dan mencetak 1 juta pengusaha pada 2020. "Kami juga banyak melakukan kolaborasi dengan berbagai komunitas lain, seperti Tangan di Atas, Yoters YoungOnTop dan komunitas enterpreneur di berbagai kampus," ujarnya.
(dmd)