ABY tolak Inpres penetapan upah minimum
A
A
A
Sindonews.com - Secara resmi Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) menolak Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penetapan Upan Minimum. Inpres tersebut dianggap sebagai kebijakan yang melanggengkan upah murah bagi buruh.
Sekretaris Jenderal (Sekjend) ABY Kirnadi mengatakan, Inpres yang ditandatangi Presiden SBY awal Oktober 2013 bertentangan dengan semangat pemerintah dalam akan menghapus upah murah.
"Presiden SBY berpidato beberapa waktu lalu di gedung DPR yang berkomitmen menghapus upah murah. Tapi justru Inpres ini malah melanggengkan praktek upah murah," katanya, Kamis (3/10/2013).
Menurut dia, di tengah kondisi minimnya kesejahteraan buruh, pemerintah malah membuat formula baru upah minimum dengan perhitungan berbasiskan tingkat inflasi ditambah X persen yang ditentukan melalui mekanisme tripartit.
"Parahnya lagi, ini akan berlaku bagi kelompok industri padat modal, padat karya dan UKM," ungkapnya.
Implementasi dari Inpres tersebut adalah batasan kenaikan upah minimum per 2014 adalah sebesar Inflasi dengan batas atas maksimal 10 persen di atas inflasi tahunan untuk industri besar, dan industri padat karya serta UKM maksimal 5 persen. Inpres yang akan menjadi pedoman untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Kirnadi berpendapat, Inpres tentang pengupahan itu juga akan menelurkan ketentuan yang melemahkan upah kaum pekerja. Hal ini akan berdampak pada tingkat konsumsi domestik bakal turun sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi berjalan lambat.
"Inpres juga bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No.13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sebab, dalam regulasi itu penetapan upah minimum diputuskan oleh gubernur," jelasnya.
Bahkan, Kirnadi menyebutkan Inpres juga Inkonstitusional karena amanat UUD 1945 paradigma kebijakan pengupahan adalah upah layak, sehingga Inpres Upah Murah melanggar Pasal 27 ayat 2. Ayat tersebut berbunyi, 'Tiap Warga Negara Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'.
Inpres juga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 2 yakni 'Setiap Orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil ndan layak dalam hubungan kerja'.
Untuk itu, ABY yang terdiri dari 14 serikat pekerja di DIY ini dengan tegas menolak Inpres Upah Murah yang menjadi standarisasi Upah Minimum Nasional. "Kami juga menuntut Gubernur DIY untuk tidak menggunakan Inpres tersebut sebagai dasar penetapan UMK karena aturan UMK sudah jelas di atur dalam UU Ketenagakerjaan," tegasnya.
ABY juga meminta agar pemerintah segera merevisi komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) upah dari 60 menjadi minimal 84 item dan standarisasi upah juga memperhitungkan kebutuhan hidup buruh yang sudah berkeluarga. "Kami sudah mengkosolidasi seluruh elemen buruh untuk menggelar aksi nasional akhir Oktober," ujarnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjend) ABY Kirnadi mengatakan, Inpres yang ditandatangi Presiden SBY awal Oktober 2013 bertentangan dengan semangat pemerintah dalam akan menghapus upah murah.
"Presiden SBY berpidato beberapa waktu lalu di gedung DPR yang berkomitmen menghapus upah murah. Tapi justru Inpres ini malah melanggengkan praktek upah murah," katanya, Kamis (3/10/2013).
Menurut dia, di tengah kondisi minimnya kesejahteraan buruh, pemerintah malah membuat formula baru upah minimum dengan perhitungan berbasiskan tingkat inflasi ditambah X persen yang ditentukan melalui mekanisme tripartit.
"Parahnya lagi, ini akan berlaku bagi kelompok industri padat modal, padat karya dan UKM," ungkapnya.
Implementasi dari Inpres tersebut adalah batasan kenaikan upah minimum per 2014 adalah sebesar Inflasi dengan batas atas maksimal 10 persen di atas inflasi tahunan untuk industri besar, dan industri padat karya serta UKM maksimal 5 persen. Inpres yang akan menjadi pedoman untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Kirnadi berpendapat, Inpres tentang pengupahan itu juga akan menelurkan ketentuan yang melemahkan upah kaum pekerja. Hal ini akan berdampak pada tingkat konsumsi domestik bakal turun sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi berjalan lambat.
"Inpres juga bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No.13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sebab, dalam regulasi itu penetapan upah minimum diputuskan oleh gubernur," jelasnya.
Bahkan, Kirnadi menyebutkan Inpres juga Inkonstitusional karena amanat UUD 1945 paradigma kebijakan pengupahan adalah upah layak, sehingga Inpres Upah Murah melanggar Pasal 27 ayat 2. Ayat tersebut berbunyi, 'Tiap Warga Negara Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'.
Inpres juga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 2 yakni 'Setiap Orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil ndan layak dalam hubungan kerja'.
Untuk itu, ABY yang terdiri dari 14 serikat pekerja di DIY ini dengan tegas menolak Inpres Upah Murah yang menjadi standarisasi Upah Minimum Nasional. "Kami juga menuntut Gubernur DIY untuk tidak menggunakan Inpres tersebut sebagai dasar penetapan UMK karena aturan UMK sudah jelas di atur dalam UU Ketenagakerjaan," tegasnya.
ABY juga meminta agar pemerintah segera merevisi komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) upah dari 60 menjadi minimal 84 item dan standarisasi upah juga memperhitungkan kebutuhan hidup buruh yang sudah berkeluarga. "Kami sudah mengkosolidasi seluruh elemen buruh untuk menggelar aksi nasional akhir Oktober," ujarnya.
(gpr)