Pengamat: Bisnis elipiji 12 kg Pertamina bukan monopoli
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, bisnis elpiji 12 kilogram (kg) yang dilakukan Pertamina tidak termasuk dalam kategori monopoli. Sebab siapapun badan usaha yang ingin masuk ke dalam bisnis elpiji 12 kg dapat masuk.
"Namun dalam praktiknya, Pertamina adalah pemain satu-satunnya. Kini yang perlu dicermati adalah alasan Pertamina yang menyatakan bahwa bisnis elpiji 12 kg itu merugi," ujar Fahmy dalam rilisnya, Senin (27/1/2014).
Dosen UGM ini menilai pernyataan Pertamina yang merugi di bisnis elpiji 12 kg terbilang aneh. Fahmy mensinyalir Pertamina yang ‘berkoar-koar’ soal kerugian demi mencegah adanya badan usaha lain yang terjun ke bisnis elpiji 12 kg sebagai bagian dari entry barrier.
Sementara itu pengamat energi Kurtubi mengatakan, seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) cermat dalam mengeluarkan opini menggenai kerugian Pertamina di bisnis elpiji 12 kg. Seharusnnya, kata dia, rekomendasi yang keluar dari BPK bukan meminta Pertamina menaikkan harga jual elpiji 12 kg.
"Harusnnya rekomendasi BPK adalah meminta agar Pertamina mengefisienkan pengadaan elpiji 12 kg," ujar Kurtubi.
Kurtubi menilai, sampai saat ini pengadaan elpiji Pertamina belum efisien. Ini dapat dilihat dari Pertamina yang masih senang mengimpor elpiji melalui broker.
Logikannya, Pertamina dapat membeli elpiji dari produsennya secara langsung dengan kontrak jangka panjang. Langkah tersebut dapat menurunkan biaya pokok pengadaan elpiji yang akhirnnya menurunkan kerugian Pertamina.
Kurtubi meminta agar pemerintah dapat melarang Pertamina untuk membeli elpiji dari broker.
“Kita mencurigai Pertamina senang membeli elpiji dari broker karena saling menguntungkan antar broker dan oknum pejabat di Pertamina, namun negara dan Pertamina yang dirugikan,” tutur Kurtubi.
Selain karena membeli dari broker, Kurtubi mensinyalir tingginya harga jual elpiji 12 kg lantaran acuan harga yang dipakai Pertamina menggunakan harga crudeprice (CP) Aramco.
“Jika Pertamina tidak menggunakan harga internasional, pasti harga jualnya jauh lebih murah. Bisa lebih murah 10 persen,” ungkap dia.
Sebelumnya, Komisi Pengawas persaiangan usaha (KPPU) memanggil Pertamina. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum Ahmad Junaidi mengatakan, KPPU memanggil Pertamina untuk meminta klarifikasi mengenai kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 menyatakan, adanya campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi ini.
Dengan dasar tersebut, KPPU menilai tindakan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg tidak memiliki dasar kewenangan. Di samping itu, jika terbukti Pertamina melakukan monopoli, maka akan terancam denda hingga Rp25 miliar.
"Namun dalam praktiknya, Pertamina adalah pemain satu-satunnya. Kini yang perlu dicermati adalah alasan Pertamina yang menyatakan bahwa bisnis elpiji 12 kg itu merugi," ujar Fahmy dalam rilisnya, Senin (27/1/2014).
Dosen UGM ini menilai pernyataan Pertamina yang merugi di bisnis elpiji 12 kg terbilang aneh. Fahmy mensinyalir Pertamina yang ‘berkoar-koar’ soal kerugian demi mencegah adanya badan usaha lain yang terjun ke bisnis elpiji 12 kg sebagai bagian dari entry barrier.
Sementara itu pengamat energi Kurtubi mengatakan, seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) cermat dalam mengeluarkan opini menggenai kerugian Pertamina di bisnis elpiji 12 kg. Seharusnnya, kata dia, rekomendasi yang keluar dari BPK bukan meminta Pertamina menaikkan harga jual elpiji 12 kg.
"Harusnnya rekomendasi BPK adalah meminta agar Pertamina mengefisienkan pengadaan elpiji 12 kg," ujar Kurtubi.
Kurtubi menilai, sampai saat ini pengadaan elpiji Pertamina belum efisien. Ini dapat dilihat dari Pertamina yang masih senang mengimpor elpiji melalui broker.
Logikannya, Pertamina dapat membeli elpiji dari produsennya secara langsung dengan kontrak jangka panjang. Langkah tersebut dapat menurunkan biaya pokok pengadaan elpiji yang akhirnnya menurunkan kerugian Pertamina.
Kurtubi meminta agar pemerintah dapat melarang Pertamina untuk membeli elpiji dari broker.
“Kita mencurigai Pertamina senang membeli elpiji dari broker karena saling menguntungkan antar broker dan oknum pejabat di Pertamina, namun negara dan Pertamina yang dirugikan,” tutur Kurtubi.
Selain karena membeli dari broker, Kurtubi mensinyalir tingginya harga jual elpiji 12 kg lantaran acuan harga yang dipakai Pertamina menggunakan harga crudeprice (CP) Aramco.
“Jika Pertamina tidak menggunakan harga internasional, pasti harga jualnya jauh lebih murah. Bisa lebih murah 10 persen,” ungkap dia.
Sebelumnya, Komisi Pengawas persaiangan usaha (KPPU) memanggil Pertamina. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum Ahmad Junaidi mengatakan, KPPU memanggil Pertamina untuk meminta klarifikasi mengenai kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 menyatakan, adanya campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi ini.
Dengan dasar tersebut, KPPU menilai tindakan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg tidak memiliki dasar kewenangan. Di samping itu, jika terbukti Pertamina melakukan monopoli, maka akan terancam denda hingga Rp25 miliar.
(rna)