Kampanye Sosial Sukses #Illridewithyou
A
A
A
Saya ingat pada tahun 2002, saat tinggal di Australia, saat terjadi peristiwa terorisme 9/11 yaitu runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS).
Saat itu tiba-tiba pembahasan di ruang-ruang publik adalah menyangkut tentang muslim dan terorisme. Rasanya sakit perut setiap kali mengantar sekolah anak-anak di Public School di sana, pembahasan para ibu yang mengantar adalah seputar kebencian mereka terhadap para teroris tersebut dan menghubungkannya dengan atribut keagamaan. Label di baju menjadi bertambah.
Awalnya adalah kulit berwarna dari negara tetangga yang terbelakang. Lalu, ditambah, yang beragama sama dengan agamanya kaum teroris. Dan, pengucilan dari kelompok mayoritas itu semakin terasa meruncing. Teman-teman saya yang wanita, berasal dari Indonesia yang menggunakan hijab lebih lagi merasakan dampaknya secara langsung.
Diberikan pandangan yang menyakitkan, dihindari pada saat duduk di bis, bahkan dimaki, itu adalah yang terjadi di mingguminggu pertama kejadian yang menggemparkan seluruh dunia, runtuhnya gedungWTCditabrak oleh pesawat yang dikendalikan oleh pilot teroris.
Belum habis dampak September 11, muncul lagi peristiwa bom Bali yang menewaskan sangat banyak warga Australia. Ini seperti peribahasa yang menggambarkan situasi “sudah jatuh tertimpa tangga”. Pandangan sinis dan menusuk dimulai kembali kepada para minoritas beragama Islam. Yang paling mudah dideteksi ‘muslim tidaknya’ adalah keberadaan simbol atau elemen muslim berupa baju hijab tersebut.
Sayang sekali saat itu belum ada media sosial. Internet juga masih dalam tahap awal dan belum berkembang dengan baik. Padahal, setelah saya ingat-ingat lagi, tidak semua warga Australia bersikap negatif seperti itu. Tetapi, bagaimana agar penetrasi ‘ide’ tersebut agar bisa sampai ke warga Australia lainnya yang mainstream? Saat itu rasanya tidak mungkin bisa sosialisasikan sebuah ide apabila tanpa campur tangan media-media konvensional berskala besar.
Sydney Siege
Saat ini saya sudah tidak hidup di Australia lagi dan menikmati keseharian sebagai seorang muslim yang mayoritas di negaranya sendiri. Tetapi, saat terjadi tragedi di Sydney di Martin Place belum lama ini yang menimpa warga tidak bersalah yang sedang menikmati kopi paginya di suatu hari yang naas, detak jantung saya langsung berdebar keras.
Kenangan ‘masa- masa’ tidak menyenangkan di Australia yang saya ceritakan di atas membuat pikiran saya jauh menerawang ke teman-teman Indonesia muslim yang merupakan penduduk Sydney. Terbayang apa yang akan menimpa mereka #Aftermath. Tragedi #Sydney-Siege yaitu penyanderaan pengunjung dan staf di Cafe Lindt, Martin Place, Sydney, Australia, oleh seorang yang mengaku muslim adalah sebuah musibah besar untuk kelompok muslim di sana.
Saat itu juga saya langsung membayangkan dampak yang akan terjadi pada warga muslim Australia. History repeats-sejarah berulang. Saya sangka, pendapat mainstream bahwa ‘Semua muslim adalah teroris’ akan terjadi kembali di kota yang indah dan damai bernama Sydney.
Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Kekuatan media sosial terbukti menjadi jawabannya. Jika dulu saya mengenal beberapa teman dan dosen di kampus yang sangat rasional dan tidak mainstream, tetapi tidak bisa sosialisasikan idenya dengan baik, sekarang kehadiran orang-orang seperti mereka di media sosial adalah penyelamatnya.
Saat Rachel Jacobs menuliskan kicauan twitter-nya bagaimana sikapnya untuk melindungi seorang muslim yang ketakutan di sebuah stasiun dengan menemaninya agaria tidak takut menggunakan atribut hijabnya, ini menggugah rasa kemanusiaan banyak orang.
