Sistem Kurs Tetap

Minggu, 21 Desember 2014 - 13:44 WIB
Sistem Kurs Tetap
Sistem Kurs Tetap
A A A
Setelah sempat mendekati Rp8.400 pada Agustus tahun 2011, dolar Amerika Serikat (AS) sebulan terakhir terus menguat sampai menembus Rp12.500 dan terus melaju menuju Rp13.000.

Di saat pelemahan rupiah seperti ini, kita pun mendambakan kembalinya kurs tetap. Secara garis besar, sistem kurs dapat dibagi menjadi dua ekstrem yaitu tetap dan mengambang atau fleksibel. Di antara dua ekstrem ini ada satu sistem kompromi yaitu mengambang terkendali atau kombinasi antara tetap dan mengambang.

Indonesia pernah menggunakan rejim kurs tetap yaitu hingga September 1986. Mungkin Anda masih ingat kurs USD pernah hanya Rp415 sebelum tahun 1978, Rp625 sekitar tahun 1980-an, menjadi sekitar Rp935 pada tahun 1983, dan Rp1.644 pada devaluasi terakhir September 1986. Setelah 1986, kita menggunakan sistem kurs mengambang terkendali sebelum diganti dengan sistem kurs mengambang bebas pada bulan Agustus 1997.

Keunggulan

Berbeda dengan sistem kurs tetap yang memberikan kepastian, sistem kurs bebas menimbulkan ketidakpastian mengenai rupiah. Ketidakpastian itu pada dasarnya tidak dikehendaki semua pihak karena menyulitkan perencanaan baik skala mikro maupun makro. Itulah sebabnya, banyak negara awalnya menyukai sistem kurs tetap karena keunggulannya dalam menjaga stabilitas harga dan memudahkan proses perencanaan.

Sistem kurs tetap sangat favorit pada tahun 1975 dengan 70% negara di dunia menganutnya. Namun saat ini dari sekitar 184 negara anggota tetap IMF, sebagian besar menerapkan sistem mengambang dan hanya beberapa negara saja yang masih menggunakan sistem kurs tetap.

Menurut Paul Krugman, sebuah negara tidak mungkin menjalankan tiga kebijakan sekaligus yaitu nilai tukar tetap, arus modal bebas, dan kebijakan moneter yang independen. Indonesia dan banyak negara lain sudah memilih kebijakan moneter yang otonom dan arus modal yang bebas. Implikasinya, kita tidak bisa lagi memilih nilai tukar yang tetap.

Sesuai dengan hipotesa Krugman, dalam praktiknya, sistem kurs tetap di banyak negara sudah sangat sulit untuk dapat dipertahankan. Sistem kurs tetap mensyaratkan dilaksanakannya disiplin dalam kebijakan moneter. Jika rupiah dipatok dengan dolar AS pada nilai tertentu dan kurs tetap ini ingin dipertahankan maka inflasi di Indonesia dan di AS tidak boleh ada perbedaan.

Persentase kenaikan harga barang dan jasa secara umum di kedua negara itu harus sama. Jika terjadi perbedaan inflasi, maka kurs tetap yang sudah disepakati menjadi tidak tepat lagi dan keadaan ini akan mengundang spekulan untuk menyerang mata uang yang overvalued dan relatif kurang kuat seperti rupiah.

Agar bisa mencapai inflasi rendah di AS yang rata-rata 2,5% per tahun, otoritas moneter Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan kebijakan moneternya dengan yang di AS sana dan disiplin dalam melaksanakannya. Sebagai ilustrasi, misalkan pemerintah Indonesia memutuskan menganut sistem tetap dengan kurs Rp10.000/USD.

Setahun setelah ditetapkan, ternyata Indonesia mengalami inflasi 8% sedangkan AS 2%. Jika sebelumnya suatu produk Indonesia berharga, misalkan Rp100.000 (USD10), maka tahun depannya naik 8% menjadi Rp108.000 sementara produk Amerika yang tadinya berharga sama yaitu $10 hanya naik 2% menjadi $10,2 atau Rp102.000.

Akibatnya, produk-produk AS atau barang impor terasa lebih murah daripada produk lokal sehingga semakin banyak masyarakat membeli produk luar negeri dan membuat permintaan terhadap dolar AS begitu besar. Jika ini terjadi, rupiah dikatakan sudah overvalued artinya sudah dinilai ketinggian atau dolar AS dalam rupiah sudah terlalu rendah.

Keadaan ini akan mendorong spekulan menyerang rupiah dengan membeli dolar sebanyak-banyaknya dengan rupiah sehingga dampak akhirnya adalah cadangan devisa Indonesia bisa terkuras habis. Spekulan mengharapkan keuntungan dengan prediksi bahwa pemerintah tidak dapat mempertahankan kurs semula dan cenderung melakukan devaluasi, kurang lebih sebesar 6% dalam kasus ini, untuk menyelamatkan cadangan devisanya.

Jika pasar sudah melihat adanya ketidaksesuaian kurs dan bank sentral masih ingin mempertahankan kurs tetap maka siapa pemenangnya tergantung pada kekuatan cadangan devisa yang dimilikinya melawan kekuatan pasar. Dengan globalisasi sistem keuangan dan mobilitas modal internasional yang sangat tinggi saat ini, siapa yang bisa melawan serangan para spekulan sekelas hedge fund internasional dengan dana USD2-3 triliun.

Kelemahan

Melihat ilustrasi di atas, ternyata sistem kurs tetap mempunyai banyak kelemahan. Pertama, sistem kurs tetap memerlukan cadangan devisa yang besar untuk mematahkan serangan para spekulan. Sama seperti sistem mengambang, sistem kurs tetap juga cenderung mendapat serangan para spekulan yaitu mereka yang memperkirakan akan ada devaluasi dalam waktu dekat.

Sistem mengambang tidak memerlukan cadangan devisa yang banyak karena penyesuaian terjadi secara otomatis untuk mencapai keseimbangan baru. Kedua, sistem kurs tetap membuat otoritas moneter suatu negara tidak bisa menyelenggarakan kebijakan moneter yang independen selain kebijakan yang sejalan dan searah dengan negara yang mata uangnya dijadikan patokan.

Ketiga, kalau terjadi penyesuaian kurs yaitu lewat devaluasi, besarnya penyesuaian ini umumnya cukup besar. Penyesuaian yang signifikan ini sudah tentu lebih menyakitkan daripada penyesuaian yang sedikit demi sedikit dalam sistem mengambang. Banyak orang panik setiap kali mendengar (akan) ada devaluasi pada zaman sistem kurs tetap tahun 1980-an lalu. Terakhir, sistem kurs tetap juga meninggalkan pertanyaan, dipatok atau diambangkan dengan satu mata uang tertentu atau sekelompok mata uang dan mata uang apa saja yang dijadikan patokan itu?

Budi frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0603 seconds (0.1#10.140)