ESDM Minta Kemenkeu Kaji Ulang PPN Pemilik Smelter
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengkaji ulang penetapan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada pelaku usaha pemilik fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), yang membeli produksi olahan mineral dari perusahaan tambang nasional.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Sukhyar, hal itu dapat berdampak pada beban biaya dalam mewujudkan kehiatan hilirisasi di sektor tambang.
“Penetapan ini murni kebijakan fiskal kemenkeu. Karenanya ketetapan fiskal harus dibenahi,” ujar Sukhyar di Jakarta Selasa, (23/9/2014).
Dia mencontohkan, bila suatu persuahaan pemilik smelter nasional memasok hasil konsentrat dari PT Freeport Indonesia, maka pembeli wajib membayar PPN. Sementara bila pembeli berasal dari luar negeri (impor) dan memasok konsentrat dari Freeport, maka PPN ini tidak dikenakan.
“Ada masalah dengan kebijakan fiskal ini. Kalau ada perusahaan membangun smelter, kemudian bahan dari tempat perusahaan lain ada PPN. Misalnya, Freeport punya konsentrat. Kalau konsentrat dipasok ke orang bangun smelter, yang beli itu terkena PPN,” katanya.
Sukhyar menuturkan, ketetapan pajak ini juga tak mewajibkan pemerintah untuk mengembalikan beban biaya melalui restitusi pajak. Bila dilanjutkan, dia khawatir kegiatan nilai tambah melalui pembangunan smelter menjadi tak ekonomis.
“Kalau PPN itu dikenakan cost, maka pemilik smelter menganggap itu tidak ekonomis,” katanya,
Sukhyar menjelaskan, sejumlah perusahaan yang ingin membangun smelter telah mengajukan keberatan ini kepada Kementerian ESDM. Pasalnya, pembangunan smelter telah memakan biaya cukup besar.
“Kami sudah sampaikan ke Kemenkeu. Karena memang ini persoalan baru yang sebenarnya kita juga nggak begitu sadar. Ini sangat memberatkan nantinya kalau terus diterapkan,” tutupnya.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Sukhyar, hal itu dapat berdampak pada beban biaya dalam mewujudkan kehiatan hilirisasi di sektor tambang.
“Penetapan ini murni kebijakan fiskal kemenkeu. Karenanya ketetapan fiskal harus dibenahi,” ujar Sukhyar di Jakarta Selasa, (23/9/2014).
Dia mencontohkan, bila suatu persuahaan pemilik smelter nasional memasok hasil konsentrat dari PT Freeport Indonesia, maka pembeli wajib membayar PPN. Sementara bila pembeli berasal dari luar negeri (impor) dan memasok konsentrat dari Freeport, maka PPN ini tidak dikenakan.
“Ada masalah dengan kebijakan fiskal ini. Kalau ada perusahaan membangun smelter, kemudian bahan dari tempat perusahaan lain ada PPN. Misalnya, Freeport punya konsentrat. Kalau konsentrat dipasok ke orang bangun smelter, yang beli itu terkena PPN,” katanya.
Sukhyar menuturkan, ketetapan pajak ini juga tak mewajibkan pemerintah untuk mengembalikan beban biaya melalui restitusi pajak. Bila dilanjutkan, dia khawatir kegiatan nilai tambah melalui pembangunan smelter menjadi tak ekonomis.
“Kalau PPN itu dikenakan cost, maka pemilik smelter menganggap itu tidak ekonomis,” katanya,
Sukhyar menjelaskan, sejumlah perusahaan yang ingin membangun smelter telah mengajukan keberatan ini kepada Kementerian ESDM. Pasalnya, pembangunan smelter telah memakan biaya cukup besar.
“Kami sudah sampaikan ke Kemenkeu. Karena memang ini persoalan baru yang sebenarnya kita juga nggak begitu sadar. Ini sangat memberatkan nantinya kalau terus diterapkan,” tutupnya.
(rna)