Travelers 3000
A
A
A
Menjelang akhir tahun seperti ini, ada banyak promo dan kesempatan bagi kelas menengah (Consumer 3000) untuk mengambil paket liburan, baik bersama keluarga maupun rekan sekantor (yang dikemas dalam format meeting tahunan atau training).
Bepergian bersama keluarga kini tidak cukup hanya di lokasi wisata dalam negeri. Kelas menengah juga mulai menjamah destinasi pariwisata di luar negeri. Tidak heran, membeludaknya kelas menengah sungguh luar biasa di ajang-ajang travel fair beberapa bulan terakhir.
Di ajang Garuda Indonesia Travel Fair (GITF) 2014lalu, misalnya, tercatat jumlah pengunjung yang datang pada dua kali penyelenggaraan, yaitu April dan September, mencapai jumlah pengunjung 59.000 orang, dengan total penjualan sebesar Rp223,62 miliar, naik sekitar 215% dari tahun lalu. Mereka rela antre untuk masuk lokasi acara melihat pameran 40 lebih pemain industri traveling, meskipun bayar tiket Rp20.000 per orang.
Tidak tanggungtanggung, pengunjung yang datang mencapai 80.000 orang dengan nilai transaksi lebih dari Rp70 miliar. Dari informasi-informasi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa di mata kelas menengah, liburan itu bukan “kalau mau” saja, melainkan sudah beranjak menjadi kebutuhan “yang harus dipenuhi”. Jangan heran melihat pameran GITF yang pengunjungnya ampun-ampunan banyaknya. Sebab, kelas menengah kini menganggap liburan bukan lagi keinginan tapi sudah jadi kebutuhan.
Berikut ini adalah fenomena-fenomena menarik terkait perilaku kelas menengah kita dalam berlibur (sebut saja mereka: Travelers 3000). Tidak “Takut” LagiDahulu, liburan ke luar negeri dinilai barang mewah. Makanya, liburan ke luar negeri dulu dinilai “menakutkan” karena menghabiskan biaya mahal dan membutuhkan rasa percaya diri atau pengetahuan untuk berani melanglang buana.
Saat ini, liburan ke luar negeri telah menjadi mass luxury, di mana liburan ke luar negeri telah menjadi lumrah (mainstream). Data Euromonitor menunjukkan bahwa perkembangan liburan orang Indonesia ke luar negeri cukup tinggi, setiap tahunnya bisa tumbuh 20%. Analoginya kira-kira, “liburan ke luar negeri saat ini mirip dengan liburan ke Bali atau Yogyakarta, jadi nggak usah takut”.
Biangnya bisa ditebak, perjalanan pesawat ke luar negeri kian terjangkau dengan adanya penerbangan murah (low-cost carrier) ke destinasi wisata negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. Apalagi, beragam konten berbahasa asing sudah menjamah kelas menengah. Nontonnya film berbahasa asing, meski diperkuat dengan substitute bahasa Indonesia. Musiknya lagu-lagu dari Inggris Raya atau Amerika. Jadi sebenarnya bahasa asing tidak lagi pantas disebut asing.
Karena sudah menjadi keseharian. Tinggal cas-cis-cus saja apa susahnya sih di negeri orang. Yang penting modal berani dan nekat. No-Usual TourismLibur itu bukan lagi sekedar ke pantai atau ke gunung. Sekarang saja mengunjungi Malaysia atau Singapura sama banyaknya dengan yang liburan ke Yogyakarta. Hebat banget. Kenapa untuk liburan harus sampai ke luar negeri?
Ada banyak alasan orang Indonesia berliburan ke luar negeri, diantaranya adalah mencari pengalaman baru (wisata kuliner, belanja, wisata alam dan lain-lain), sport tourism (nonton Moto GP, melihat klub sepak bola idamannya main di stadion, ikutan lari maraton), medical tour (cek kesehatan, rawat inap, perawatan kecantikan), wisata religi (umrah), dan lainnya. Kita ambil studi kasus yang “sport tourism”.
Karena level kemampuan ekonominya meningkat, sementara knowledge-nya juga makin moncer, maka seleranya juga “naik kelas”. Tidak hanya sekedar liburan di luar negeri, tapi juga sambil nonton bola atau balap motor. Contohnya para Gooners (sebutan suporter klub sepak bola Arsenal) Indonesia pun pergi berbondong-bondong menonton klub Liga Primer Inggris itu di stadion Bukit Djalil Malaysia.
