Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI
A
A
A
JAKARTA - Bank dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya mencapai 5,2%, di bawah proyeksi sebelumnya yang dirilis Juli 2014 sebesar 5,6%.
Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,1% dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2%. ”Pertumbuhan dunia yang melambat mengakibatkan turunnya harga-harga sejumlah komoditas Indonesia,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves saat memaparkan laporan perkembangan kuartalan perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia di Jakarta kemarin.
Menurut dia, selain melemahnya ekspor, pertumbuhan terpangkas akibat melemahnya pertumbuhan investasi. Karena itu, estimasi pertumbuhan yang menyusut ini dapat saja berbalik arah apabila kinerja investasi ternyata melampaui harapan pada 2015. Pembelanjaan pasar domestik di Indonesia yang bertahan tinggi menurutnya terus menopang pertumbuhan.
Jika Indonesia dapat memperkuat fondasi ekonomi yang lainnya dan memperkuat iklim investasi, negara ini bisa saja mencapai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dan pesat pada tahun depan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap stabil mendekati tingkat sekarang, sebelum meningkat pada tahun 2016. Bank Dunia memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 sebesar 5,5%.
Prospek ini mencerminkan kinerja investasi tetap dan laporan data perdagangan yang tidak menggembirakan serta berlanjutnya perlambatan kredit. Menurut dia, percepatan yang lebih kuat dibanding perkiraan pada investasi tetap sepanjang tahun 2015 akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding proyeksi mendasar (baseline). Namun, itu akan membutuhkan penanganan tantangan dalam pencairan belanja modal pemerintah.
Sampai akhir bulan Oktober tercatat penyerapan belanja modal pemerintah hanya 38% dari persiapan pendanaan untuk tahun 2014. Angka itu jauh di bawah tahun 2012 dan 2013 untuk periode yang sama. Sementara, ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop mengatakan bahwa defisit neraca berjalan berkurang sedikit, yakni di angka USD6,8 miliar atau 3,1% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal ketiga tahun ini.
Penurunan defisit neraca berjalan secara bertahap diperkirakan akan terus berlangsung. ”Diperkirakan, defisit neraca berjalan mencapai 2,8% pada tahun 2015,” ujar Ndiame. Lebih lanjut dia mengungkap, laju pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat secara periode dibandingkan dengan beberapa tahun lalu memperlambat laju penurunan tingkat kemiskinan nasional, yang pada bulan Maret 2014 berada pada angka 11,3%.
Menurut Ndiame, adanya program kompensasi akan melindungi kaum miskin secara efektif dari dampak negatif kenaikan harga bahan pangan dan transportasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) November lalu. Namun, dari sudut pandang jangka menengah, Indonesia menghadapi tantangan-tantangan untuk menangani masalah kemiskinan ekstrem yang sulit dipecahkan.
Dia memproyeksikan, kemiskinan akan tetap berada di atas 8% pada 2018. Ndiame memaparkan, ada beberapa tantangan baru bagi Pemerintah Indonesia, yang salah satunya adalah sektor kesehatan. Dengan pembelanjaan anggaran yang baik, termasuk untuk bidang pelayanan kesehatan dan program-program perlindungan sosial, Ndiame yakin pemerintah dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang melambat beberapa tahun terakhir.
Belanja kesehatan pemerintah pada semua tingkatan hanya mencapai 1,2% dari PDB pada tahun 2012 (sekitar USD43 per kapita). Selain itu, Indonesia baru saja menerapkan serangkaian reformasiutamadengantujuanuntuk mencapai jaminan kesehatan dengan cakupan seluruh pendudukpada tahun2019, yaknisuatu kebijakan mendasar untuk menjamin dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan mempercepat pengentasan kemiskinan.
Demi mewujudkan sasaran tersebut, fokus tidak hanya dalam peningkatan akses kepada layanan kesehatan, namun juga keterjangkauan layanan oleh para pengguna akhir. Kemudian, penekanan untuk menjamin adanya layanan kesehatan yang efektif, terutama di Indonesia bagian timur, dan pada tingkat layanan kesehatan primer.
