Masyarakat Batang Dukung Percepatan Proyek PLTU
A
A
A
BATANG - Rencana pemerintah mempercepat pembangunan proyek PLTU Batang, Jawa Tengah terus mendapat dukungan masyarakat di kabupaten Batang.
Jumat (26/9/2014) sejumlah elemen masyarakat dari berbagai latarbelakang seperti gabungan kelompok tani (Gapoktan), Kelompok Nelayan, Kelompok Pemuda dan Perwakilan para kepala desa di wilayah proyek PLTU melakukan doa bersama dan mendeklarasikan Hari Tani PLTU Batang.
Kegiatan yang diikuti oleh ribuan warga dari desa-desa yang akan terkena dampak pembangunan PLTU Batang ini, merupakan inisiatif warga guna mendorong terwujudnya proyek pembangkit listrik berkapasitas hingga 2000 MW.
Ketua Gapoktan Desa Ponowaren Marpu menjelaskan, kekhawatiran bahwa proyek PLTU Batang akan mengurangi lahan pertanian tidak beralasan. Pasalnya pembangunan bendungan Kedung Pingit di sekitar wilayah itu telah menciptakan lahan pertanian baru. Sebagai contoh di desa Ponowareng akan ada tambahan sawah seluas 74 hektar (ha), desa Kenconorejo sekitar 300 ha dan Kedungsegog sekitar 400 ha.
"Areal sawah produktif yang terkena dampak PLTU hanya sekitar 23 ha. Jumlah itu tidak akan mengurangi produktifitas hasil pertanian karena ada pencetakan sawah baru hingga ratusan hektar berkat bendungan pingit," jelas Marpu di Batang, jumat (26/9/2014).
Rizkiyanto, perwakilan kepala desa dari desa Kandeman menuturkan, upaya pembatalan proyek PLTU Batang yang dilakukan sejumlah pihak sangat mengecewakan dan melukai masyarakat Batang. Keberadaan proyek PLTU dianggap dapat memberikan peluang kerja dan peningkatan ekonomi bagi warga Batang dan sekitarnya.
Menurut Rizkiyanto, masyarakat Batang berhak untuk mendapatkan hak berupa pembangunan infrastruktur seperti PLTU yang dapat mendorong tumbuhnya sentra-sentra ekonomi. Sebab, kondisi geografis di wilayah rencana pembangunan PLTU masih menyisakan tingkat pengangguran yang tinggi.
"Sebagai warga desa kami ingin anak-anak muda diwilayah ini bisa bekerja disekitar desanya dan tidak perlu merantau ke Jakarta atau jadi TKI/TKW. Kehadiran proyek PLTU Batang memberikan harapan bahwa kami bisa tetap hidup didesa dan memajukan kampung," kata Rizkiyanto dilokasi perayaan hari Tani PLTU Batang.
Mengenai ancaman PLTU Batang terhadap nasib para nelayan, Muhammad Fadholi, ketua kelompok nelayan menegaskan, pihaknya meminta pihak-pihak tertentu seperti Greenpeace untuk tidak mencampuri urusan masyarakat Batang.
Bagi para nelayan, pembangunan PLTU Batang tidak akan mempengaruhi kehidupan nelayan. Justru dengan adanya proyek senilai USD4 miliar ini, para nelayan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan saat tidak memungkinkan untuk melaut.
"Kami berharap pemerintah pusat dan pemerintah Jawa Tengah tidak mudah terprovokasi oleh aksi-aksi penolakan proyek PLTU ini. Kami warga Batang sudah cukup lama menunggu agar proyek ini segera terwujud dan hasilnya bisa kami rasakan," tandas Fadholi.
Saat ini dari total kebutuhan lahan PLTU Batang seluas 326 ha. Lahan tersebut sebanyak 226 ha akan digunakan untuk power block dan 100 ha sisanya diperuntukkan bagi pembangunan jaringan transmisi dan gardu induk. Untuk power block total lahan yang sudah dibebaskan mencapai 87% dan sisanya akan menjadi tanggungjawab PLN untuk membebaskan lahannya.
Sebelumnya, General Manager (GM) PLN Distribusi Jawa Tengah danm Yogyakarta Djoko R. Abumanan menegaskan, PLN siap untuk menjalankan instruksi kementerian perekonomian untuk melanjutkan pembebasan 13% sisa lahan PLTU Batang yang belum menunjukkan titik temu.
Jika penyelesaian pembebasan lahan tak menemukan kata sepakat, pemerintah dapat melaksanakan tindakan tegas berdasarkan UU no 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
"Kami masih berharap proses pembebasan lahan di Batang tidak mengalami kendala berarti, sehingga pembangunan masih sesuai waktu yang telah ditentukan," ujar Djoko beberapa waktu lalu.
Proyek PLTU Batang merupakan pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara dan diharapkan mulai dapat beroperasi tahun 2018. Keberadaan PLTU ini merupakan solusi pemerintah untuk mengatasi krisis listrik di Jawa-Bali yang diproyeksikan dapat terjadi di tahun 2018, menyusul tingginya pertumbuhan konsumsi listrik nasional.
