Kerajinan keramik Bayat mulai ditinggalkan dunia
A
A
A
Sindonews.com - Para perajin keramik di wilayah Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, saat ini sedang dilanda duka yang sangat mendalam. Betapa tidak, keramik-keramik yang bernilai seni tinggi yang dihasilkan para perajin di sentra industri keramik itu, kini tidak lagi diminati dunia.
Keramik-keramik seperti vas bunga, pot, cangkir hias dan guci yang biasanya menghaisi di setiap ruangan dan gedung-gedung di negara-negara besar Eropa, kini tidak mampu lagi menahan gempuran dari pesaing-pesaingnya yang merupakan karya seni dengan jenis lain. Alhasil, keramik-keramik Bayat itu saat ini sudah mulai tidak dipakai lagi di negara-negara barat itu.
Pengusaha keramik asal Pagerjurang Kacamatan Bayat, Triyanto, menyebutkan pergeseran tren seni itu mulai dirasakan para perajin keramik sejak 2009. Hal itu ditandai dengan banyaknya penurunan pesanan dari negara-negara besar seperti Perancis, Jerman, Belanda dan beberapa negara eropa lainnya.
Penurunan pesanan itu terus berlangsung di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga 2014. Menurutnya, penurunan pesanan itu sudah mencapai 70 persen dari sebelumnya.
Kondisi itu disebabkan tren dunia yang sudah bergeser, banyak karya seni lainnya yang saat ini mulai menggeser keramik. Sehingga hiasan dari tanah liat itu saat ini tidak bisa berbicara banyak.
Menurutnya, sebelum terjadi pergeseran tren, jumlah ekspor keramik dari Bayat ke Eropa cukup besar. Dalam satu bulan setidaknya para perajin mampu mengirim 3-4 container dengan ukuran 30 ft. Namun, saat ini para perajin hanya bisa mengirim satu container dengan ukuran 20ft saja.
Bahkan, lanjut Triyanto, jika pasaran sedang buruk, bisa jadi tidak ada pengiriman barang sedikitpun ke benua biru. Dengan penurunan permintaan itu, saat ini pihaknya mengaku memangkas karyawannya dalam jumlah yang sangat banyak.
Dia mengaku, dulu memiliki sekitar 350 karyawan, namun karena kondisi semakin buruk, maka karyawannya kini tinggal 12 orang. Selian itu, beberapa perajin juga harus gulung tikar akibat tidak adanya permintaan keramik yang datang.
Tidak hanya itu, paguyuban perajin keramik yang dahulunya telah terbentuk, kini juga harus dibubarkan seiring dengan menurunnya minat keramik di mata dunia. Saat ini para perajin hanya bisa bertahan dengan kondisi yang ada secara mandiri. Hal itu dilakukan sembari menunggu tren keramik itu kembali jaya seperti dahulu.
"Masa keemasan kita itu terjadi sekitar 2005-2008. Saat itu keramik dari Bayat yang merupakan vas bunga itu sangat digandrungi masyarakat di berbagai dunia, banyak pengusaha asing yang datang ke sini untuk membeli keramik," ucap pria yang dahulu pengurus Paguyuban Keramik Bayat itu.
Triyanto mengatakan, sebenarnya para perajin sudah memunculkan inovasi baru dalam produksi keramik yang akan dikirim ke negara lain. Namun inovasi itu tidak bisa membuat tren keramik kembali ke masa keemasan. Bahkan para perajin harus menanggung kerugian yang sangat besar saat membuat inovasi baru yang justru tidak diterima pasar. Bahkan inovasi itu akhirnya dipasarkan di dalam negeri dengan harga ala kadarnya.
Menurutnya, pasaran keramik dalam negeri itu justru lebih parah dibandingkan pasaran keramik di luar negeri. Menurutnya harga pasaran keramik dalam negeri tidak sebanding dengan biaya produksi yang ada.
"Harga keramik dalam negeri itu dimulai dari Rp3.000 sampai Rp150.000, padahal kalau di luar negeri harga keramik berkisar 3 euro sampai 15 euro," tegasnya.
Perajin keramik lainnya, Warsini mengaku sengaja tetap bertahan dengan pasaran yang ada. Hal itu untuk menjaga tradisi dan peninggalan leluhur mengenai usaha kerajinan keramik di wilayah Bayat. Pihaknya berharap tren keramik akan kembali muncul dan Bayat akan kembali dikenal dunia luas.
"Ya seadanya saja, kalau ada yang beli dilayani, kalau tidak ada yang beli ya biarkan saja sebagai pajangan," ucapnya.
Sementara, alumnus Jurusan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Taqoballah Ridho, menyebutkan kerajinan keramik di Bayat itu sudah ada sejak beberapa generasi yang lalu. Seni kerajinan keramik itu terus menerus diturunkan masyarakat Bayat ke generasi-generasi berikutnya.
Orang yang paling tua di wilayah Bayat pun, tidak mengetahui sejak kapan masyarakat itu menjadi perajin keramik. Dengan kondisi itu dia berharap, para perajin akan terus menurunkan seni kerajinan itu kepada anak-anak mereka.