Termasuk salah seorang temannya yang kemudian mengangkat kepedulian ini dengan hashtag: #Illridewithyou . Hashtag #Illridewithyou menduduki trending topic dan mendapat simpati luas dari para warga biasa yang melihat persoalan secara jernih. Salah satu kicauan dengan hashtag yang sama diantaranya: @SarahEduardo21 Heartbreaking. You can not fight hate with hate. It hasn’t worked in the past, it won’t work now or in the future #illridewithyou.
Kampanye Sosial
Yang dipasarkan dalam kasus ini bukan sebuah produk melainkan sebuah pemikiran. Yang disosialisasikan adalah sebuah ide untuk memandang sesuatu secara proporsional. Itu bukan ajakan yang mudah. Ini adalah situasi di mana para mainstream di kota Sydney sedang berada di dalam puncak ketegangan terhadap nasib warga mereka yang dikuasai oleh seseorang yang berlabel ‘muslim’.
Pada umummya kampanye pemasaran sebuah produk mempunyai tujuan yang konkret. Meningkatkan awareness. Meningkatkan pemahaman tentang produk. Menjadikan orang menyukai dan membelinya. Memastikan bahwa yang beli produk akan beli kembali. Semua itu bisa diukur tingkat keberhasilannya.
Yang penting sejak awal mengerti tujuan mana yang disasar. Kampanye Pemasaran Sosial berbeda dengan pemasaran produk. Tingkat keberhasilannya sering dianggap sulit diukur dan tidak konkret. Pemasaran sosial tidak berhubungan dengan penjualan produk. Dengan berlalunya sebuah kampanye, diharapkan target audience-nya akan mengubah sikap (attitude) mengubah perilaku (behaviour ) terhadap sesuatu yang dikampanyekan tersebut.
Memasarkan sebuah kepedulian terhadap ketidakseimbangan, ketidakadilan yang ada di sekitar kita merupakan tugas yang berat. Media sosial sudah menunjukkan kekuatannya sekali lagi. Dalam pisau dua sisi yang dimilikinya, kali ini ia menggunakan pisau tajamnya untuk kebaikan. Bersyukur bahwa #Illridewithyou adalah sebuah bukti nyata sisi positif media tak bertepi ini.
Amalia E Maulana Phd
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
Saat itu tiba-tiba pembahasan di ruang-ruang publik adalah menyangkut tentang muslim dan terorisme. Rasanya sakit perut setiap kali mengantar sekolah anak-anak di Public School di sana, pembahasan para ibu yang mengantar adalah seputar kebencian mereka terhadap para teroris tersebut dan menghubungkannya dengan atribut keagamaan. Label di baju menjadi bertambah.
Awalnya adalah kulit berwarna dari negara tetangga yang terbelakang. Lalu, ditambah, yang beragama sama dengan agamanya kaum teroris. Dan, pengucilan dari kelompok mayoritas itu semakin terasa meruncing. Teman-teman saya yang wanita, berasal dari Indonesia yang menggunakan hijab lebih lagi merasakan dampaknya secara langsung.
Diberikan pandangan yang menyakitkan, dihindari pada saat duduk di bis, bahkan dimaki, itu adalah yang terjadi di mingguminggu pertama kejadian yang menggemparkan seluruh dunia, runtuhnya gedungWTCditabrak oleh pesawat yang dikendalikan oleh pilot teroris.
Belum habis dampak September 11, muncul lagi peristiwa bom Bali yang menewaskan sangat banyak warga Australia. Ini seperti peribahasa yang menggambarkan situasi “sudah jatuh tertimpa tangga”. Pandangan sinis dan menusuk dimulai kembali kepada para minoritas beragama Islam. Yang paling mudah dideteksi ‘muslim tidaknya’ adalah keberadaan simbol atau elemen muslim berupa baju hijab tersebut.
Sayang sekali saat itu belum ada media sosial. Internet juga masih dalam tahap awal dan belum berkembang dengan baik. Padahal, setelah saya ingat-ingat lagi, tidak semua warga Australia bersikap negatif seperti itu. Tetapi, bagaimana agar penetrasi ‘ide’ tersebut agar bisa sampai ke warga Australia lainnya yang mainstream? Saat itu rasanya tidak mungkin bisa sosialisasikan sebuah ide apabila tanpa campur tangan media-media konvensional berskala besar.
