Peralihan Program Raskin ke E-Money Perlu Dikaji Ulang
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan mengalihkan program beras untuk miskin (raskin) menjadi program bantuan uang elektronik secara langsung atau e-money dinilai kurang tepat.
Pasalnya, program bantuan melalui e-money tersebut berpotensi mengganggu ketahanan pangan, menurunkan kesejahteraan petani, mendorong inflasi, serta menambah kemiskinan. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, raskin yang sudah ada sejak tahun 1970-an mulanya bukan untuk masyarakat miskin.
“Mulanya adalah untuk perlindungan harga petani. Jauh dari itu, fungsi dari raskin adalah mengendalikan harga beras,” ujarnya di sela diskusi bertema “Stop Liberalisasi Beras “ di Jakarta, kemarin. Bayu menambahkan, dalam raskin ada tiga pilar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Secara sistematis, raskin merupakan usaha pemerintah untuk menghindari pangan pokok rakyat dari risiko pasar bebas.
“Risiko pasar bebas paling serius dihadapi oleh petani kecil atau konsumen menengah. Beras merupakan satu-satunya komoditas yang harganya dikendalikan pemerintah melalui operasi pasar,” ujar mantan Wakil Menteri Perdagangan ini. Menurut Bayu, begitu terjadi kenaikan harga terutama beras, maka orang miskin akan bertambah.
“Kita harus betulbetul kendalikan. Selama ini kita gelisah karena hanya bisa mengendalikan satu komoditas. Kalau (raskin) ini dihilangkan, maka kita akan kehilangan kemampuan untuk bisa memengaruhi pasar,” katanya. Kestabilan harga beras, kata Bayu, akan menekan inflasi. Jika terjadi penurunan inflasi, maka dapat bertindak sebagai pengendali kemiskinan.
“Pengendalian inflasi dari raskin akan membuat pengendalian kemiskinan,” tandas Bayu. Di tempat yang sama, pakar ekonomi pangan Bustanul Arifin mengatakan, program pemerintah sekarang adalah swasembada pangan. Salah satu cara menuju kedaulatan pangan adalah ketahanan pangan.
“Ada swasembada pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan itu fisik, ketahanan panganekonomi, kemandirianpangan ekonomi politik, kedaulatan pangan politik,” jelasnya.
Bustanul melanjutkan, persoalan yang menyangkut beras berhubungan dengan akses pangan dan gizi yang sangat kompleks. “Pertama, kita harus paham kontribusi beras terhadap laju inflasi. Jika raskin tidak ada, saya menduga akan ada kenaikan harga,” katanya.
Oktiani endarwati
Pasalnya, program bantuan melalui e-money tersebut berpotensi mengganggu ketahanan pangan, menurunkan kesejahteraan petani, mendorong inflasi, serta menambah kemiskinan. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, raskin yang sudah ada sejak tahun 1970-an mulanya bukan untuk masyarakat miskin.
“Mulanya adalah untuk perlindungan harga petani. Jauh dari itu, fungsi dari raskin adalah mengendalikan harga beras,” ujarnya di sela diskusi bertema “Stop Liberalisasi Beras “ di Jakarta, kemarin. Bayu menambahkan, dalam raskin ada tiga pilar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Secara sistematis, raskin merupakan usaha pemerintah untuk menghindari pangan pokok rakyat dari risiko pasar bebas.
“Risiko pasar bebas paling serius dihadapi oleh petani kecil atau konsumen menengah. Beras merupakan satu-satunya komoditas yang harganya dikendalikan pemerintah melalui operasi pasar,” ujar mantan Wakil Menteri Perdagangan ini. Menurut Bayu, begitu terjadi kenaikan harga terutama beras, maka orang miskin akan bertambah.
“Kita harus betulbetul kendalikan. Selama ini kita gelisah karena hanya bisa mengendalikan satu komoditas. Kalau (raskin) ini dihilangkan, maka kita akan kehilangan kemampuan untuk bisa memengaruhi pasar,” katanya. Kestabilan harga beras, kata Bayu, akan menekan inflasi. Jika terjadi penurunan inflasi, maka dapat bertindak sebagai pengendali kemiskinan.
“Pengendalian inflasi dari raskin akan membuat pengendalian kemiskinan,” tandas Bayu. Di tempat yang sama, pakar ekonomi pangan Bustanul Arifin mengatakan, program pemerintah sekarang adalah swasembada pangan. Salah satu cara menuju kedaulatan pangan adalah ketahanan pangan.
“Ada swasembada pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan itu fisik, ketahanan panganekonomi, kemandirianpangan ekonomi politik, kedaulatan pangan politik,” jelasnya.
Bustanul melanjutkan, persoalan yang menyangkut beras berhubungan dengan akses pangan dan gizi yang sangat kompleks. “Pertama, kita harus paham kontribusi beras terhadap laju inflasi. Jika raskin tidak ada, saya menduga akan ada kenaikan harga,” katanya.
Oktiani endarwati
(ars)