SP Chevron Tuntut Kasus Proyek Bioremediasi
A
A
A
JAKARTA - Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia diperingati oleh Serikat Pekerja PT Chevron Pacific Indonesia dengan menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk segera menindaklanjuti laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait penanganan kasus proyek bioremediasi Chevron.
”Dalam peringatan hari HAM kali ini kami meminta pemerintah bisa segera bertindak atas laporan Komnas HAM terkait pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat hukum terhadap para pekerja migas dalam kasus proyek bioremediasi. Sudah lebih dari setahun kami menunggu tindak lanjutnya,” ujar Ketua Serikat Pekerja Chevron Indonesia Zunaidi Wazir dalam keterangan tertulis kemarin.
Dalam laporan setebal 400 halaman yang diterbitkan pada Mei 2013 lalu, Komnas HAM telah menyampaikan empat pelanggaran dalam penanganan kasus proyek bioremediasi oleh penegak hukum kepada pekerja migas, yaitu Bachtiar Abdul Fatah, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo, Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo.
”Kami mencatat pekerja migas dalam kasus bioremediasi telah dilanggar hak-haknya, yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang sama, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang, hak untuk mendapat proses hukum yang adil, dan hak untuk tidak dipidana atas perjanjian perdata,” paparnya.
Serikat Pekerja Chevron menyesalkan kriminalisasi atas pekerja migas, yang bekerja untuk menghasilkan komoditas yang sangat vital bagi negara, tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara dalam kasus tersebut. Zunaidi mengatakan, para pekerja yang ditahan tersebut telah bekerja sesuai aturan perusahaan yang terikat kontrak perdata dengan pemerintah melalui production sharing contract (PSC).
”Namun, mereka ternyata dipidana atas program yang dijalankan perusahaannya. Jika perusahaan tempat para pekerja migas ini menilai para pekerja telah melakukan tugasnya dengan baik, seyogianya siapa pun yang mempertanyakan program perusahaan ini harus mengikuti mekanisme yang disepakati dalam kontrak,” imbuhnya. Pelanggaran HAM oleh aparat negara yang bisa diartikan sebagai kekerasan negara kepada warganya, lanjut Zunaidi, akan menjadi citra buruk bagi pemerintah jika dibiarkan terus berlanjut.
”Kasus pelanggaran HAM yang belum kelar dan jumlahnya terus bertambah menyisakan tanda tanya besar bagi masyarakat atas komitmen pemerintah dalam isu ini. Kami tak ingin ada korban baru lagi di sektor migas,” serunya.
Dukungan juga ditunjukkan para petinggi Chevron Indonesia yang sebelumnya telah menemui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil untuk mengadukan permasalahan terkait kasus bioremediasi tersebut.
M faizal
”Dalam peringatan hari HAM kali ini kami meminta pemerintah bisa segera bertindak atas laporan Komnas HAM terkait pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat hukum terhadap para pekerja migas dalam kasus proyek bioremediasi. Sudah lebih dari setahun kami menunggu tindak lanjutnya,” ujar Ketua Serikat Pekerja Chevron Indonesia Zunaidi Wazir dalam keterangan tertulis kemarin.
Dalam laporan setebal 400 halaman yang diterbitkan pada Mei 2013 lalu, Komnas HAM telah menyampaikan empat pelanggaran dalam penanganan kasus proyek bioremediasi oleh penegak hukum kepada pekerja migas, yaitu Bachtiar Abdul Fatah, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo, Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo.
”Kami mencatat pekerja migas dalam kasus bioremediasi telah dilanggar hak-haknya, yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang sama, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang, hak untuk mendapat proses hukum yang adil, dan hak untuk tidak dipidana atas perjanjian perdata,” paparnya.
Serikat Pekerja Chevron menyesalkan kriminalisasi atas pekerja migas, yang bekerja untuk menghasilkan komoditas yang sangat vital bagi negara, tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara dalam kasus tersebut. Zunaidi mengatakan, para pekerja yang ditahan tersebut telah bekerja sesuai aturan perusahaan yang terikat kontrak perdata dengan pemerintah melalui production sharing contract (PSC).
”Namun, mereka ternyata dipidana atas program yang dijalankan perusahaannya. Jika perusahaan tempat para pekerja migas ini menilai para pekerja telah melakukan tugasnya dengan baik, seyogianya siapa pun yang mempertanyakan program perusahaan ini harus mengikuti mekanisme yang disepakati dalam kontrak,” imbuhnya. Pelanggaran HAM oleh aparat negara yang bisa diartikan sebagai kekerasan negara kepada warganya, lanjut Zunaidi, akan menjadi citra buruk bagi pemerintah jika dibiarkan terus berlanjut.
”Kasus pelanggaran HAM yang belum kelar dan jumlahnya terus bertambah menyisakan tanda tanya besar bagi masyarakat atas komitmen pemerintah dalam isu ini. Kami tak ingin ada korban baru lagi di sektor migas,” serunya.
Dukungan juga ditunjukkan para petinggi Chevron Indonesia yang sebelumnya telah menemui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil untuk mengadukan permasalahan terkait kasus bioremediasi tersebut.
M faizal
(ars)