Aceh butuh strategi investasi berbeda
A
A
A
Sindonews.com - Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini mengungkapkan, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) membutuhkan strategi pembangunan dan investasi yang berbeda dari daerah lain. Hal ini mengingat kondisi masyarakatnya masih sedikit tertutup.
"Model pembangunan yang ada di Aceh itu berbeda. Saya sudah katakan mereka itu bertahun-tahun konflik, mereka baru kembali dari bencana, bahwa mereka kemudian lebih tertutup itu mestinya dianggap masalah bersama," ungkap dia usai menghadiri The Aceh Business Forum di Four Seasons Hotel, Jakarta, Selasa (15/4/2014).
Menurutnya, daerah yang dijuluki sebagai kota Serambi Mekah ini tidak bisa dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa yang sudah terbiasa dengan investasi dari luar, baik investasi domestik maupun asing. Perlu ada mekanisme investasi yang mengikutsertakan mereka.
"Mereka sudah berkonflik lama, mereka kepingin segera sejahtera. Kalau kemudian ada pertumbuhan ekonomi yang besar, tetapi tidak dirasakan manfaatnya itu kan bisa terjadi sebagaimana daerah lain. Itu malah memicu konflik lagi," imbuhnya.
Dia mengatakan, pariwisata menjadi salah satu strategi yang tepat untuk dikembangkan di Aceh guna menarik investor untuk menanamkan modalnya disana.
"Kita ingin mendorong orang Aceh terbuka dan orang luar bisa masuk. Proyeksi yang paling tepat adalah pariwisata karena dia akan melakukan soft visit, ini kan tidak salah. Tidak harus mendatangkan industri besar, ini dari aspek produknya. Kalau kita bisa menyaingi Malaysia dengan 25 juta kunjungan wisata dan dengan belanjanya USD20 miliar itu luar biasa," ucapnya.
Untuk menggaet investor, kata Hendri, tidak bisa hanya terus meyakinkan bahwa Aceh sudah aman. Perlu ada success story yang mampu meyakinkan investor bahwa Aceh sudah tidak menakutkan.
"Yang kedua adalah harus ada titik temu baik untuk investor dari luar maupun masyarakat Aceh untuk saling kenal. Maka tadi saya katakan pariwisata adalah yang paling baik untuk mengenalkan mereka," pungkas dia.
"Model pembangunan yang ada di Aceh itu berbeda. Saya sudah katakan mereka itu bertahun-tahun konflik, mereka baru kembali dari bencana, bahwa mereka kemudian lebih tertutup itu mestinya dianggap masalah bersama," ungkap dia usai menghadiri The Aceh Business Forum di Four Seasons Hotel, Jakarta, Selasa (15/4/2014).
Menurutnya, daerah yang dijuluki sebagai kota Serambi Mekah ini tidak bisa dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa yang sudah terbiasa dengan investasi dari luar, baik investasi domestik maupun asing. Perlu ada mekanisme investasi yang mengikutsertakan mereka.
"Mereka sudah berkonflik lama, mereka kepingin segera sejahtera. Kalau kemudian ada pertumbuhan ekonomi yang besar, tetapi tidak dirasakan manfaatnya itu kan bisa terjadi sebagaimana daerah lain. Itu malah memicu konflik lagi," imbuhnya.
Dia mengatakan, pariwisata menjadi salah satu strategi yang tepat untuk dikembangkan di Aceh guna menarik investor untuk menanamkan modalnya disana.
"Kita ingin mendorong orang Aceh terbuka dan orang luar bisa masuk. Proyeksi yang paling tepat adalah pariwisata karena dia akan melakukan soft visit, ini kan tidak salah. Tidak harus mendatangkan industri besar, ini dari aspek produknya. Kalau kita bisa menyaingi Malaysia dengan 25 juta kunjungan wisata dan dengan belanjanya USD20 miliar itu luar biasa," ucapnya.
Untuk menggaet investor, kata Hendri, tidak bisa hanya terus meyakinkan bahwa Aceh sudah aman. Perlu ada success story yang mampu meyakinkan investor bahwa Aceh sudah tidak menakutkan.
"Yang kedua adalah harus ada titik temu baik untuk investor dari luar maupun masyarakat Aceh untuk saling kenal. Maka tadi saya katakan pariwisata adalah yang paling baik untuk mengenalkan mereka," pungkas dia.
(izz)