Pertamina Akan Evaluasi Pengadaan Impor BBM Bersubsidi
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (persero) akan mengevaluasi pengadaan minyak mentah dan impor produk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Hal tersebut seiring kejanggalan yang ditemukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas.
"Nanti kita adakan evaluasi. Dan akan kita perbaiki semuanya," kata Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Anggota Tim Tata Kelola Migas Fahmy Radhi mengatakan, salah satu indikasi adanya mafia migas adalah dengan memanfaatkan pengadaan produksi BBM bersubsidi yang dilakukan dengan menurunkan kadar oktan.
Impor BBM untuk produkai subsidi diturunkan dari oktan RON 92 menjadi RON 88. "Celah ini yang dimanfaatkan mafia migas," ujarnya.
Menurutnya, dengan penurunan oktan maka beban biaya pasokan akan bertambah. Pasalnya Pertamina melakukan impor RON 92 lalu diturunkan menjadi RON 88.
"Impor itu kan RON 92. Sementara harus diolah lagi menjadi RON 88, jadinya premium," jelas dia.
Fahmy menilai, seharusnya beban biaya pengadaan BBM bersubsidi bisa lebih murah, tanpa harus melakukan proses oplos untuk menurunkan kadar oktan.
Konsekuensi itu membuat beban produksi BBM bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomian BBM non subsidi.
Di samping itu, ketentuan dalam memonitor biaya produksi BBM masih sulit dianalisa. Hal itu dari banyaknya asumsi yang dipakai Pertamina dalam melakukan impor minyak dan produk BBM.
Hal tersebut seiring kejanggalan yang ditemukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas.
"Nanti kita adakan evaluasi. Dan akan kita perbaiki semuanya," kata Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Anggota Tim Tata Kelola Migas Fahmy Radhi mengatakan, salah satu indikasi adanya mafia migas adalah dengan memanfaatkan pengadaan produksi BBM bersubsidi yang dilakukan dengan menurunkan kadar oktan.
Impor BBM untuk produkai subsidi diturunkan dari oktan RON 92 menjadi RON 88. "Celah ini yang dimanfaatkan mafia migas," ujarnya.
Menurutnya, dengan penurunan oktan maka beban biaya pasokan akan bertambah. Pasalnya Pertamina melakukan impor RON 92 lalu diturunkan menjadi RON 88.
"Impor itu kan RON 92. Sementara harus diolah lagi menjadi RON 88, jadinya premium," jelas dia.
Fahmy menilai, seharusnya beban biaya pengadaan BBM bersubsidi bisa lebih murah, tanpa harus melakukan proses oplos untuk menurunkan kadar oktan.
Konsekuensi itu membuat beban produksi BBM bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomian BBM non subsidi.
Di samping itu, ketentuan dalam memonitor biaya produksi BBM masih sulit dianalisa. Hal itu dari banyaknya asumsi yang dipakai Pertamina dalam melakukan impor minyak dan produk BBM.
(izz)