Ekonomi Masih Dibayangi Gejolak Eksternal

Rabu, 17 Desember 2014 - 09:48 WIB
Ekonomi Masih Dibayangi...
Ekonomi Masih Dibayangi Gejolak Eksternal
A A A
Beberapa bulan lalu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga menjadi 7,75%. Kenaikan suku bunga acuan ini menurut bank sentral dapat mendorong pengendalian ekspektasi inflasi maupun kecukupan likuiditas.

Bank Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 dapat mencapai 5,4–5,8% dan akan lebih tinggi dalam jangka menengahpanjang dengan stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan yang tetap terjaga.

Pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan diperkirakan lebih baik ketimbang tahun ini, namun bagi Indonesia, di bawah bayang-bayang kenaikan suku bunga The Fed, pelambatan pertumbuhan ekonomi mitra dagang utama Indonesia yaitu China, ancaman gejolak geopolitik di beberapa kawasan masih akan menjadi tantangan.

Untuk lebih mengetahui prospek ekonomi Indonesia pada 2015 mendatang serta bagaimana menghadapi tantangan yang akan dihadapi, berikut kutipan wawancara KORAN SINDOdengan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di ruang kerjanya Gedung BI Jakarta belum lama ini.

Bank sentral melihat tantangan ekonomi yang akan dihadapi pada 2015 seperti apa?

Saya rasa tantangannya masih dari eksternal dan internal. Namun faktor eksternal akan lebih besar dibanding internalnya. Sejak tahun 2013, memang ada perubahan di global karena AS melakukan tappering dan mengurangi stimulus, sehingga pengurangan stimulus itu berdampak kepada gejolak di pasar keuangan dan gejolak itu besar sekali di semester II tahun 2013 dan masih berlanjut di kuartal I tahun 2014.

Kemudian habis itu lebih stabil. Itu faktor eksternal yang di moneter. Sehingga itu yang kemudian membuat BI dan pemerintah melakukan pengetatan. Pemerintah melakukan pengetatan fiskal dengan cara mengurangi subsidi BBM dan BI melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan BI Ratedan melakukan penyesuaian terhadap nilai tukar, agar kurs itu mencerminkan fundamentalnya dan sekaligus agar kurs bisa ikut menyelesaikan masalah fundamentalnya Indonesia.

Karena fundamental Indonesia kandefisit neraca berjalan, defisit ekspor impor, dan defisit APBN. Memang ada perlambatan yang disebabkan oleh pengetatan moneter. Tapi perlu diketahui, pengetatan moneter perlu dilakukan karena kalau kita sedang dalam situasi ekspor turun dan membiarkan impor terus naik maka defisit akan semakin besar.

Makanya BI melakukan pengetatan agar impornya teradjustdan kurs juga melemah supaya mencerminkan fundamental. Saya rasa, fundamentalnya berubah dari yang dulu surplus ekspor impor barang dan jasa sekarang menjadi defisit dan itu memang harus memerlukan adjustmentdalam kurs.

Kalau kita coba tahan kurs di Rp10.500 itu kanartinyaharus menghabiskan cadangan devisa berapa banyak atau artinya kita menghabiskan tabungan. Jadi memang tahun 2014 seperti itu, tapi kemudian hasil dari pengetatan fiskal dan juga pengetatan moneter yang dilakukan BI dan pemerintah menunjukkan hasil yakni berhasil menurunkan defisit neraca berjalan, defisit ekspor impor barang dan jasa.

Pemerintah menaikkan harga BBM, menurut bank sentral seberapa besar dampaknya?

Jadi begini, ada beberapa hal. Kalau kita mau suku bunga turun, yang paling penting adalah inflasi harus turun secara permanen. Kalau inflasi turun ke level 4,5% kemudian tahun depan naik lagi ke 8% karena pengurangan subsidi BBM, ya artinya itu inflasi tidak turun secara permanen. Negara lain saja bisa permanen di angka 3%. Kalau inflasi masih naik turun terus, maka jangan harapkan kita punya suku bunga rendah yang permanen.

Jadi inflasi harus diturunkan kalau mau bunga turun. Jadi kemarin, kenaikan harga BBM itu mudah-mudahan oleh pemerintah bisa segera dipakai untuk realokasi pengeluaran. Pokoknya kalau itu bisa digunakan secara cepat dan efektif, maka itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran pemerintah. Mumpung sekarang harga minyak sedang turun, ada baiknya pemerintah mengubah sistem subsidi itu.

Dengan adanya langkah tersebut, dari sisi BI inflasi bisa terjaga pada level berapa?

Saat ini, kita bisa bicara suku bunga permanen rendah apabila inflasi rendah dan bank juga punya fundingyang cukup. Misalkan, inflasi sudah rendah dan bunga turun, tapi kalau fundingbank rendah, maka bank akan tetap kejar mengejar dengan bunga deposit. Dari sisi inflasi (faktor kenaikan BBM), Bank Indonesia memperkirakan akan ada tambahan sekitar 2,4 sampai 2,8% pada November 2014, Desember 2014 dan Januari 2015.

