Semen Indonesia Terapkan Aspek Penting saat Go International
A
A
A
JAKARTA - Direktur Utama PT Semen Indonesia (Persero) Dwi Soetjipto mengatakan, untuk go international perseroan tidaklah mudah. Ada beberapa aspek saat perusahaan semen pelat merah tersebut ingin membangun pabrik di luar negeri.
Dwi menjelaskan, menentukan target itu penting, harus dianalisa. Karena salah satu problem perusahaan go internasional adalah gap di budaya. Sebesar apapun perusahaannya bisa gagal investasi di sebuah negara kalau perusahaan tersebut tidak mengerti soal gap culture.
"Kita cari dimana culture gap-nya paling kecil, misalnya Malaysia. Posisi geografis juga menjadi perhatian. Namun Malaysia tidak berhasil, kemudian kami ke Vietnam. Intinya dalam hal akuisisi yang paling penting adalah, setiap mau akuisisi, pilihlah perusahaan yang paling sakit," ujar Dwi di Gedung Sindo Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Kemudian, lanjut Dwi, soal due diligence atau kerja sama. Menurutnya ini menjadi hal yang penting sekali. Aspek legal harus sempurna agar kedepannya bisa berjalan baik.
"Kita bisa problem di aspek legal kalau awalnya tidak berjalan baik. Jadi, kita punya uang atau tidak buat invest di sana. Marketingnya bisa sesuai enggak dengan target kita. Operasionalnya, pabriknya bagus enggak. Itu harus kita cek semua," ujar dia.
Dwi melanjutkan, perusahaan go international juga berkaitan dengan masalah negosiasi. Aspek dari sektor makro harus dipelajari, kompetitor perusahaan yang akan diakuisisi itu siapa.
"Sewaktu kita ingin membuka pabrik di vietnam, kita tahu bahwa kompetitor kita adalah China. Dan alhamdulilah Vietnam punya persepsi yang bagus terhadap kita. Oleh karena itu pada saat negosiasi, kami bungkus dengan goverment, seperti perjanjian g to g. Kita berkomunikasi baik dengan pemerintah di sana. Dan akhirnya kami baru tahu kalau Vietnam sangat tidak suka bila China masuk, itu menguntungkan bagi kita," ujarnya.
Dwi pun tak segan memuji tenaga profesionalnya di luar negeri yang bekerja dengan baik karena membawa nama Semen Indonesia.
"Saya selalu bilang, ini pertama kalinya kita go internasional. Jangan sampai kita gagal, karena kalau gagal, kita enggak akan dipercaya lagi. Dan kawan-kawan di sana itu harus bekerja dengan baik," tandasnya.
Dwi menjelaskan, menentukan target itu penting, harus dianalisa. Karena salah satu problem perusahaan go internasional adalah gap di budaya. Sebesar apapun perusahaannya bisa gagal investasi di sebuah negara kalau perusahaan tersebut tidak mengerti soal gap culture.
"Kita cari dimana culture gap-nya paling kecil, misalnya Malaysia. Posisi geografis juga menjadi perhatian. Namun Malaysia tidak berhasil, kemudian kami ke Vietnam. Intinya dalam hal akuisisi yang paling penting adalah, setiap mau akuisisi, pilihlah perusahaan yang paling sakit," ujar Dwi di Gedung Sindo Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Kemudian, lanjut Dwi, soal due diligence atau kerja sama. Menurutnya ini menjadi hal yang penting sekali. Aspek legal harus sempurna agar kedepannya bisa berjalan baik.
"Kita bisa problem di aspek legal kalau awalnya tidak berjalan baik. Jadi, kita punya uang atau tidak buat invest di sana. Marketingnya bisa sesuai enggak dengan target kita. Operasionalnya, pabriknya bagus enggak. Itu harus kita cek semua," ujar dia.
Dwi melanjutkan, perusahaan go international juga berkaitan dengan masalah negosiasi. Aspek dari sektor makro harus dipelajari, kompetitor perusahaan yang akan diakuisisi itu siapa.
"Sewaktu kita ingin membuka pabrik di vietnam, kita tahu bahwa kompetitor kita adalah China. Dan alhamdulilah Vietnam punya persepsi yang bagus terhadap kita. Oleh karena itu pada saat negosiasi, kami bungkus dengan goverment, seperti perjanjian g to g. Kita berkomunikasi baik dengan pemerintah di sana. Dan akhirnya kami baru tahu kalau Vietnam sangat tidak suka bila China masuk, itu menguntungkan bagi kita," ujarnya.
Dwi pun tak segan memuji tenaga profesionalnya di luar negeri yang bekerja dengan baik karena membawa nama Semen Indonesia.
"Saya selalu bilang, ini pertama kalinya kita go internasional. Jangan sampai kita gagal, karena kalau gagal, kita enggak akan dipercaya lagi. Dan kawan-kawan di sana itu harus bekerja dengan baik," tandasnya.
(gpr)