Kembangkan Ikon Madura hingga Mancanegara

Minggu, 04 Januari 2015 - 14:30 WIB
Kembangkan Ikon Madura...
Kembangkan Ikon Madura hingga Mancanegara
A A A
Bahkan bisnis yang sempat mati suri tersebut mampu menciptakan omzet hingga Rp106 juta per bulan. Semua ini berhasil dila-kukan Uswatun Hasanah sejak 2011. Saat itu dia mendengar keluhan perajin batik Madura di daerahnya yang sudah putus asa. Wanita kelahiran Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura, ini pun tergerak turun tangan membantu penjualan saat itu.

Padahal, saat itu profesinya dosen. Namun dia tidak bisa berdiam diri mendengar para perajin batik di Desa Tanjung Bumi mulai sepi order karena kalah bersaing dengan batik-batik impor dan batik lokal lainnya. ”Penjualan yang saya lakukan ternyata terus laris. Lalu saya merekrut dua perajin menjadi karyawan ditambah dua pekerja lepas. Hingga akhirnya saat ini ada enam perajin tetap dan didukung 22 komunitas perajin lepas,” ujar Uswatun saat ditemui beberapa waktu lalu di Desa Macajah, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur (Jatim).

Niat awal untuk menyelamatkan nasib batik Madura dan membantu masyarakat sekitar itu kini menjadi usaha yang sangat menguntungkan. Batik-batik buatan Uswatun dan komunitasnya kini bahkan sudah bisa menembus pasar ekspor ke tiga negara di Asia, yaitu Jepang, Malaysia dan China. Bahkan hingga kini pun penjualan hanya dilakukan dengan bendera usaha kecil dan menengah (UKM) Joko Tole Collection.

Nama itu dia ambil dari pahlawan daerah Madura dengan harapan, usaha batik yang dibangunnya memberi manfaat dan menyelamatkan kehidupan masyarakat. ”Awalnya juga tidak pakai modal. Konsepnya hanya rumah produksi batik tulis, berbentuk UKM karena ternyata rumit mengurus izin usaha. Pokoknya ikon Madura jangan berhenti,” ujarnya.

Dengan bekal ilmu akademisnya sebagai dosen kewirausahaan di Universitas Trunojoyo, Madura, dia terus mengembangkan sayap usaha. Dia mengumpulkan para perajin di daerahnya untuk kembali membatik dengan modal yang dia keluarkan sendiri. Ada dua jenis batik yang diproduksi Joko Tole, batik tulis madura dan batik gentongan yang harganya lebih mahal. Warna batik madura biasanya didominasi oleh kesan warna yang berani seperti merah, kuning, hijau.

Pemilihan warna itu tentu saja bukan tanpa alasan. Warna merah merupakan perlambang keberanian masyarakat Madura untuk membela harga dirinya. Warna hijau melambangkan religi masyarakat. Warna kuning pertanda kesuburan dari padi yang dibutuhkan masyarakat agraris dan biru identik dengan laut yang menjadi kultur masyarakat setempat.

”Khususnya di Jepang, mereka butuh nilai sejarah dan filosofis batik yang kami produksi. Ini yang harus dikembangkan untuk mendorong nilai jual kita,” ujarnya. Keunikan batik madura adalah proses pembuatannya. Batik genthongan merupakan salah satu tradisi membatik di Madura yang terkenal. Istilah genthongan karena proses pewarnaan yang terlebih dulu direndam dalam wadah mirip gentong.

Kain direndam selama dua bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin/malamnya. Proses macam ini, selain untuk membuat warna batik lebih awet, juga memunculkan warna terang dan gelap pada kain batik. Batik genthongan cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Karenanya jangan heran jika batik ini cukup mahal harganya dibandingkan batik biasa. ”Proses membuatnya bisa sampai satu tahun tergantung detail. Warna juga bisa tahan bertahuntahun asalkan tidak menggunakan deterjen atau mesin cuci,” ujarnya. Selain bahan kainnya dipilih yang terbaik, juga pewarnanya menggunakan pewarna alami. Misalnya dari kayu secang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan warna merah.

Atau akar mahoni untuk warna merah bata atau biru dari daun indigo. Namun, ini juga harus dicampur pewarna buatan demi warna yang tahan lama. Pada awalnya, membangun bisnis batik di daerahnya itu tidaklah mudah. Persaingan di pasar batik cukup ketat, karena selain harus bersaing dengan batik tulis asli Madura yang lain, Uswatun harus bersaing dengan produk batik dari daerah lain, bahkan batik impor dari China.

Namun, dengan cara melakukan promosi di mana-mana, batik Joko Tole akhirnya perlahan diterima pasar. Order pun mulai meningkat sedikit demi sedikit. Usahanya makin berkembang ketika pada 2014 Uswatun terpilih sebagai Wirausaha Binaan Bank Indonesia (WUBI). Produk Joko Tole pun semakin dibanjiri pesanan karena BI memberi bantuan dalam hal promosi.

Pada Agustus 2014 BI Jatim memberikan kesempatan bagi UKM-UKM untuk mendapatkan fasilitas berupa seminar, pelatihan, dan mentoring . Tidak itu saja, mereka juga disertakan dalampameran- pameran, baikyang skala regional maupun nasional. Setelah ada permintaan buyer potensial dari Jepang, China, dan Malaysia, dia pun mencoba mengurus perizinan untuk ekspor dan ternyata tidak mudah.

”Banyak yang harus saya lalui. Akhirnya saya berinisiatif memakai bendera orang lain untuk ekspor agar order buyer dari luar bisa terpenuhi. Sementara ini, untuk batik yang dikirim ke luar masih dalam skala kecil, berkisar 60 potong (Jepang), 50 potong (China), dan lebih dari 100 potong (Malaysia),” ujarnya.

Untuk batik tulis biasa, omzet bisa mencapai Rp106 juta sebulan. Namun, Uswatun mengaku sulit menghitung omzet penjualan batik genthongan karena hanya diproduksi berdasarkan pesanan. Proses pembuatan yang lebih lama membuat batik genthongan menjadi lebih eksklusif. Harga jual batik ini berkisar Rp1,7 juta per helai. Adapun batik celup hanya Rp200 ribu per helai.

Hafid fuad
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0768 seconds (0.1#10.140)