Harga patokan mineral difinalisasi

Selasa, 21 Januari 2014 - 18:06 WIB
Harga patokan mineral difinalisasi
Harga patokan mineral difinalisasi
A A A
Sindonews.com - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan finalisasi aturan pelaksanaan harga patokan mineral (HPM) yang selanjutnya ditetapkan menjadi harga patokan ekspor (HPE).

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Dede Ida Suhendra menuturkan bahwa besaran HPM tersebut nantinya akan direkomendasikan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag). Selanjutnya, pungutan bea ekspor yang harus dibayarkan pengusaha berdasarkan besaran persentase bea keluar dikalikan HPE.

"Seluruh ekspor konsentrat wajib bayar bea keluar, termasuk Freeport dan Newmont," kata dia, di Jakarta, Selasa (21/1/2014).

Sehingga, pemerintah masih akan menahan proses kegiatan ekspor kedua perusahaan tersebut sampai terbitnya HPE. Saat ini Kementerian ESDM sedang melakukan koordinasi dengan Kemendag terkait perlu tidaknya kedua perusahaan tersebut memegang surat persetujuan ekspor (SPE) dan eksportir terdaftar (ET) dalam kegiatan ekspor.

Karena, kata Ida, peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur jumlah kuota konsentrat yang diperbolehkan ekspor kepada masing-masing perusahaan. "Langkah selanjutnya akan diputuskan setelah koordinasi dengan Kemendag," ujarnya.

Kemendag menegaskan bahwa bagi perusahaan yang masih melakukan pengolahan diwajibkan untuk memenuhi seluruh persyaratan, termasuk adanya persetujuan dari Kemendag. Mulai 4 Februari 2014, seluruh eksportir produk tambang harus memenuhi semua persyaratan yang sudah ditentukan.

Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi mengatakan, saat ini kebijakan yang akan diterapkan Kemendag masih berada pada lingkup kebijakan nasional.

Secara garis besar mencakup pelarangan ekspor bahan mentah, yakni setiap perusahaan diarahkan untuk membangun pengolahan sampai hilir atau tahap pemurnian, dan menggunakan kebijakan insentif serta disinsentif untuk mendorong hilirisasi.

Sementara, bagi perusahaan yang menggunakan batas minimum atau masih melakukan pengolahan harus mendapatkan pengakuan sebagai eksportir terdaftar dengan melakukan verifikasi preshipment untuk mengetahui kadar pengolahan. Kemudian, harus mendapatkan persetujuan ekspor dari Menteri Perdagangan.

"Persetujuan ekspor tersebut nantinya membedakan antara pengolahan dan pemurnian. Untuk produk-produk yang sudah menjadi produk akhir tidak lagi memerlukan persetujuan menteri tersebut," katanya.

Menurutnya, hanya cukup eksportir yang terdaftar dan preshipment. Sedangkan untuk pengguna batas minimum setiap saat harus mengajukan rencana agar mendapatkan persetujuan ekspor.

Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar, menegasakan bahwa pemerintah secara konsisten akan menjalankan aturan bea keluar mineral. Aturan ini akan dimasukkan ke dalam kontrak karya yang saat ini masih dalam proses renegosiasi.

"Kontrak karya sudah lama sekali, sudah saatnya dikaji lagi. Masak kita tidak bisa minta itu dimasukkan ke dalam kontrak karya seperti Freeport dan Newmont," katanya.

Seperti diketahui PP No 1/2014 dan Permen ESDM No 1/2014 masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017 meski UU No 4/2009 sudah melarang ekspor konsentrat mulai 12 Januari 2014.

Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor untuk tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen, pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen.

Namun, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan smelter. Kemudian sesuai Permenkeu No 6/PMK/011/2014 terkait penetapan persentase bea ekspor progresif.

Pada tahun ini, pungutan bea ekspor konsentrat tembaga ditetapkan sebesar 25-60 persen dari HPE. Sedangkan bea keluar sebesar 60 persen merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4556 seconds (0.1#10.140)