Optimalkan Investasi Langsung
A
A
A
JAKARTA - Menurut Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) A Prasetyantoko, investasi langsung diyakini dapat memberikan keseimbangan pada struktur pembayaran akibat masih terjadinya defisit transaksi berjalan.
Dia berharap, defisit transaksi berjalan yang masih berada di level 3% dari produk domestik bruto (PDB) bisa ditekan menjadi 2,7%. “Pemerintah juga perlu menarik investor di sektor riil agar capital inflow tidak berkurang sehingga likuiditas di dalam negeri tidak seret,” ujar Prasetyantoko kepada KORAN SINDO kemarin. Seperti diketahui, pada Rabu (29/10) lalu the Fed mengumumkan telah menghentikan program stimulus berupa pembelian obligasi atau quantitative easing (QE) yang sudah berlangsung sejak 2008 silam.
Kebijakan tersebut diyakini sejumlah kalangan bakal menimbulkan dampak pembalikan dana asing ke Amerika Serikat (AS) karena perekonomian di Negeri Paman Sam diprediksi kembali pulih. Selama kebijakan QE, banyak negara berkembang termasuk Indonesia menjadi sasaran masuknya dana asing karena dianggap lebih menguntungkan. Maklum, selama masa program stimulus AS yang ditandai dengan rezim bunga rendah mendekati 0%, banyak investor yang menghindari AS karena dianggap tidak menjanjikan.
Kini dengan dihentikannya stimulus miliaran dolar tersebut, para investor dipastikan kembali melirik AS seiring akan dinaikkannya suku bunga acuan the Fed. Prasetyantoko berpendapat, investor sudah menghitung dampak penghentian stimulus yang dikenal sebagai tapering off tersebut. Yang lebih penting untuk menangkis kebijakan pasca-QE adalah antisipasi kenaikan suku bunga di AS.
“Nah, investor belum menghitung dampak itu kepada portofolio investasi mereka. Jadi nanti, kalau ada pengumuman tentang kenaikan suku bunga, itu akan bereaksi terhadap portofolio investasinya di Indonesia,” ujar Prasetyantoko. Adapun, nilai tukar rupiah akan sangat tergantung pada kondisi fundamental ekonomi Indonesia, apakah bisa membaik atau tidak. Dia menjelaskan, apabila kondisi fundamental Indonesia membaik signifikan seperti adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun ini, serta membaiknya struktur neraca berjalan, maka tidak akan ada dampak terlalu signifikan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan termasuk kemungkinan the Fed menghentikan stimulus. Semua kesiapan itu sudah dihitung dalam setiap kebijakan moneter yang akan diambil BI. Perry bahkan mengatakan bahwa BI sudah mengetahui rencana tersebut sejak berbulan-bulan lalu sehingga sudah diantisipasi.
“Kita sudah tahu bahwa pada Oktober QE itu sudah berhenti. Kita juga sudah tahu bahwa tahun depan itu Fed Rate akan naik menjadi 1,4% dan tahun berikut 2,9% kita sudah tahu dan semuanya sudah kita perhitungkan dalam merumuskan kebijakan moneter. Jadi, waktu kita mempertimbangkan BI Rate kemarin tetap, itu sudah memperhitungkan semuanya,” terang Perry kepada wartawan akhir pekan lalu.
Menurut dia, menahan suku bunga acuan (BI Rate) dianggap sebagai bentuk antisipasi BI dalam menyikapi kebijakan the Fed yang memberhentikan stimulus QE.
Kunthi fahmar sandy
Dia berharap, defisit transaksi berjalan yang masih berada di level 3% dari produk domestik bruto (PDB) bisa ditekan menjadi 2,7%. “Pemerintah juga perlu menarik investor di sektor riil agar capital inflow tidak berkurang sehingga likuiditas di dalam negeri tidak seret,” ujar Prasetyantoko kepada KORAN SINDO kemarin. Seperti diketahui, pada Rabu (29/10) lalu the Fed mengumumkan telah menghentikan program stimulus berupa pembelian obligasi atau quantitative easing (QE) yang sudah berlangsung sejak 2008 silam.
Kebijakan tersebut diyakini sejumlah kalangan bakal menimbulkan dampak pembalikan dana asing ke Amerika Serikat (AS) karena perekonomian di Negeri Paman Sam diprediksi kembali pulih. Selama kebijakan QE, banyak negara berkembang termasuk Indonesia menjadi sasaran masuknya dana asing karena dianggap lebih menguntungkan. Maklum, selama masa program stimulus AS yang ditandai dengan rezim bunga rendah mendekati 0%, banyak investor yang menghindari AS karena dianggap tidak menjanjikan.
Kini dengan dihentikannya stimulus miliaran dolar tersebut, para investor dipastikan kembali melirik AS seiring akan dinaikkannya suku bunga acuan the Fed. Prasetyantoko berpendapat, investor sudah menghitung dampak penghentian stimulus yang dikenal sebagai tapering off tersebut. Yang lebih penting untuk menangkis kebijakan pasca-QE adalah antisipasi kenaikan suku bunga di AS.
“Nah, investor belum menghitung dampak itu kepada portofolio investasi mereka. Jadi nanti, kalau ada pengumuman tentang kenaikan suku bunga, itu akan bereaksi terhadap portofolio investasinya di Indonesia,” ujar Prasetyantoko. Adapun, nilai tukar rupiah akan sangat tergantung pada kondisi fundamental ekonomi Indonesia, apakah bisa membaik atau tidak. Dia menjelaskan, apabila kondisi fundamental Indonesia membaik signifikan seperti adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun ini, serta membaiknya struktur neraca berjalan, maka tidak akan ada dampak terlalu signifikan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, BI sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan termasuk kemungkinan the Fed menghentikan stimulus. Semua kesiapan itu sudah dihitung dalam setiap kebijakan moneter yang akan diambil BI. Perry bahkan mengatakan bahwa BI sudah mengetahui rencana tersebut sejak berbulan-bulan lalu sehingga sudah diantisipasi.
“Kita sudah tahu bahwa pada Oktober QE itu sudah berhenti. Kita juga sudah tahu bahwa tahun depan itu Fed Rate akan naik menjadi 1,4% dan tahun berikut 2,9% kita sudah tahu dan semuanya sudah kita perhitungkan dalam merumuskan kebijakan moneter. Jadi, waktu kita mempertimbangkan BI Rate kemarin tetap, itu sudah memperhitungkan semuanya,” terang Perry kepada wartawan akhir pekan lalu.
Menurut dia, menahan suku bunga acuan (BI Rate) dianggap sebagai bentuk antisipasi BI dalam menyikapi kebijakan the Fed yang memberhentikan stimulus QE.
Kunthi fahmar sandy
(ars)