Demi memenuhi hasrat kepuasan menonton idola pujaan, jarak jauh pun mereka tempuh. Kemudian ada juga pengakuan dari salah satu online travel agent yang pernah memboyong antara 50-100 orang rombongan untuk menonton moto GP. Cari Full BenefitKonsumen ini semakin cerdas mampu membandingkan harga yang dibayarkan dengan benefit yang diterima. Travel package semakin menjadi sasaran empuk bagi kelas menengah. Satu harga dapat beberapa benefit sekaligus.
Ibarat beli satu dapat dua. Tidak hanya terbangnya saja, tapi juga dapat paket menginap di hotel berbintang, misalnya. Referensi utama mencari paket yang murah, meriah, menarik jelas dari internet. Era internet memudahkan masyarakat Indonesia untuk melakukan perencanaan traveling. Akibatnya, banyak keputusan pembelian paket wisata dilakukan melalui agen perjalanan online.
Tumbuhnya online travel agent ini tidak lepas dari pengaruh perubahan konsumen Indonesia yakni dari dulunya kuperdan gaptekmenjadi semakin well-informed dan techy. Mereka rajin mencari destinasi yang ingin dituju, mencari tahu tentang benefit produk travel yang sesuai, tiket pesawat atau kereta, tentang penginapan, tempat wisata kuliner yang unik dan sebagainya. Semua itu dilakukannya di internet daripada tanya-tanya di kantor biro perjalanan.
Yang paling pas buat kelas menengah itu adalah yang berformat online aggregator. Jadi daripada mengecek satu-satu agen perjalanan online, lebih baik cukup buka satu situs yang mengomparasikan satu paket travel dengan paket yang lain.
Format ini semakin menjadi tren karena seiring dengan karakteristik konsumen yang getol mencari-cari (searching) nilai yang terbaik dari duit yang ia bayarkan. Tiga perilaku kelas menengah dalam berlibur di atas dapat menjadi petunjuk bagi Anda yang membidik kelas menengah sebagai target konsumen. Kuncinya ada di koneksi sosial yang tinggi, knowledgeyang juga relatif tinggi, serta daya beli yang oke.
Tinggal utakatik taktik pemasaran, maka Anda akan mendapat gurihnya pasar kelas menengah. Apalagi ke depan, jumlah kelas menengah akan meningkat tajam. Maka tentu saja, Anda tidak boleh terlambat apalagi ketinggalan! ●Ditulis bersama Ikhwan Alim, Business Analyst, Inventure
Yuswohady
Managing Partner Inventure @yuswohady
Bepergian bersama keluarga kini tidak cukup hanya di lokasi wisata dalam negeri. Kelas menengah juga mulai menjamah destinasi pariwisata di luar negeri. Tidak heran, membeludaknya kelas menengah sungguh luar biasa di ajang-ajang travel fair beberapa bulan terakhir.
Di ajang Garuda Indonesia Travel Fair (GITF) 2014lalu, misalnya, tercatat jumlah pengunjung yang datang pada dua kali penyelenggaraan, yaitu April dan September, mencapai jumlah pengunjung 59.000 orang, dengan total penjualan sebesar Rp223,62 miliar, naik sekitar 215% dari tahun lalu. Mereka rela antre untuk masuk lokasi acara melihat pameran 40 lebih pemain industri traveling, meskipun bayar tiket Rp20.000 per orang.
Tidak tanggungtanggung, pengunjung yang datang mencapai 80.000 orang dengan nilai transaksi lebih dari Rp70 miliar. Dari informasi-informasi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa di mata kelas menengah, liburan itu bukan “kalau mau” saja, melainkan sudah beranjak menjadi kebutuhan “yang harus dipenuhi”. Jangan heran melihat pameran GITF yang pengunjungnya ampun-ampunan banyaknya. Sebab, kelas menengah kini menganggap liburan bukan lagi keinginan tapi sudah jadi kebutuhan.
Berikut ini adalah fenomena-fenomena menarik terkait perilaku kelas menengah kita dalam berlibur (sebut saja mereka: Travelers 3000). Tidak “Takut” LagiDahulu, liburan ke luar negeri dinilai barang mewah. Makanya, liburan ke luar negeri dulu dinilai “menakutkan” karena menghabiskan biaya mahal dan membutuhkan rasa percaya diri atau pengetahuan untuk berani melanglang buana.
Saat ini, liburan ke luar negeri telah menjadi mass luxury, di mana liburan ke luar negeri telah menjadi lumrah (mainstream). Data Euromonitor menunjukkan bahwa perkembangan liburan orang Indonesia ke luar negeri cukup tinggi, setiap tahunnya bisa tumbuh 20%. Analoginya kira-kira, “liburan ke luar negeri saat ini mirip dengan liburan ke Bali atau Yogyakarta, jadi nggak usah takut”.
