Presiden Baru Dihadapkan Kerumitan Masalah Energi
A
A
A
JAKARTA - Indonesian Resources Studies (IRESS) mengungkapkan presiden dan wakil presiden baru akan dihadapkan pada rumitnya permasalahan energi. Pasalnya, banyak regulasi terkait kebijakan energi yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Pengamat Energi dari IRESS, Marwan Batubara mengatakan, banyak kebijakan yang pada kenyataan sangat liberal di berbagai sektor dari hulu sampai ke hilir. Hal itu menyebabkan produksi minyak terus menurun. Selain itu, infrastruktur gas di hilir juga masih sangat terbatas.
"Kebijakan open access dan unbundling membuat pelayanan berkurang. Alokasi gas bermasalah, posisi BUMN marginal dibanding asing. Blok migas habis masa kontrak rawan terjadi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Ada juga masalah mafia minyak dan juga asing ikut berperan," ujarnya di Gedung MPR Jakarta, Kamis (19/6/2014).
Marwan menambahkan, penerapan permasalahan di sektor pertambangan mineral batu bara (minerba) masih belum optimal. Hingga kini, masalah renegosiasi kontrak pertambangan juga belum menuai hasil, padahal dalam konstitusi jelas semua kekayaan alam harus menyejahterakan rakyat.
Belum lagi sektor hilir lainnya yang masih tidak adanya kejelasan, di mana program penyerapan bahan bahan nabati (BBN) untuk mengurangi pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) tidak jelas regulasinya. Kemudian, permasalahan BBM subsidi yang alokasinya tidak sesuai dengan peruntukannya.
"BBM subsidi tidak tepat sasaran sekitar 80%. Besaran subsidi menimbulkan defisit perdagangan, defisit anggaran, sehingga secara langsung menurunkan kurs," ungkapnya.
Konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), menurutnya masih ada permasalahan, di mana infrastruktur masih menjadi kendala utama. Ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang minim, belum lagi regulasi yang tidak jelas menajdi penghambat.
"Terlalu banyak berwacana, rencananya sejak 1995, tapi tidak ada 20% kendaraan yang pakai BBG," sindir Marwan.
Pengamat Energi dari IRESS, Marwan Batubara mengatakan, banyak kebijakan yang pada kenyataan sangat liberal di berbagai sektor dari hulu sampai ke hilir. Hal itu menyebabkan produksi minyak terus menurun. Selain itu, infrastruktur gas di hilir juga masih sangat terbatas.
"Kebijakan open access dan unbundling membuat pelayanan berkurang. Alokasi gas bermasalah, posisi BUMN marginal dibanding asing. Blok migas habis masa kontrak rawan terjadi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Ada juga masalah mafia minyak dan juga asing ikut berperan," ujarnya di Gedung MPR Jakarta, Kamis (19/6/2014).
Marwan menambahkan, penerapan permasalahan di sektor pertambangan mineral batu bara (minerba) masih belum optimal. Hingga kini, masalah renegosiasi kontrak pertambangan juga belum menuai hasil, padahal dalam konstitusi jelas semua kekayaan alam harus menyejahterakan rakyat.
Belum lagi sektor hilir lainnya yang masih tidak adanya kejelasan, di mana program penyerapan bahan bahan nabati (BBN) untuk mengurangi pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) tidak jelas regulasinya. Kemudian, permasalahan BBM subsidi yang alokasinya tidak sesuai dengan peruntukannya.
"BBM subsidi tidak tepat sasaran sekitar 80%. Besaran subsidi menimbulkan defisit perdagangan, defisit anggaran, sehingga secara langsung menurunkan kurs," ungkapnya.
Konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), menurutnya masih ada permasalahan, di mana infrastruktur masih menjadi kendala utama. Ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang minim, belum lagi regulasi yang tidak jelas menajdi penghambat.
"Terlalu banyak berwacana, rencananya sejak 1995, tapi tidak ada 20% kendaraan yang pakai BBG," sindir Marwan.
(dmd)