Pengusaha gerabah di Sulsel masih bertahan
A
A
A
Sindonews.com - Di tengah gempuran keramik asal China, usaha gerabah milik warga di Dusun Sandi, Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel) masih tetap bertahan.
Warga pun mengkreasi gerabah buatan mereka dengan lukisan guna menghadapi persaingan keramik impor yang merambah tanah air. Di dusun ini, mayoritas warganya merupakan perajin gerabah dari tanah liat, lantaran tak memiliki keterampilan lain.
Hal ini seperti yang dilakukan pasangan Mustamin dan Halima Daeng Tomi yang membuat gerabah sudah menjadi penghasilan pokok mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari. "Kami sudah menekuni pembuatan gerabah ini sejak tahun 1980-an," kata Mustamin, Selasa (28/1/2014).
Umumnya gerabah dibuat dengan tetap mempertahankan teknik yang lama secara turun temurun digunakan, yakni tanah liat di olah atau diproses dengan cara dipijat, diputar, di keringkan lalu dibakar. Untuk membuat satu buah gerabah tidak memerlukan waktu yang begitu lama, hanya dalam hitungan menit dengan cara tradisional satu buah gerabah mampu dia selesaikan.
Seiring perkembangan zaman dan banyaknya keramik impor yang masuk ke tanah air, mereka pun mulai mengkreasi gerabah buatannya dengan berbagai lukisan. Selain itu, dia juga mulai membuat meja, kursi, guci, pot bunga, gelas, asbak, dan berbagai bentuk lainnya.
"Harga gerabah bervariasi dari Rp20 ribu hingga ratusan ribu rupiah per buah, tergantung motifnya," uajar dia.
Sementara, Daeng Tommi mengatakan, hasil gerabah yang dibuatnya tak hanya dipasarkan di Kota Makassar melainkan merambah ke berbagai kota di tanah air seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah bahkan ke pulau Kalimantan.
Pihaknya berharap kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk membantu usaha yang mereka lakukan agar dapat berkembang dan bersaing dengan keramik impor.
Warga pun mengkreasi gerabah buatan mereka dengan lukisan guna menghadapi persaingan keramik impor yang merambah tanah air. Di dusun ini, mayoritas warganya merupakan perajin gerabah dari tanah liat, lantaran tak memiliki keterampilan lain.
Hal ini seperti yang dilakukan pasangan Mustamin dan Halima Daeng Tomi yang membuat gerabah sudah menjadi penghasilan pokok mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari. "Kami sudah menekuni pembuatan gerabah ini sejak tahun 1980-an," kata Mustamin, Selasa (28/1/2014).
Umumnya gerabah dibuat dengan tetap mempertahankan teknik yang lama secara turun temurun digunakan, yakni tanah liat di olah atau diproses dengan cara dipijat, diputar, di keringkan lalu dibakar. Untuk membuat satu buah gerabah tidak memerlukan waktu yang begitu lama, hanya dalam hitungan menit dengan cara tradisional satu buah gerabah mampu dia selesaikan.
Seiring perkembangan zaman dan banyaknya keramik impor yang masuk ke tanah air, mereka pun mulai mengkreasi gerabah buatannya dengan berbagai lukisan. Selain itu, dia juga mulai membuat meja, kursi, guci, pot bunga, gelas, asbak, dan berbagai bentuk lainnya.
"Harga gerabah bervariasi dari Rp20 ribu hingga ratusan ribu rupiah per buah, tergantung motifnya," uajar dia.
Sementara, Daeng Tommi mengatakan, hasil gerabah yang dibuatnya tak hanya dipasarkan di Kota Makassar melainkan merambah ke berbagai kota di tanah air seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah bahkan ke pulau Kalimantan.
Pihaknya berharap kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk membantu usaha yang mereka lakukan agar dapat berkembang dan bersaing dengan keramik impor.
(izz)