Biangnya bisa ditebak, perjalanan pesawat ke luar negeri kian terjangkau dengan adanya penerbangan murah (low-cost carrier) ke destinasi wisata negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. Apalagi, beragam konten berbahasa asing sudah menjamah kelas menengah. Nontonnya film berbahasa asing, meski diperkuat dengan substitute bahasa Indonesia. Musiknya lagu-lagu dari Inggris Raya atau Amerika. Jadi sebenarnya bahasa asing tidak lagi pantas disebut asing.
Karena sudah menjadi keseharian. Tinggal cas-cis-cus saja apa susahnya sih di negeri orang. Yang penting modal berani dan nekat. No-Usual TourismLibur itu bukan lagi sekedar ke pantai atau ke gunung. Sekarang saja mengunjungi Malaysia atau Singapura sama banyaknya dengan yang liburan ke Yogyakarta. Hebat banget. Kenapa untuk liburan harus sampai ke luar negeri?
Ada banyak alasan orang Indonesia berliburan ke luar negeri, diantaranya adalah mencari pengalaman baru (wisata kuliner, belanja, wisata alam dan lain-lain), sport tourism (nonton Moto GP, melihat klub sepak bola idamannya main di stadion, ikutan lari maraton), medical tour (cek kesehatan, rawat inap, perawatan kecantikan), wisata religi (umrah), dan lainnya. Kita ambil studi kasus yang “sport tourism”.
Karena level kemampuan ekonominya meningkat, sementara knowledge-nya juga makin moncer, maka seleranya juga “naik kelas”. Tidak hanya sekedar liburan di luar negeri, tapi juga sambil nonton bola atau balap motor. Contohnya para Gooners (sebutan suporter klub sepak bola Arsenal) Indonesia pun pergi berbondong-bondong menonton klub Liga Primer Inggris itu di stadion Bukit Djalil Malaysia.
Demi memenuhi hasrat kepuasan menonton idola pujaan, jarak jauh pun mereka tempuh. Kemudian ada juga pengakuan dari salah satu online travel agent yang pernah memboyong antara 50-100 orang rombongan untuk menonton moto GP. Cari Full BenefitKonsumen ini semakin cerdas mampu membandingkan harga yang dibayarkan dengan benefit yang diterima. Travel package semakin menjadi sasaran empuk bagi kelas menengah. Satu harga dapat beberapa benefit sekaligus.
Ibarat beli satu dapat dua. Tidak hanya terbangnya saja, tapi juga dapat paket menginap di hotel berbintang, misalnya. Referensi utama mencari paket yang murah, meriah, menarik jelas dari internet. Era internet memudahkan masyarakat Indonesia untuk melakukan perencanaan traveling. Akibatnya, banyak keputusan pembelian paket wisata dilakukan melalui agen perjalanan online.
Tumbuhnya online travel agent ini tidak lepas dari pengaruh perubahan konsumen Indonesia yakni dari dulunya kuperdan gaptekmenjadi semakin well-informed dan techy. Mereka rajin mencari destinasi yang ingin dituju, mencari tahu tentang benefit produk travel yang sesuai, tiket pesawat atau kereta, tentang penginapan, tempat wisata kuliner yang unik dan sebagainya. Semua itu dilakukannya di internet daripada tanya-tanya di kantor biro perjalanan.
Yang paling pas buat kelas menengah itu adalah yang berformat online aggregator. Jadi daripada mengecek satu-satu agen perjalanan online, lebih baik cukup buka satu situs yang mengomparasikan satu paket travel dengan paket yang lain.
Format ini semakin menjadi tren karena seiring dengan karakteristik konsumen yang getol mencari-cari (searching) nilai yang terbaik dari duit yang ia bayarkan. Tiga perilaku kelas menengah dalam berlibur di atas dapat menjadi petunjuk bagi Anda yang membidik kelas menengah sebagai target konsumen. Kuncinya ada di koneksi sosial yang tinggi, knowledgeyang juga relatif tinggi, serta daya beli yang oke.
Tinggal utakatik taktik pemasaran, maka Anda akan mendapat gurihnya pasar kelas menengah. Apalagi ke depan, jumlah kelas menengah akan meningkat tajam. Maka tentu saja, Anda tidak boleh terlambat apalagi ketinggalan! ●Ditulis bersama Ikhwan Alim, Business Analyst, Inventure
Yuswohady
Managing Partner Inventure @yuswohady
(ars)