Sydney Siege
Saat ini saya sudah tidak hidup di Australia lagi dan menikmati keseharian sebagai seorang muslim yang mayoritas di negaranya sendiri. Tetapi, saat terjadi tragedi di Sydney di Martin Place belum lama ini yang menimpa warga tidak bersalah yang sedang menikmati kopi paginya di suatu hari yang naas, detak jantung saya langsung berdebar keras.
Kenangan ‘masa- masa’ tidak menyenangkan di Australia yang saya ceritakan di atas membuat pikiran saya jauh menerawang ke teman-teman Indonesia muslim yang merupakan penduduk Sydney. Terbayang apa yang akan menimpa mereka #Aftermath. Tragedi #Sydney-Siege yaitu penyanderaan pengunjung dan staf di Cafe Lindt, Martin Place, Sydney, Australia, oleh seorang yang mengaku muslim adalah sebuah musibah besar untuk kelompok muslim di sana.
Saat itu juga saya langsung membayangkan dampak yang akan terjadi pada warga muslim Australia. History repeats-sejarah berulang. Saya sangka, pendapat mainstream bahwa ‘Semua muslim adalah teroris’ akan terjadi kembali di kota yang indah dan damai bernama Sydney.
Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Kekuatan media sosial terbukti menjadi jawabannya. Jika dulu saya mengenal beberapa teman dan dosen di kampus yang sangat rasional dan tidak mainstream, tetapi tidak bisa sosialisasikan idenya dengan baik, sekarang kehadiran orang-orang seperti mereka di media sosial adalah penyelamatnya.
Saat Rachel Jacobs menuliskan kicauan twitter-nya bagaimana sikapnya untuk melindungi seorang muslim yang ketakutan di sebuah stasiun dengan menemaninya agaria tidak takut menggunakan atribut hijabnya, ini menggugah rasa kemanusiaan banyak orang.
Termasuk salah seorang temannya yang kemudian mengangkat kepedulian ini dengan hashtag: #Illridewithyou . Hashtag #Illridewithyou menduduki trending topic dan mendapat simpati luas dari para warga biasa yang melihat persoalan secara jernih. Salah satu kicauan dengan hashtag yang sama diantaranya: @SarahEduardo21 Heartbreaking. You can not fight hate with hate. It hasn’t worked in the past, it won’t work now or in the future #illridewithyou.
Kampanye Sosial
Yang dipasarkan dalam kasus ini bukan sebuah produk melainkan sebuah pemikiran. Yang disosialisasikan adalah sebuah ide untuk memandang sesuatu secara proporsional. Itu bukan ajakan yang mudah. Ini adalah situasi di mana para mainstream di kota Sydney sedang berada di dalam puncak ketegangan terhadap nasib warga mereka yang dikuasai oleh seseorang yang berlabel ‘muslim’.
Pada umummya kampanye pemasaran sebuah produk mempunyai tujuan yang konkret. Meningkatkan awareness. Meningkatkan pemahaman tentang produk. Menjadikan orang menyukai dan membelinya. Memastikan bahwa yang beli produk akan beli kembali. Semua itu bisa diukur tingkat keberhasilannya.
Yang penting sejak awal mengerti tujuan mana yang disasar. Kampanye Pemasaran Sosial berbeda dengan pemasaran produk. Tingkat keberhasilannya sering dianggap sulit diukur dan tidak konkret. Pemasaran sosial tidak berhubungan dengan penjualan produk. Dengan berlalunya sebuah kampanye, diharapkan target audience-nya akan mengubah sikap (attitude) mengubah perilaku (behaviour ) terhadap sesuatu yang dikampanyekan tersebut.
Memasarkan sebuah kepedulian terhadap ketidakseimbangan, ketidakadilan yang ada di sekitar kita merupakan tugas yang berat. Media sosial sudah menunjukkan kekuatannya sekali lagi. Dalam pisau dua sisi yang dimilikinya, kali ini ia menggunakan pisau tajamnya untuk kebaikan. Bersyukur bahwa #Illridewithyou adalah sebuah bukti nyata sisi positif media tak bertepi ini.
Amalia E Maulana Phd
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
(bbg)