Kertas Leces Tunda Pembayaran Utang Rp2 T
A
A
A
JAKARTA - PT Kertas Leces (Persero) mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga atas utang perseroan senilai Rp2 triliun kepada 26 kreditur swasta dan perorangan.
Direktur Utama Kertas Leces Budi Kusmarwoto mengatakan, surat pengajuan permohonan untuk masuk program PKPU sudah dilayangkan kepada Pengadilan Niaga Surabaya 18 Agustus 2014 dan akan memasuki sidang pada 18 Januari 2015. “Pengajuan permohonan PKPU sesuai dengan yang diusulkan pemegang saham dalam rangka restrukturisasi perusahaan,” di Kantor Kementerian BUMN Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, melalui PKPU diharapkan Leces dapat mencari solusi penyelesaian utang dalam penyelamatan perusahaan yang tertuang dalam rencana bisnis. Perusahaan yang mulai beroperasi pada tahun 1940 itu mengalami kerugian sejak 2005 hingga 2013 karena konsentrasi bisnis pada kertas budaya (cetak dan tulis) dan kertas industri.
Kerugian terbesar pada 2006 yang mencapai hampir Rp145,28 miliar. Meski pada 2012 korporasi sempat mencatat keuntungan Rp9 miliar setelah revaluasi, Leces kembali rugi sekitar Rp135 miliar. Budi menambahkan, dalam rencana bisnis tersebut setidaknya ada tiga aspek yang harus menjadi fokus yaitu restrukturisasi keuangan, budaya perusahaan, dan pengembangan bisnis yang agresif.
“Perusahaan secara masif akan masuk ke bisnis kertas bernilai tinggi, kertas surat berharga berbasis nonkayu, untuk mengurangi ketergantungan pada produk konvensional, seperti kertas budaya dan kertas industri,” ujarnya. Menurut Budi, Kertas Leces akan memilih produk yang memberikan keuntungan tinggi seperti diversifikasi produk ke pulp rice straw yang berbahan baku jerami. Harganya mencapai USD2.000 (Rp24 juta) per ton.
Produk itu sangat menguntungkan dibandingkan kertas dari bahan baku kayu yang nilainya USD650 (Rp1,3 juta) per ton. Perseroan juga memanfaatkan abaca yang nilai penjualannya mencapai USD4.000 (Rp48 juta) per ton. “Abaca ini menghasilkan kertas teh, trafo juga, itu kan ada kumparan, untuk kertas uang, filter oli di mobil atau motor, dashboard mobil, untuk bank notes juga,” paparnya.
Sementara, Direktur Produksi Kertas Leces Syarif Hidayat menambahkan, pengembangan abaca sebagai langkah pengamanan bahan baku akan dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia yang tingkat curah hujan tinggi seperti Kalimantan Utara, Kepulauan Talaud, dan Nangroe Aceh Darussalam.
“Dengan pengembangan abaca, maka pemerintah dapat menghemat devisa sekitar Rp1 triliun per tahun dari substitusi impor kertas uang yang mencapai sekitar Rp800 miliar per tahun dan impor kertas teabag, kertas filter, insulating sekitar Rp200 miliar,” ungkapnya.
Dalam rangka restrukturisasi usaha tersebut, perseroan setidaknya membutuhkan modal kerja sekitar Rp333 miliar, yang diperoleh dari investor. Jika bisnis perseroan berjalan sesuai dengan perencanaan maka pada tahun 2020 Leces diperkirakan membukukan pendapatan Rp1,7 triliun dengan laba bersih sekitar Rp500 miliar.
Pendapatan tahun 2020 tersebut bersumber dari usaha pulp/rice straw sekitar Rp709,2 miliar, kertas industri Rp196,8 miliar, kertas budaya Rp242,4 miliar, kertas berharga Rp250,9 miliar, kertas tea/coffe bag Rp255 miliar, dan insulating Rp90 miliar.
Heru febrianto/Ant
Direktur Utama Kertas Leces Budi Kusmarwoto mengatakan, surat pengajuan permohonan untuk masuk program PKPU sudah dilayangkan kepada Pengadilan Niaga Surabaya 18 Agustus 2014 dan akan memasuki sidang pada 18 Januari 2015. “Pengajuan permohonan PKPU sesuai dengan yang diusulkan pemegang saham dalam rangka restrukturisasi perusahaan,” di Kantor Kementerian BUMN Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, melalui PKPU diharapkan Leces dapat mencari solusi penyelesaian utang dalam penyelamatan perusahaan yang tertuang dalam rencana bisnis. Perusahaan yang mulai beroperasi pada tahun 1940 itu mengalami kerugian sejak 2005 hingga 2013 karena konsentrasi bisnis pada kertas budaya (cetak dan tulis) dan kertas industri.
Kerugian terbesar pada 2006 yang mencapai hampir Rp145,28 miliar. Meski pada 2012 korporasi sempat mencatat keuntungan Rp9 miliar setelah revaluasi, Leces kembali rugi sekitar Rp135 miliar. Budi menambahkan, dalam rencana bisnis tersebut setidaknya ada tiga aspek yang harus menjadi fokus yaitu restrukturisasi keuangan, budaya perusahaan, dan pengembangan bisnis yang agresif.
“Perusahaan secara masif akan masuk ke bisnis kertas bernilai tinggi, kertas surat berharga berbasis nonkayu, untuk mengurangi ketergantungan pada produk konvensional, seperti kertas budaya dan kertas industri,” ujarnya. Menurut Budi, Kertas Leces akan memilih produk yang memberikan keuntungan tinggi seperti diversifikasi produk ke pulp rice straw yang berbahan baku jerami. Harganya mencapai USD2.000 (Rp24 juta) per ton.
Produk itu sangat menguntungkan dibandingkan kertas dari bahan baku kayu yang nilainya USD650 (Rp1,3 juta) per ton. Perseroan juga memanfaatkan abaca yang nilai penjualannya mencapai USD4.000 (Rp48 juta) per ton. “Abaca ini menghasilkan kertas teh, trafo juga, itu kan ada kumparan, untuk kertas uang, filter oli di mobil atau motor, dashboard mobil, untuk bank notes juga,” paparnya.
Sementara, Direktur Produksi Kertas Leces Syarif Hidayat menambahkan, pengembangan abaca sebagai langkah pengamanan bahan baku akan dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia yang tingkat curah hujan tinggi seperti Kalimantan Utara, Kepulauan Talaud, dan Nangroe Aceh Darussalam.
“Dengan pengembangan abaca, maka pemerintah dapat menghemat devisa sekitar Rp1 triliun per tahun dari substitusi impor kertas uang yang mencapai sekitar Rp800 miliar per tahun dan impor kertas teabag, kertas filter, insulating sekitar Rp200 miliar,” ungkapnya.
Dalam rangka restrukturisasi usaha tersebut, perseroan setidaknya membutuhkan modal kerja sekitar Rp333 miliar, yang diperoleh dari investor. Jika bisnis perseroan berjalan sesuai dengan perencanaan maka pada tahun 2020 Leces diperkirakan membukukan pendapatan Rp1,7 triliun dengan laba bersih sekitar Rp500 miliar.
Pendapatan tahun 2020 tersebut bersumber dari usaha pulp/rice straw sekitar Rp709,2 miliar, kertas industri Rp196,8 miliar, kertas budaya Rp242,4 miliar, kertas berharga Rp250,9 miliar, kertas tea/coffe bag Rp255 miliar, dan insulating Rp90 miliar.
Heru febrianto/Ant
(bbg)