Kunthi fahmar sandy
Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,1% dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2%. ”Pertumbuhan dunia yang melambat mengakibatkan turunnya harga-harga sejumlah komoditas Indonesia,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves saat memaparkan laporan perkembangan kuartalan perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia di Jakarta kemarin.
Menurut dia, selain melemahnya ekspor, pertumbuhan terpangkas akibat melemahnya pertumbuhan investasi. Karena itu, estimasi pertumbuhan yang menyusut ini dapat saja berbalik arah apabila kinerja investasi ternyata melampaui harapan pada 2015. Pembelanjaan pasar domestik di Indonesia yang bertahan tinggi menurutnya terus menopang pertumbuhan.
Jika Indonesia dapat memperkuat fondasi ekonomi yang lainnya dan memperkuat iklim investasi, negara ini bisa saja mencapai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dan pesat pada tahun depan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap stabil mendekati tingkat sekarang, sebelum meningkat pada tahun 2016. Bank Dunia memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 sebesar 5,5%.
Prospek ini mencerminkan kinerja investasi tetap dan laporan data perdagangan yang tidak menggembirakan serta berlanjutnya perlambatan kredit. Menurut dia, percepatan yang lebih kuat dibanding perkiraan pada investasi tetap sepanjang tahun 2015 akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding proyeksi mendasar (baseline). Namun, itu akan membutuhkan penanganan tantangan dalam pencairan belanja modal pemerintah.
Sampai akhir bulan Oktober tercatat penyerapan belanja modal pemerintah hanya 38% dari persiapan pendanaan untuk tahun 2014. Angka itu jauh di bawah tahun 2012 dan 2013 untuk periode yang sama. Sementara, ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop mengatakan bahwa defisit neraca berjalan berkurang sedikit, yakni di angka USD6,8 miliar atau 3,1% dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal ketiga tahun ini.
Penurunan defisit neraca berjalan secara bertahap diperkirakan akan terus berlangsung. ”Diperkirakan, defisit neraca berjalan mencapai 2,8% pada tahun 2015,” ujar Ndiame. Lebih lanjut dia mengungkap, laju pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat secara periode dibandingkan dengan beberapa tahun lalu memperlambat laju penurunan tingkat kemiskinan nasional, yang pada bulan Maret 2014 berada pada angka 11,3%.
Menurut Ndiame, adanya program kompensasi akan melindungi kaum miskin secara efektif dari dampak negatif kenaikan harga bahan pangan dan transportasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) November lalu. Namun, dari sudut pandang jangka menengah, Indonesia menghadapi tantangan-tantangan untuk menangani masalah kemiskinan ekstrem yang sulit dipecahkan.
Dia memproyeksikan, kemiskinan akan tetap berada di atas 8% pada 2018. Ndiame memaparkan, ada beberapa tantangan baru bagi Pemerintah Indonesia, yang salah satunya adalah sektor kesehatan. Dengan pembelanjaan anggaran yang baik, termasuk untuk bidang pelayanan kesehatan dan program-program perlindungan sosial, Ndiame yakin pemerintah dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang melambat beberapa tahun terakhir.
Belanja kesehatan pemerintah pada semua tingkatan hanya mencapai 1,2% dari PDB pada tahun 2012 (sekitar USD43 per kapita). Selain itu, Indonesia baru saja menerapkan serangkaian reformasiutamadengantujuanuntuk mencapai jaminan kesehatan dengan cakupan seluruh pendudukpada tahun2019, yaknisuatu kebijakan mendasar untuk menjamin dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan mempercepat pengentasan kemiskinan.
Demi mewujudkan sasaran tersebut, fokus tidak hanya dalam peningkatan akses kepada layanan kesehatan, namun juga keterjangkauan layanan oleh para pengguna akhir. Kemudian, penekanan untuk menjamin adanya layanan kesehatan yang efektif, terutama di Indonesia bagian timur, dan pada tingkat layanan kesehatan primer.
Kunthi fahmar sandy
(ars)