Mentalitas Kerja!

Selasa, 11 November 2014 - 11:08 WIB
Mentalitas Kerja!
Mentalitas Kerja!
A A A
Ketika banyak orang sedang membicarakan revolusi mental, ada yang mengatakan ini sebagai sebuah gerakan atau ajakan yang baik.

Ada pula yang mengatakan semoga ini tidak menjadi sebuah slogan atau wacana semata. Mentalitas adalah sesuatu yang terkesan abstrak. Tetapi, kita bisa merasakan proses dan hasil yang diciptakan. Melalui artikel ini saya ingin berbagi ilustrasi bagaimana mentalitas kita dapat diuji dalam kondisi tertentu.

Seorang karyawan ditugaskan oleh atasannya untuk melakukan perjalanan dinas ke luar kota, dan seperti pada umumnya di sebuah perusahaan, tentunya ada fasilitas yang diberikan kepada karyawan yang diberi tugas ke luar kota yakni tunjangan makan pagi, siang, termasuk makan malam. Skenario pertama adalah aturan main yang diberlakukan di perusahaan tersebut adalah menggunakan sistem reimbursement, yang artinya ada batas nominal tertentu untuk setiap makan pagi/siang/malam dan semuanya harus berdasarkan bon/tanda/bukti bahwa memang pengeluarannya sejumlah yang tertera pada bon.

Sebut saja misalnya makan pagi yang dianggarkan untuk si karyawan adalah sejumlah Rp50.000. Si karyawan kemudian berpikir bagaimana ia harus memaksimalkan dana sebesar Rp50.000 ini untuk makan paginya. Logika berpikirnya jika ia hanya menggunakan dana kurang dari Rp50.000, misalnya hanya Rp20.000 untuk makan pagi, ia berpikir bahwa ia rugi Rp30.000. Alhasil, ia memesan begitu banyak makanan untuk dimakan sendiri pagi itu.

Skenario kedua adalah bila aturan mainnya sedikit diubah, yakni perusahaan tidak menggunakan sistem reimbursement melainkan “tunjangan”, artinya perusahaan memberikan tunjangan Rp50.000 sebagai bekal makan pagi untuk karyawan yang ditugaskan ke luar kota, dan manakalaadasisa, maka sudah menjadi hak karyawan, karena sifatnya sebagai tunjangan. Karyawan pun tidak dituntut untuk memberikan bukti/ bon pengeluaran.

Kira-kira jika skenario dua yang dimainkan, bagaimana reaksi atau perilaku si karyawan? Kemungkinan besar tidak ia habiskan dana sebesar Rp50.000, melainkan ia akan makan secukupnya, mungkin hanya Rp15.000- 20.000, dan selebihnya akan ia simpan sebagai tabungan, untuk keluarga dan anaknya.

Mungkin kedua peristiwa tersebut hanyalah sebuah ilustrasi semata, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa hal semacam ini dapat terjadi di lingkungan kerja Anda. Ilustrasi ini menggambarkan sebagian kecil dari sebuah mentalitas kerja, yang mana terkadang kita menjadi “serakah” akan sebuah nominal tertentu, bahkan kita cenderung berpikir untung dan rugi.

Belajar untuk Berkaca

Tanpa disadari terkadang kita lupa diri dan lebih banyak memikirkan kepentingan diri sendiri. Dalam beberapa kesempatan memberikan pelatihan kepada para salesperson, terkadang berbagai macam keluhan terlontar, manakala organisasi kurang berpihak kepada mereka. Uniknya yang justru mengeluh adalah mereka yang penjualannya kurang baik atau biasa-biasa saja.

Berbeda dengan yang kelompok yang mampu menunjukkan prestasi penjualan yang baik, mereka justru melihat ada hal-hal yang masih dapat dilakukan lebih baik ketimbang hanya meratapi nasib dan mengeluh setiap hari. Itulah pilihan yang diambil oleh dua tipe kepribadian yang berbeda yang pada akhirnya menentukan kinerja mereka sendiri. Mengapa ada pribadi yang korupsi? mengapa ada pribadi yang melakukan dan menerima suap? Mengapa ada pribadi yang berpikir akan rugi kalau nominal untuk makan pagi sebagai fasilitas tidak dimaksimalkan?

Mengapa ada orang mengeluh dan malas bekerja tetapi justru meminta penyesuaian gaji? Cara berpikir seseorang dalam memandang sebuah pekerjaan berbeda satu dengan yang lain. Ada yang memandang bekerja untuk menghasilkan prestasi dan karya bagi organisasi dan orang lain, namun ada pula yang memandang bekerja sebagai salah satu alat untuk memperkaya diri sebanyak- banyaknya.

Rasa “serakah” itulah yang selalu menghantui dan terkadang menganggap apa yang ia terima setiap bulan selalu kurang, maka timbullah pikiran untuk mendapatkan “uang tambahan” dengan cara/praktek yang salah. Dibutuhkan sebuah kearifan dan kepekaan nurani untuk mau berkaca pada diri sendiri. Apakah cara-cara seperti ini yang ingin Anda ceritakan/ pertontonkan kepada anak cucu Anda kelak?

Bukan Membiarkan, Tapi Membenahi

Salah seorang pimpinan perusahaan pernah bercerita bahwa betapa frustrasinya dia ketika harus berhadapan dengan karyawan yang sulit sekali diajak berubah, mentalitas bekerja yang terkadang sudah terlampau parah. Tak hanya pemimpin perusahaan saja saya rasa, kita pun kadang juga bisa merasakan hal yang sama manakala berhadapan dengan situasi atau seseorang yang cara kerjanya tidak sesuai yang kita harapkan, atau bekerja menurut etos kerja yang salah.

Sebuah pertanyaan reflektif untuk kita bersama, apakah kita mau diam, membiarkan, atau memilih untuk membenahi? Ada yang mengatakan “saya hanya sebagai staf”, bagaimana saya mau berubah kalau pimpinannya sendiri tidak berubah? Tanpa kita sadari kita kerap saling menunjuk siapa yang menjadi akar masalah manakala dihadapkan dengan sebuah peristiwa. Saya percaya apapun peran kita, kita masih bisa memulai dari diri kita sendiri. Setidaknya sebagai individu kita bisa memberi contoh yang baik.

Lakukan bukan karena keharusan, bukan pula melakukan karena aturan perusahaan, tapi melakukan cara kerja yang baik dan benar karena Anda sadar dan mau menjadi bagian dari perubahan yang baik. Dan bagi para pemimpin atau mereka yang memiliki otoritas, tugas Anda bukan untuk cuci tangan dan menyerah, melainkan jadilah agen perubahan yang membenahi yang salah bukan meratapi dan mengomentari yang salah.

Kita sudah cukup banyak memiliki komentator, kita butuh inisiator. Kita punya banyak orang yang pandai bicara, tapi rasanya sekarang kita lebih butuh banyak orang yang mau dan pandai bekerja. Salam sukses! ●

MUK KUANG
Professional Trainer, Speaker Author – Messages of Hope, Amazing Life, Think and Act Like A Winner Email : [email protected] @mukkuang
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0723 seconds (0.1#10.140)