Hal tersebut dilakukan agar seni keramik bayat tidak punah dan tinggal cerita saja. "Jika suatu saat tren keramik kembali muncul, Bayat akan kembali menjadi pelopor keramik dunia," katanya.
Keramik-keramik seperti vas bunga, pot, cangkir hias dan guci yang biasanya menghaisi di setiap ruangan dan gedung-gedung di negara-negara besar Eropa, kini tidak mampu lagi menahan gempuran dari pesaing-pesaingnya yang merupakan karya seni dengan jenis lain. Alhasil, keramik-keramik Bayat itu saat ini sudah mulai tidak dipakai lagi di negara-negara barat itu.
Pengusaha keramik asal Pagerjurang Kacamatan Bayat, Triyanto, menyebutkan pergeseran tren seni itu mulai dirasakan para perajin keramik sejak 2009. Hal itu ditandai dengan banyaknya penurunan pesanan dari negara-negara besar seperti Perancis, Jerman, Belanda dan beberapa negara eropa lainnya.
Penurunan pesanan itu terus berlangsung di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga 2014. Menurutnya, penurunan pesanan itu sudah mencapai 70 persen dari sebelumnya.
Kondisi itu disebabkan tren dunia yang sudah bergeser, banyak karya seni lainnya yang saat ini mulai menggeser keramik. Sehingga hiasan dari tanah liat itu saat ini tidak bisa berbicara banyak.
Menurutnya, sebelum terjadi pergeseran tren, jumlah ekspor keramik dari Bayat ke Eropa cukup besar. Dalam satu bulan setidaknya para perajin mampu mengirim 3-4 container dengan ukuran 30 ft. Namun, saat ini para perajin hanya bisa mengirim satu container dengan ukuran 20ft saja.
Bahkan, lanjut Triyanto, jika pasaran sedang buruk, bisa jadi tidak ada pengiriman barang sedikitpun ke benua biru. Dengan penurunan permintaan itu, saat ini pihaknya mengaku memangkas karyawannya dalam jumlah yang sangat banyak.
Dia mengaku, dulu memiliki sekitar 350 karyawan, namun karena kondisi semakin buruk, maka karyawannya kini tinggal 12 orang. Selian itu, beberapa perajin juga harus gulung tikar akibat tidak adanya permintaan keramik yang datang.
Tidak hanya itu, paguyuban perajin keramik yang dahulunya telah terbentuk, kini juga harus dibubarkan seiring dengan menurunnya minat keramik di mata dunia. Saat ini para perajin hanya bisa bertahan dengan kondisi yang ada secara mandiri. Hal itu dilakukan sembari menunggu tren keramik itu kembali jaya seperti dahulu.
"Masa keemasan kita itu terjadi sekitar 2005-2008. Saat itu keramik dari Bayat yang merupakan vas bunga itu sangat digandrungi masyarakat di berbagai dunia, banyak pengusaha asing yang datang ke sini untuk membeli keramik," ucap pria yang dahulu pengurus Paguyuban Keramik Bayat itu.
Triyanto mengatakan, sebenarnya para perajin sudah memunculkan inovasi baru dalam produksi keramik yang akan dikirim ke negara lain. Namun inovasi itu tidak bisa membuat tren keramik kembali ke masa keemasan. Bahkan para perajin harus menanggung kerugian yang sangat besar saat membuat inovasi baru yang justru tidak diterima pasar. Bahkan inovasi itu akhirnya dipasarkan di dalam negeri dengan harga ala kadarnya.
Menurutnya, pasaran keramik dalam negeri itu justru lebih parah dibandingkan pasaran keramik di luar negeri. Menurutnya harga pasaran keramik dalam negeri tidak sebanding dengan biaya produksi yang ada.
"Harga keramik dalam negeri itu dimulai dari Rp3.000 sampai Rp150.000, padahal kalau di luar negeri harga keramik berkisar 3 euro sampai 15 euro," tegasnya.
Perajin keramik lainnya, Warsini mengaku sengaja tetap bertahan dengan pasaran yang ada. Hal itu untuk menjaga tradisi dan peninggalan leluhur mengenai usaha kerajinan keramik di wilayah Bayat. Pihaknya berharap tren keramik akan kembali muncul dan Bayat akan kembali dikenal dunia luas.
"Ya seadanya saja, kalau ada yang beli dilayani, kalau tidak ada yang beli ya biarkan saja sebagai pajangan," ucapnya.
Sementara, alumnus Jurusan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Taqoballah Ridho, menyebutkan kerajinan keramik di Bayat itu sudah ada sejak beberapa generasi yang lalu. Seni kerajinan keramik itu terus menerus diturunkan masyarakat Bayat ke generasi-generasi berikutnya.
Orang yang paling tua di wilayah Bayat pun, tidak mengetahui sejak kapan masyarakat itu menjadi perajin keramik. Dengan kondisi itu dia berharap, para perajin akan terus menurunkan seni kerajinan itu kepada anak-anak mereka.
Hal tersebut dilakukan agar seni keramik bayat tidak punah dan tinggal cerita saja. "Jika suatu saat tren keramik kembali muncul, Bayat akan kembali menjadi pelopor keramik dunia," katanya.
(izz)