Jumat (26/9/2014) sejumlah elemen masyarakat dari berbagai latarbelakang seperti gabungan kelompok tani (Gapoktan), Kelompok Nelayan, Kelompok Pemuda dan Perwakilan para kepala desa di wilayah proyek PLTU melakukan doa bersama dan mendeklarasikan Hari Tani PLTU Batang.
Kegiatan yang diikuti oleh ribuan warga dari desa-desa yang akan terkena dampak pembangunan PLTU Batang ini, merupakan inisiatif warga guna mendorong terwujudnya proyek pembangkit listrik berkapasitas hingga 2000 MW.
Ketua Gapoktan Desa Ponowaren Marpu menjelaskan, kekhawatiran bahwa proyek PLTU Batang akan mengurangi lahan pertanian tidak beralasan. Pasalnya pembangunan bendungan Kedung Pingit di sekitar wilayah itu telah menciptakan lahan pertanian baru. Sebagai contoh di desa Ponowareng akan ada tambahan sawah seluas 74 hektar (ha), desa Kenconorejo sekitar 300 ha dan Kedungsegog sekitar 400 ha.
"Areal sawah produktif yang terkena dampak PLTU hanya sekitar 23 ha. Jumlah itu tidak akan mengurangi produktifitas hasil pertanian karena ada pencetakan sawah baru hingga ratusan hektar berkat bendungan pingit," jelas Marpu di Batang, jumat (26/9/2014).
Rizkiyanto, perwakilan kepala desa dari desa Kandeman menuturkan, upaya pembatalan proyek PLTU Batang yang dilakukan sejumlah pihak sangat mengecewakan dan melukai masyarakat Batang. Keberadaan proyek PLTU dianggap dapat memberikan peluang kerja dan peningkatan ekonomi bagi warga Batang dan sekitarnya.
Menurut Rizkiyanto, masyarakat Batang berhak untuk mendapatkan hak berupa pembangunan infrastruktur seperti PLTU yang dapat mendorong tumbuhnya sentra-sentra ekonomi. Sebab, kondisi geografis di wilayah rencana pembangunan PLTU masih menyisakan tingkat pengangguran yang tinggi.
"Sebagai warga desa kami ingin anak-anak muda diwilayah ini bisa bekerja disekitar desanya dan tidak perlu merantau ke Jakarta atau jadi TKI/TKW. Kehadiran proyek PLTU Batang memberikan harapan bahwa kami bisa tetap hidup didesa dan memajukan kampung," kata Rizkiyanto dilokasi perayaan hari Tani PLTU Batang.
Mengenai ancaman PLTU Batang terhadap nasib para nelayan, Muhammad Fadholi, ketua kelompok nelayan menegaskan, pihaknya meminta pihak-pihak tertentu seperti Greenpeace untuk tidak mencampuri urusan masyarakat Batang.
Bagi para nelayan, pembangunan PLTU Batang tidak akan mempengaruhi kehidupan nelayan. Justru dengan adanya proyek senilai USD4 miliar ini, para nelayan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan saat tidak memungkinkan untuk melaut.
"Kami berharap pemerintah pusat dan pemerintah Jawa Tengah tidak mudah terprovokasi oleh aksi-aksi penolakan proyek PLTU ini. Kami warga Batang sudah cukup lama menunggu agar proyek ini segera terwujud dan hasilnya bisa kami rasakan," tandas Fadholi.
Saat ini dari total kebutuhan lahan PLTU Batang seluas 326 ha. Lahan tersebut sebanyak 226 ha akan digunakan untuk power block dan 100 ha sisanya diperuntukkan bagi pembangunan jaringan transmisi dan gardu induk. Untuk power block total lahan yang sudah dibebaskan mencapai 87% dan sisanya akan menjadi tanggungjawab PLN untuk membebaskan lahannya.
Sebelumnya, General Manager (GM) PLN Distribusi Jawa Tengah danm Yogyakarta Djoko R. Abumanan menegaskan, PLN siap untuk menjalankan instruksi kementerian perekonomian untuk melanjutkan pembebasan 13% sisa lahan PLTU Batang yang belum menunjukkan titik temu.
Jika penyelesaian pembebasan lahan tak menemukan kata sepakat, pemerintah dapat melaksanakan tindakan tegas berdasarkan UU no 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
"Kami masih berharap proses pembebasan lahan di Batang tidak mengalami kendala berarti, sehingga pembangunan masih sesuai waktu yang telah ditentukan," ujar Djoko beberapa waktu lalu.
Proyek PLTU Batang merupakan pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara dan diharapkan mulai dapat beroperasi tahun 2018. Keberadaan PLTU ini merupakan solusi pemerintah untuk mengatasi krisis listrik di Jawa-Bali yang diproyeksikan dapat terjadi di tahun 2018, menyusul tingginya pertumbuhan konsumsi listrik nasional.
(gpr)