PLN Alami Kriminalisasi Bisnis?
A
A
A
Kasus kriminalisasi bisnis oleh oknum jaksa ditenggarai kembali terjadi di Indonesia dan kali ini menimpa PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sebelumnya kasus serupa terjadi pada PT Merpati Airlines, kerja sama PT Indosat Mega Media (IM2) dan induk usahanya PT Indosat Tbk serta kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Kriminalisasi bisnis ini semakin mengkhawatirkan karena mengancam penegakan hukum yang berkualitas dan iklim investasi di Indonesia.
Dalam kasus proses pengadaan pekerjaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 dan GT2.2), yang sidang perdananya telah dimulai Selasa (20/5/2014) dan Rabu (21/5/2014) di Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan menuduh daya mampu mesin hanya sebesar 123 megawatt (MW) tidak sesuai dengan daya mampu minimal sebesar 132 MW.
“Tuduhan ini tidak benar karena beban 123 MW yang diperoleh oleh penyidik Kejagung bukan berasal dari hasil pengujian, tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW (siang hari). Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW, sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak,” kata Kuasa Hukum PLN Todung Mulya Lubis, Kamis (22/5/2014).
Dia mengungkapkan, tampak jelas bahwa oknum kejaksaan memaksakan dakwaan dengan mencari-cari kesalahan, bahkan dakwaan tidak menyebutkan satu pun peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh para terdakwa.
Selain itu, dari sisi kerugian negara dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara sama sekali, bahkan PLN justru melakukan penghematan karena realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal.
Menurut dia, pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp431 miliar.
Menurut dia, kasus PLTGU Belawan ini adalah kriminalisasi bisnis yang sering dilakukan oleh oknum kejaksaan. Menurut Todung, selayaknya diapresiasi komitmen PLN yang telah berupaya optimal melakukan penghematan anggaran dan transparansi bisnis.
Dalam beberapa tahun belakangan, PLN telah melakukan pembenahan dan pembersihan internal melalui empat pilar PLN, yakni partisipasi, integritas, transparansi dan akuntabilitas.
Menurut Todung, dalam perkara LTE PLN, kalaupun ada kesalahan, selayaknya bukan ranah pidana, melainkan perkara perdata dan administrasi dan menjadi kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan perjanjian para pihak.
Sebelumnya kasus serupa terjadi pada PT Merpati Airlines, kerja sama PT Indosat Mega Media (IM2) dan induk usahanya PT Indosat Tbk serta kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Kriminalisasi bisnis ini semakin mengkhawatirkan karena mengancam penegakan hukum yang berkualitas dan iklim investasi di Indonesia.
Dalam kasus proses pengadaan pekerjaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 dan GT2.2), yang sidang perdananya telah dimulai Selasa (20/5/2014) dan Rabu (21/5/2014) di Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan menuduh daya mampu mesin hanya sebesar 123 megawatt (MW) tidak sesuai dengan daya mampu minimal sebesar 132 MW.
“Tuduhan ini tidak benar karena beban 123 MW yang diperoleh oleh penyidik Kejagung bukan berasal dari hasil pengujian, tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW (siang hari). Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW, sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak,” kata Kuasa Hukum PLN Todung Mulya Lubis, Kamis (22/5/2014).
Dia mengungkapkan, tampak jelas bahwa oknum kejaksaan memaksakan dakwaan dengan mencari-cari kesalahan, bahkan dakwaan tidak menyebutkan satu pun peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh para terdakwa.
Selain itu, dari sisi kerugian negara dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara sama sekali, bahkan PLN justru melakukan penghematan karena realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal.
Menurut dia, pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp431 miliar.
Menurut dia, kasus PLTGU Belawan ini adalah kriminalisasi bisnis yang sering dilakukan oleh oknum kejaksaan. Menurut Todung, selayaknya diapresiasi komitmen PLN yang telah berupaya optimal melakukan penghematan anggaran dan transparansi bisnis.
Dalam beberapa tahun belakangan, PLN telah melakukan pembenahan dan pembersihan internal melalui empat pilar PLN, yakni partisipasi, integritas, transparansi dan akuntabilitas.
Menurut Todung, dalam perkara LTE PLN, kalaupun ada kesalahan, selayaknya bukan ranah pidana, melainkan perkara perdata dan administrasi dan menjadi kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan perjanjian para pihak.
(rna)