Reklamasi di Pulau Jawa sebaiknya dihentikan
A
A
A
Sindonews.com - Pakar Kelautan dan Lingkungan, Rokhmin Dahuri mengatakan, reklamasi di Pulau Jawa sebaiknya dihentikan. Karena, saat ini masih terjadi disparitas pembangunan.
Misalnya, kata dia, Jakarta yang luasnya hanya 6,5 persen garis pantai mampu menciptkan pertumbuhan ekonomi hingga 50 persen. Berbanding jauh dengan Sumatera yang pertumbuhan ekonominya hanya 28 persen dan Papua hanya 15 persen.
Jika reklamasi terus dilakukan di Pulau Jawa maka perekonomian tidak akan efisien. Bahkan dalam jangka waktu tertentu Pulau Jawa bisa hancur. "Saya bukan mengharamkan reklamasi. Tetapi untuk kondisi di Pulau Jawa cukup di DKI saja," kata Rohkmin saat acara Semiloka Internasional bertema Reklami sebagai Alternatif Lokasi Pengembangan Permukiman Multi Strata Kasus Pantura Jakarta di Auditorium Unversitas Gunadarma, Depok, Kamis (12/12/2013).
Untuk menyelesaikan masalah, seharusnya dilakukan dengan melihat sumbernya. Dia menyarankan agar sentra ekonomi sektor perikanan yang memadai. Misalnya dengan membangun tempat lelang ikan yang bersih dan tidak bau.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini juga mengingatkan kepada sektor industri agar tidak tabu dengan bidang perikanan. "Justru masyarakat kelas bawah seharusnya dilibatkan di kawasan reklamasi. Nelaya harus diberi tempat," ucapnya.
Kepala Pusat SAPIMB Universitas Gunadarma, Ruswandi Tahrir mengatakan, reklamasi diharapkan akan merubah kawasan pudar menjadi habitable. Sehingga bermanfaat untuk berbagai keperluan ekonomi dan tujuan strategis lainnya.
Reklamasi pantai di Indonesua telah dilakukan sejak 30 tahun lalu. "Proyek reklamasi pantura Jakarta membentang dari ujung timur sampai barat Jakarta dengan luas yang direklamasi 2.700 hektar," katanya.
Untuk perbaikan lingkungan di kawasan Jakarta Utara sudah mencapai 2.500 hektar. Reklamasi pantai membutuhkan sedikitnya 200 juta meter kubik pasir. Reklamasi Pantura Jakarta tidak bisa dikerjakan sendiri karena ada pulau-pulau reklamasi bersama Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) untuk menampung air baku.
"Jadi ini kegiatan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama sekitar 25 tahun dengan biaya sekitar Rp250 triliun," pungkasnya.
Misalnya, kata dia, Jakarta yang luasnya hanya 6,5 persen garis pantai mampu menciptkan pertumbuhan ekonomi hingga 50 persen. Berbanding jauh dengan Sumatera yang pertumbuhan ekonominya hanya 28 persen dan Papua hanya 15 persen.
Jika reklamasi terus dilakukan di Pulau Jawa maka perekonomian tidak akan efisien. Bahkan dalam jangka waktu tertentu Pulau Jawa bisa hancur. "Saya bukan mengharamkan reklamasi. Tetapi untuk kondisi di Pulau Jawa cukup di DKI saja," kata Rohkmin saat acara Semiloka Internasional bertema Reklami sebagai Alternatif Lokasi Pengembangan Permukiman Multi Strata Kasus Pantura Jakarta di Auditorium Unversitas Gunadarma, Depok, Kamis (12/12/2013).
Untuk menyelesaikan masalah, seharusnya dilakukan dengan melihat sumbernya. Dia menyarankan agar sentra ekonomi sektor perikanan yang memadai. Misalnya dengan membangun tempat lelang ikan yang bersih dan tidak bau.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini juga mengingatkan kepada sektor industri agar tidak tabu dengan bidang perikanan. "Justru masyarakat kelas bawah seharusnya dilibatkan di kawasan reklamasi. Nelaya harus diberi tempat," ucapnya.
Kepala Pusat SAPIMB Universitas Gunadarma, Ruswandi Tahrir mengatakan, reklamasi diharapkan akan merubah kawasan pudar menjadi habitable. Sehingga bermanfaat untuk berbagai keperluan ekonomi dan tujuan strategis lainnya.
Reklamasi pantai di Indonesua telah dilakukan sejak 30 tahun lalu. "Proyek reklamasi pantura Jakarta membentang dari ujung timur sampai barat Jakarta dengan luas yang direklamasi 2.700 hektar," katanya.
Untuk perbaikan lingkungan di kawasan Jakarta Utara sudah mencapai 2.500 hektar. Reklamasi pantai membutuhkan sedikitnya 200 juta meter kubik pasir. Reklamasi Pantura Jakarta tidak bisa dikerjakan sendiri karena ada pulau-pulau reklamasi bersama Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) untuk menampung air baku.
"Jadi ini kegiatan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama sekitar 25 tahun dengan biaya sekitar Rp250 triliun," pungkasnya.
(izz)