Namun, yang paling besar pada Desember ini. Tapi kita berharap, mudah-mudahan dampaknya sudah mulai menurun di Januari dan Februari 2015. Base effectindeks inflasi sudah mulai naik, maka secara base effectinflasi baru akan turun di kepala 4 pada Desember 2015 mendatang dan secara month to monthsudah mulai turun di bulan keempat tahun depan.

Jadi kita masih akan melihat inflasi kepala 7 ataupun 8% sepanjang tahun 2015 mendatang. Tetapi, tekanan inflasi dari BBM itu sudah mulai hilang di bulan keempat 2014. Bank Indonesia, menargetkan inflasi tahun depan lebih rendah dari target inflasi tahun ini. Misalkan 2014 inflasi berada di 4,5 plus minus 1 menjadi 3,5–5,5%.

Sementara 2015 inflasi berada di kisaran 4,0 plus minus 1% dan pada tahun 2018–2019 inflasi berada pada 3,5 plus minus 1%. Intinya, pasar akan selalu mengantisipasi apabila ada kenaikan suku bunga di AS. Satu hal yang penting, BI ini adalah partner pemerintah sekaligus partner masyarakat untuk mengawal stabilitas. Jadi niat BI untuk mengawal stabilitas Indonesia.

Kira-kira apa langkah dari BI untuk tahun 2015 mendatang?

Tahun 2015 itu situasi globalnya masih sama, yakni persiapan kenaikan suku bunga AS, tapi itulah kita ini negara berkembang sama seperti negara berkembang lainnya. Kita ini negara yang perlu pendanaan dari LN (luar negeri), hingga faktor luar negeri itu penting sekali. Jadi kebijakan moneter BI pasti masih akan melihat faktor dari The Fed.

Hingga kebijakan BI masih harus memastikan bahwa defisit transaksi berjalan kita pada level yang suistanable. Mudah-mudahan tekanan inflasi karena BBM tidak ada lagi di tahun 2015, apalagi kalau pemerintah beralih ke sistem subsidi tetap. Semakin cepat ada kejelasan tentang suku bunga AS itu maka semakin baik.

Di lain hal, kalau inflasi di daerah di biarkan, maka pendapatan masyarakat di daerah itu tergerus. Sehingga inflasi naik karena ada faktorfaktor supply, seperti harga cabai, karena distribusi kurang atau tidak merata ataupun harga beras naik karena produksi turun dan lain-lain.

Untuk itu, Bank Indonesia mengajak pemerintah daerah memahami hal ini. Saat ini, kita telah masuk di inisiatif untuk menjadi mitra kerja pemerintah daerah untuk ekonomi dan keuangan. Intinya, BI ingin menjadi mitra kerja daerah karena penting terutama untuk mendorong investasi.

Terkait neraca perdagangan yang terbesar itu masih impor minyak sebagai penyebab defisit. Pemerintah juga sekarang mencoba beberapa program, seperti kilang mulai di bangun dan optimalisasi minyak. Pandangan BI seperti apa?

Kalau kita bicara pembangunan kilang, tapi tidak ada produksi minyaknya ya sama saja kita impor minyak mentah. Sedangkan ekonomi yang tumbuh sekitar 5 sampai 6% per tahun itu kan butuh energi. Sehingga Indonesia membutuhkan diversifikasi energi.

Karena apabila tanpa upaya diversifikasi energi, impor BBM atau impor minyak mentah akan terus terjadi. Saya rasa, apabila tidak dilakukan diversifikasi energi maka impor energi akan terus terjadi. Namun, diversifikasi energi itu tidak akan terjadi jikalau harga BBM-nya murah dan kalau harga BBM murah buat apa mengembangkan geotermal.

Terkait nilai tukar rupiah yang terus melemah, bagaimana BI menyikapi?

Jadi apa yang terjadi sekarang ini, semua mata uang sedang melemah pada dolar AS. Contoh, dolar AS menguat terhadap yen sekitar 15%. Ringgit Malaysia melemah sekitar 6%. Negara kita ini masih defisit, jika kita ingin dorong penguatan dengan cadangan devisa yang besar, maka yang terjadi kurs rupiah tidak kompetitif.

Kalau kurs rupiah tidak kompetitif, yang mana malah membuat ekspor manufaktur juga menjadi tidak kompetitif. Ambil contoh, negara saingan kita, yang sama-sama produksi mebel. Eksportir sana lebih kompetitif karena kurs di sana melemah.

Jadi pada saat kita sedang mengalami defisit, kita perlu kurs yang mendorong ekspor dan menurunkan impor. Sehingga BI tidak bisa membiarkan kurs yang melemah tidak terkendali, sehingga kami selalu ada di pasar untuk memberikan likuiditas dolar.

Kunthi fahmar sandy/Hatim varabi/Yanto kusdiantono
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7636 seconds (0.1#10.140)