Pengamat: Pertumbuhan Ekonomi RI Cukup 5,5%
A
A
A
PALEMBANG - Pengamat ekonomi Indef, Aviliani menilai menilai, capaian pertumbuhan ekonomi RI sebesar 5,5% sudah cukup bagus di saat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih melemah. Menyusul target pemerintah yang menetapkan level 6% sementara growth di beberapa sektor masih terkendala.
"Yang terpenting continuitas, bukan tingginya angka pertumbuhan. Karena itu, 5,5% itu sudah bagus," ulas Aviliani dalam talkshow Outlook Ekonomi dan Politik Indonesia 2015 di Palembang, Sabtu (6/12/2014).
Menurut Sekum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini, pertumbuhan ekonomi RI didorong dari tingkat konsumsi masyarakat sebesar 57%. Pertumbuhan konsumsi akan mempengaruhi stok kebutuhan. Jika negara kekurangan, maka impor semakin tinggi. Akibatnya, konsumsi dollar AS untuk pembelian stok kebutuhan semakin bertambah yang menyebabkan nilai tukar rupiah semakin melemah.
"Tahun 2009-2012, dollar masih di bawah Rp10.000 karena tidak ada dana yang keluar. Kondisi sekarang sulit karena negara bergantung pada asing. Kita terkendala pada bahan baku, ditambah pula pendapatan dan pengeluaran negara yang belum terkontrol. Dipastikan sampai Juli 2015 kondisi belum pasti," terang Aviliani.
Dia menjelaskan, pertambangan dan pertanian menjadi sektor yang pertumbuhannya tercatat sangat minim. Gaung hilirisasi yang lambat menjadi kendala pertambangan, lalu masalah pembebasan lahan menjadi kendala pertanian.
Di sinilah perlunya mata rantai produksi. Pemerintah mesti membuat sistem intensif berupa industrialisasi. Di Sumsel ini misalnya, harusnya menjadi leader di industri karet dunia. Selain bisa mengontrol harga, kesempatan kerja jadi terbuka. Kalau memang ada investor asing tertarik, silahkan masuk asalkan ada syarat ketat. Pemda harus berinisiatif tidak menunggu dari presiden.
"Jadi, pertumbuhan ekonomi negara haruslah yang bisa membuka lapangan kerja serta meningkatkan ekspor," tegas Aviliani.
Dalam kesempatan tersebut, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Sumsel, Ruslan Bahri mengakui, tantangan ekonomi Sumsel saat ini adalah harga komoditas yang menurun, terutama karet. Padahal perekonomian Sumsel ini sangat terpengaruh pada karet.
"Persoalan kita ini di demografi kebijakan. Ada masalah subsidi ada pula pajak. Di saat seperti ini, produksi karet dunia mulai berjalan seperti di Indochina," tukasnya.
Sementara Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, perpolitikan di Indonesia mempengaruhi cukup signifikan bagi perekonomian.
"Yang terpenting continuitas, bukan tingginya angka pertumbuhan. Karena itu, 5,5% itu sudah bagus," ulas Aviliani dalam talkshow Outlook Ekonomi dan Politik Indonesia 2015 di Palembang, Sabtu (6/12/2014).
Menurut Sekum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini, pertumbuhan ekonomi RI didorong dari tingkat konsumsi masyarakat sebesar 57%. Pertumbuhan konsumsi akan mempengaruhi stok kebutuhan. Jika negara kekurangan, maka impor semakin tinggi. Akibatnya, konsumsi dollar AS untuk pembelian stok kebutuhan semakin bertambah yang menyebabkan nilai tukar rupiah semakin melemah.
"Tahun 2009-2012, dollar masih di bawah Rp10.000 karena tidak ada dana yang keluar. Kondisi sekarang sulit karena negara bergantung pada asing. Kita terkendala pada bahan baku, ditambah pula pendapatan dan pengeluaran negara yang belum terkontrol. Dipastikan sampai Juli 2015 kondisi belum pasti," terang Aviliani.
Dia menjelaskan, pertambangan dan pertanian menjadi sektor yang pertumbuhannya tercatat sangat minim. Gaung hilirisasi yang lambat menjadi kendala pertambangan, lalu masalah pembebasan lahan menjadi kendala pertanian.
Di sinilah perlunya mata rantai produksi. Pemerintah mesti membuat sistem intensif berupa industrialisasi. Di Sumsel ini misalnya, harusnya menjadi leader di industri karet dunia. Selain bisa mengontrol harga, kesempatan kerja jadi terbuka. Kalau memang ada investor asing tertarik, silahkan masuk asalkan ada syarat ketat. Pemda harus berinisiatif tidak menunggu dari presiden.
"Jadi, pertumbuhan ekonomi negara haruslah yang bisa membuka lapangan kerja serta meningkatkan ekspor," tegas Aviliani.
Dalam kesempatan tersebut, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Sumsel, Ruslan Bahri mengakui, tantangan ekonomi Sumsel saat ini adalah harga komoditas yang menurun, terutama karet. Padahal perekonomian Sumsel ini sangat terpengaruh pada karet.
"Persoalan kita ini di demografi kebijakan. Ada masalah subsidi ada pula pajak. Di saat seperti ini, produksi karet dunia mulai berjalan seperti di Indochina," tukasnya.
Sementara Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, perpolitikan di Indonesia mempengaruhi cukup signifikan bagi perekonomian.
(gpr)