ATIGA diyakini perlancar arus barang kawasan ASEAN
A
A
A
Sindonews.com - Negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati ASEAN Trade In Good Agreement (ATIGA) pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand. Ini untuk mewujudkan kawasan arus barang yang bebas dan menciptakan pasar lebih besar.
Terdapat sembilan komitmen dalam ATIGA, salah satunya komitmen mengenai standar, technical regulation dan Conformity Assessment Procedure.
"Isi dari komitmen tersebut adalah rantai pasokan barang dari berbagai negara harus dikawal dengan standar. Karena itu, ASEAN Economic Community (AEC) mengamanatkan negara ASEAN untuk melakukan harmonisasi standar dan regulasi teknis masing-masing sebagai upaya memperlancar arus barang di kawasan ASEAN," terang Dirjen Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Hutagalung, Jumat (25/4/14).
Menurutnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) akan berperan dalam meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. SNI juga akan menjadi penjaga dalam menekankan masuknya produk yang tidak bermutu ke pasar Indonesia.
SNI yang berkualitas menyokong tiga pilar utama AEC 2015. Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global.
"Menurut data Direktorat Pengolahan Hasil Perikanan, pada 2013 SNI yang diterbitkan untuk produk perikanan sebanyak 160 SNI, meliputi produk beku, kering, rebus, fermentasi, segar/dingin, kaleng, hidup, fish jelly, pengemasan, organoleptik dan sensori, metode uji kimia, metode uji mikrobiologi, metode uji fisika," jelasnya.
Saat ini, jumlah sertifikat yang diterbitkan LSPro-HP sebanyak tiga SPPT-SNI dengan jenis produk bakso ikan beku dan bandeng presto. Jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah Unit Pengolah Ikan (UPI) yang lebih dari 63 ribu unit yang sebagian besar adalah UMKM.
Pada umumnya, UPI skala UMKM tersebut belum memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan serta belum menerapkan GMP dan SSOP sebagai persyaratan dasar untuk memproduksi pangan hasil perikanan.
Terdapat sembilan komitmen dalam ATIGA, salah satunya komitmen mengenai standar, technical regulation dan Conformity Assessment Procedure.
"Isi dari komitmen tersebut adalah rantai pasokan barang dari berbagai negara harus dikawal dengan standar. Karena itu, ASEAN Economic Community (AEC) mengamanatkan negara ASEAN untuk melakukan harmonisasi standar dan regulasi teknis masing-masing sebagai upaya memperlancar arus barang di kawasan ASEAN," terang Dirjen Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Hutagalung, Jumat (25/4/14).
Menurutnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) akan berperan dalam meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. SNI juga akan menjadi penjaga dalam menekankan masuknya produk yang tidak bermutu ke pasar Indonesia.
SNI yang berkualitas menyokong tiga pilar utama AEC 2015. Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global.
"Menurut data Direktorat Pengolahan Hasil Perikanan, pada 2013 SNI yang diterbitkan untuk produk perikanan sebanyak 160 SNI, meliputi produk beku, kering, rebus, fermentasi, segar/dingin, kaleng, hidup, fish jelly, pengemasan, organoleptik dan sensori, metode uji kimia, metode uji mikrobiologi, metode uji fisika," jelasnya.
Saat ini, jumlah sertifikat yang diterbitkan LSPro-HP sebanyak tiga SPPT-SNI dengan jenis produk bakso ikan beku dan bandeng presto. Jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah Unit Pengolah Ikan (UPI) yang lebih dari 63 ribu unit yang sebagian besar adalah UMKM.
Pada umumnya, UPI skala UMKM tersebut belum memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan serta belum menerapkan GMP dan SSOP sebagai persyaratan dasar untuk memproduksi pangan hasil perikanan.
(izz)