DPR: Rencana Impor Hambat Swasembada Sapi
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan meningkatkan angka importasi sapi dari Australia dipastikan akan mengancam peternak lokal dan program swasembada sapi.
Menurut Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar, ada baiknya pemerintah serius menindaklanjuti apa yang sudah dilakukan selama ini, dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi sapi lokal.
"Pemerintah ada baiknya melakukan proses pelaksanaan evaluasi program swasembada daging sapi (PSDS) secara serius, sehingga bisa dipetakan potensi dan solusi yang perlu dilakukan dalam pengembangan swasembada daging sapi," kata dia dalam rilisnya Minggu (30/11/2014).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berharap dapat menerbitkan izin untuk mengimpor 264 ribu ekor sapi pada kuartal IV tahun ini. Itu merupakan peningkatan signifikan dari perkiraan awal sekitar 136 ribu ekor.
Perencanaan indikatif impor sapi 2014 mencapai 700 ribu ekor. Pada kuartal I/2014, Kemendag sudah menerbitkan surat persetujuan impor sebanyak 130.245 sapi bakalan untuk 35 importir dan 26.360 sapi siap potong kepada 16 importir.
"Impor sapi bakalan diprediksi dapat menguras devisa negara hingga Rp4,8 triliun–Rp5 triliun. Dana sebesar itu jika dialihkan untuk pengembangan sapi lokal tentu akan sangat bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional," tukas Rofi.
Dia menambahkan, swasembada daging adalah program pemerintah sebagai regulator menyediakan 90% dari total kebutuhan daging sapi lokal di dalam negeri, sedangkan 10% sisanya berasal dari pasokan luar negeri berupa impor sapi bakalan dan impor daging.
Namun ironisnya, proporsi importasi jika dilihat komposisi terbesar maka Australia menjadi negara pemasok utama daging atau sapi bakalan bagi Indonesia, dampaknya banyak industri ternak sapi di negeri kangguru tersebut tumbuh dan berkembang hanya dengan melakukan importasi ke Indonesia.
Menurut dia, pemerintah harus menciptakan kebijakan tata niaga dan tata kelola daging sapi yang kondusif bagi peternak lokal, agar keseimbangan permintaan dan persedian bisa terjadi.
"Peternak Australia bisa sejahtera dengan melakukan importasi ke Indonesia, sedangkan peternak lokal terpinggirkan karena harganya tidak kompetitif berasing," tukasnya.
Menurut Anggota Komisi IV DPR RI Rofi Munawar, ada baiknya pemerintah serius menindaklanjuti apa yang sudah dilakukan selama ini, dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi sapi lokal.
"Pemerintah ada baiknya melakukan proses pelaksanaan evaluasi program swasembada daging sapi (PSDS) secara serius, sehingga bisa dipetakan potensi dan solusi yang perlu dilakukan dalam pengembangan swasembada daging sapi," kata dia dalam rilisnya Minggu (30/11/2014).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berharap dapat menerbitkan izin untuk mengimpor 264 ribu ekor sapi pada kuartal IV tahun ini. Itu merupakan peningkatan signifikan dari perkiraan awal sekitar 136 ribu ekor.
Perencanaan indikatif impor sapi 2014 mencapai 700 ribu ekor. Pada kuartal I/2014, Kemendag sudah menerbitkan surat persetujuan impor sebanyak 130.245 sapi bakalan untuk 35 importir dan 26.360 sapi siap potong kepada 16 importir.
"Impor sapi bakalan diprediksi dapat menguras devisa negara hingga Rp4,8 triliun–Rp5 triliun. Dana sebesar itu jika dialihkan untuk pengembangan sapi lokal tentu akan sangat bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional," tukas Rofi.
Dia menambahkan, swasembada daging adalah program pemerintah sebagai regulator menyediakan 90% dari total kebutuhan daging sapi lokal di dalam negeri, sedangkan 10% sisanya berasal dari pasokan luar negeri berupa impor sapi bakalan dan impor daging.
Namun ironisnya, proporsi importasi jika dilihat komposisi terbesar maka Australia menjadi negara pemasok utama daging atau sapi bakalan bagi Indonesia, dampaknya banyak industri ternak sapi di negeri kangguru tersebut tumbuh dan berkembang hanya dengan melakukan importasi ke Indonesia.
Menurut dia, pemerintah harus menciptakan kebijakan tata niaga dan tata kelola daging sapi yang kondusif bagi peternak lokal, agar keseimbangan permintaan dan persedian bisa terjadi.
"Peternak Australia bisa sejahtera dengan melakukan importasi ke Indonesia, sedangkan peternak lokal terpinggirkan karena harganya tidak kompetitif berasing," tukasnya.
(rna)