PPN di Sektor Hulu Lemahkan Daya Saing Kopi Lokal
A
A
A
BANDUNG - Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Jawa Barat menolak pemberlakuan kebijakan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% yang dibebankan kepada sektor hulu.
"Kami bersama asosiasi kopi lainnya bersepakat untuk menolak pemberlakuan tersebut," ujar Wakil Ketua AEKI Jabar Iyus Supriatna kepada wartawan, Selasa (19/08/2014).
Mestinya, kata dia, pemerintah mengalihkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai 10% kepada konsumen agar sektor hulu (kopi) menjadi lebih bergairah lagi.
"Dampaknya, para eksportir akan mengurangi harga pembelian kopi dari petani. Mereka (eksportir) tidak mau ambil risiko kerugian terlalu besar makanya berlaku seperti itu. Akibatnya, para petanipun akan terkena dampak kerugiannya," sambungnya.
Menurutnya, gairah di sektor hulu memungkinkan peningkatan nilai ekspor kopi di Jabar hingga mencapai 10%-15% dari biasanya. Pemberlakuan PPN ini, lanjutnya, justru akan menghambat pertumbuhan tersebut.
"Dengan pemberlakuan PPN terhadap sektor hulu secara otomatis akan melemahkan para petani dan eksportir. Kalau ingin tetap bergairah, maka beban PPN ke konsumenkan saja,” katanya.
Adanya kebijakan tersebut membuatnya harus memutar otak untuk tetap bertahan pada sektor ini. Apalagi ketika harus melakukan pinjaman modal ke bank, bunganya relatif tinggi. Bunga bank yang cukup tinggi memicu lemahnya daya saing produk lokal.
"Tidak hanya itu, sentuhan teknologi modern juga belum banyak terasa. Jika inhin lebih memacu kinerja ekspor agar tetap tumbuh, semestinya pemerintah memberikan sentuhan teknologi modern tersebut," katanya.
Dia menambahkan, saat ini produsen kopi besar dunia Brasil saat ini masih dalam recovery pasca-anomali cuaca yang melanda kawasan tersebut. "Ini merupakan kesempatan yang tepat untuk menggenjot produksi kopi," sebutnya.
Berkenaan dengan ekspor kopi, selama ini eksportir masih mengandalkan pintu wilayah Medan dan Surabaya. Meski sebenarnya Jabar pun telah memiliki izin ekspor langsung sejak awal 2014.
"Jabar masih butuh waktu agar dapat melakukan ekspor kopi secara langsung dalam jumlah besar. Perlu komitmen antara petani, pengusaha, dan pemerintah yang terjalin dengan baik agar ekspor secara langsung ini bisa memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah," tuturnya.
Diterangkan dia, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jabar sudah membuat surat untuk eskpor langsung. Karena beberapa kendala yang belum bisa diatasi, kegiatan ekspor langsung ini dimungkinkan akan molor hingga beberapa tahun ke depan.
"Ekspor kopi secara langsung dari Jabar selama kuartal I/2014 hanya mencapai 500 ton yang disebar ke negara Amerika dan Eropa. Jika ekspor kopi semuanya sudah dilakukan secara langsung di Jabar maka potensinya bisa mencapai ribuan ton," terangnya.
Iyus berharap, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang bernaluri bisnis agar kegiatan ekspor langsung ini bisa berjalan dengan lancar.
"Kami bersama asosiasi kopi lainnya bersepakat untuk menolak pemberlakuan tersebut," ujar Wakil Ketua AEKI Jabar Iyus Supriatna kepada wartawan, Selasa (19/08/2014).
Mestinya, kata dia, pemerintah mengalihkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai 10% kepada konsumen agar sektor hulu (kopi) menjadi lebih bergairah lagi.
"Dampaknya, para eksportir akan mengurangi harga pembelian kopi dari petani. Mereka (eksportir) tidak mau ambil risiko kerugian terlalu besar makanya berlaku seperti itu. Akibatnya, para petanipun akan terkena dampak kerugiannya," sambungnya.
Menurutnya, gairah di sektor hulu memungkinkan peningkatan nilai ekspor kopi di Jabar hingga mencapai 10%-15% dari biasanya. Pemberlakuan PPN ini, lanjutnya, justru akan menghambat pertumbuhan tersebut.
"Dengan pemberlakuan PPN terhadap sektor hulu secara otomatis akan melemahkan para petani dan eksportir. Kalau ingin tetap bergairah, maka beban PPN ke konsumenkan saja,” katanya.
Adanya kebijakan tersebut membuatnya harus memutar otak untuk tetap bertahan pada sektor ini. Apalagi ketika harus melakukan pinjaman modal ke bank, bunganya relatif tinggi. Bunga bank yang cukup tinggi memicu lemahnya daya saing produk lokal.
"Tidak hanya itu, sentuhan teknologi modern juga belum banyak terasa. Jika inhin lebih memacu kinerja ekspor agar tetap tumbuh, semestinya pemerintah memberikan sentuhan teknologi modern tersebut," katanya.
Dia menambahkan, saat ini produsen kopi besar dunia Brasil saat ini masih dalam recovery pasca-anomali cuaca yang melanda kawasan tersebut. "Ini merupakan kesempatan yang tepat untuk menggenjot produksi kopi," sebutnya.
Berkenaan dengan ekspor kopi, selama ini eksportir masih mengandalkan pintu wilayah Medan dan Surabaya. Meski sebenarnya Jabar pun telah memiliki izin ekspor langsung sejak awal 2014.
"Jabar masih butuh waktu agar dapat melakukan ekspor kopi secara langsung dalam jumlah besar. Perlu komitmen antara petani, pengusaha, dan pemerintah yang terjalin dengan baik agar ekspor secara langsung ini bisa memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah," tuturnya.
Diterangkan dia, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jabar sudah membuat surat untuk eskpor langsung. Karena beberapa kendala yang belum bisa diatasi, kegiatan ekspor langsung ini dimungkinkan akan molor hingga beberapa tahun ke depan.
"Ekspor kopi secara langsung dari Jabar selama kuartal I/2014 hanya mencapai 500 ton yang disebar ke negara Amerika dan Eropa. Jika ekspor kopi semuanya sudah dilakukan secara langsung di Jabar maka potensinya bisa mencapai ribuan ton," terangnya.
Iyus berharap, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang bernaluri bisnis agar kegiatan ekspor langsung ini bisa berjalan dengan lancar.
(gpr)