Pemahat batu di Sumba kesulitan pasarkan hasil karya
A
A
A
Sindonews.com - Pemahat batu cadas untuk bahan baku kuburan tradisional Sumba dan aneka aksesoris khas Sumba hanya tinggal segelintir saja. Namun sayangnya, hasil karya mereka yang miliki nilai seni tinggi dan penuh makna budaya itu, terbentur dengan sulitnya mereka untuk memasarkan hasil karyanya.
Hal itu nampak dari pengakuan Jeferson Tamu Ama, seorang pemuda pemahat batu yang ditemui di kediaman kerabatnya di kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Rabu (2/10/2013).
“Ada ratusan hasil kerja saya, mulai dari ukuran kecil sampai yang tingginya hampir lima meter. Saya terus berusaha bertahan di pekerjaan ini, namun saya juga perlu uang untuk beli alat dan kebutuhan hidup saya. Tapi mau gimana, sampai saat ini saya masih sangat kesulitan memasarkannnya,” urai Jeferson.
Untuk membantu mencukupi kebutuhannya, Jeferson mengaku menyiasatinya dengan kerja kebun dan sawah di sekitar kediamannya di Desa Tana Rara, Kecamatan Matawai Lapawu itu.
”Saya kerja kebun kecil– kecilan walau sebenarnya waktu, tenaga serta pikiran, lebih banyak saya berikan untuk pahat dan ukir batu,” ungkapnya.
Upayanya untuk memilih dan bertahan menjadi pemahat dan pengukir batu cadas itu, selain karena mencintai seni juga merasa terpanggil untuk turut dan terus melestarikan tradisi Sumba.
”Memang ada bantuan dari pemerintah melalui dinas Koperasi. Namun itu untuk modal beli alat saja, dan itu harus dicicil pengembaliannya. Kalau hasil kerja saya tak bisa dijual saya mau cicil gimana? Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang bekerja seperti saya ini,” timpalnya.
Adapun aneka hasil pahatan Ama dijual dengan harga berkisar Rp2,5 juta hingga Rp20 juta rupiah itu memang merupakan hasil seni khas Sumba yng biasa disebut Penji. Yakni batu berukir yang biasanya disandingkan di sisi batu kubur megalithum khas Sumba.
Hal itu nampak dari pengakuan Jeferson Tamu Ama, seorang pemuda pemahat batu yang ditemui di kediaman kerabatnya di kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, Rabu (2/10/2013).
“Ada ratusan hasil kerja saya, mulai dari ukuran kecil sampai yang tingginya hampir lima meter. Saya terus berusaha bertahan di pekerjaan ini, namun saya juga perlu uang untuk beli alat dan kebutuhan hidup saya. Tapi mau gimana, sampai saat ini saya masih sangat kesulitan memasarkannnya,” urai Jeferson.
Untuk membantu mencukupi kebutuhannya, Jeferson mengaku menyiasatinya dengan kerja kebun dan sawah di sekitar kediamannya di Desa Tana Rara, Kecamatan Matawai Lapawu itu.
”Saya kerja kebun kecil– kecilan walau sebenarnya waktu, tenaga serta pikiran, lebih banyak saya berikan untuk pahat dan ukir batu,” ungkapnya.
Upayanya untuk memilih dan bertahan menjadi pemahat dan pengukir batu cadas itu, selain karena mencintai seni juga merasa terpanggil untuk turut dan terus melestarikan tradisi Sumba.
”Memang ada bantuan dari pemerintah melalui dinas Koperasi. Namun itu untuk modal beli alat saja, dan itu harus dicicil pengembaliannya. Kalau hasil kerja saya tak bisa dijual saya mau cicil gimana? Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang bekerja seperti saya ini,” timpalnya.
Adapun aneka hasil pahatan Ama dijual dengan harga berkisar Rp2,5 juta hingga Rp20 juta rupiah itu memang merupakan hasil seni khas Sumba yng biasa disebut Penji. Yakni batu berukir yang biasanya disandingkan di sisi batu kubur megalithum khas Sumba.
(gpr)