Harga BBM Turun, Nelayan Tegal Tetap Resah
A
A
A
TEGAL - Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar tak membuat nelayan di Kota Tegal sumringah. Mereka justru resah karena ada rencana kebijakan larangan pembelian solar subsidi bagi nelayan dengan kapal berukuran di atas 30 gross ton (GT).
Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Eko Susanto mengatakan, penurunan harga solar dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250 per liter tak memberi dampak apa-apa bagi nelayan karena berbarengan dengan adanya rencana pengeluaran Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan tentang pembelian solar subsidi.
Dalam aturan itu, kapal-kapal nelayan di atas 30 GT tidak boleh lagi membeli solar subsidi, namun harus membeli solar dengan harga industri. "Kalau aturan itu dipaksakan akan terjadi pengangguran besar-besaran karena kapal-kapal nelayan banyak yang kolaps," kata Eko kepada Sindonews Minggu (04/01/2014).
Menurut Eko, dampak peraturan tersebut akan sangat dirasakan karena keberadaan kapal-kapal dengan ukuran di atas 30 GT di Kota Tegal tidak bisa disamakan dengan kapal-kapal ukuran serupa di daerah lain. Sebab penghasilan yang didapatkan bergantung pada hasil penjualan ikan di tempat lelang. "Walaupun ukurannya di atas 30 GT, jangan samakan dengan kapal industri. Kalau mereka bisa menjual dan menghargai sendiri ikannya, kalau kami tidak. Harga diserahkan ke bakul," tutur Eko.
Eko mengungkapkan, sekali melalut yang membutuhkan waktu 2-3 bulan, kapal-kapal ukuran di atas 30 GT biasanya membutuhkan biaya untuk perbekalan sebesar Rp 100-Rp 120 juta dengan biaya paling banyak untuk membeli BBM. Sedangkan penghasilan kotor yang didapat dari lelang ikan maksimal Rp 300 juta. "Setelah dikurangi untuk perbekalan, hasil penjualan ikan dibagi dua dengan ABK (anak buah kapal)," ujarnya.
Jika harus membeli solar industri dengan harga Rp 10.000 per liter, lanjut Eko, maka biaya operasional untuk melaut dipastikan akan membengkak hingga 100 persen. Peningkatan ini tak sebanding dengan penghasilan yang didapat. "Saat ini saja biaya operasional sudah naik 40 persen lebih. Makanya bagi saya sendiri, kalau nanti harus membeli solar industri ya tidak akan kuat," tandasnya.
Eko melanjutkan, meski permen larangan tersebut belum keluar, sejak 1 Januari lalu puluhan kapal di atas 30 GT sudah tidak boleh membeli solar subsidi di SPBB. Pihak SPBB beralasan larangan tersebut merupakan instruksi langsung dari Pertamina melalui telepon. "Kalau tidak boleh dan tidak dilayani lalu kami harus membeli di mana," ujarnya.
Jumlah kapal ukuran di atas 30 GT di Kota Tegal saat ini mencapai 180 kapal. Tiap kapal rata-rata mempunyai ABK sebanyak 40 orang. Para ABK tersebut terancam menganggur jika banyak kapal yang tak beroperasi. "Seharusnya kebijakan pelarangan itu tak digebyah-uyah (disamaratakan). Kapal 30 GT di Kota Tegal berbeda dengan kapal di luar Jawa. Pemerintah turunlah ke lapangan, lihat kondisinya," ucapnya.
Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Eko Susanto mengatakan, penurunan harga solar dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250 per liter tak memberi dampak apa-apa bagi nelayan karena berbarengan dengan adanya rencana pengeluaran Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan tentang pembelian solar subsidi.
Dalam aturan itu, kapal-kapal nelayan di atas 30 GT tidak boleh lagi membeli solar subsidi, namun harus membeli solar dengan harga industri. "Kalau aturan itu dipaksakan akan terjadi pengangguran besar-besaran karena kapal-kapal nelayan banyak yang kolaps," kata Eko kepada Sindonews Minggu (04/01/2014).
Menurut Eko, dampak peraturan tersebut akan sangat dirasakan karena keberadaan kapal-kapal dengan ukuran di atas 30 GT di Kota Tegal tidak bisa disamakan dengan kapal-kapal ukuran serupa di daerah lain. Sebab penghasilan yang didapatkan bergantung pada hasil penjualan ikan di tempat lelang. "Walaupun ukurannya di atas 30 GT, jangan samakan dengan kapal industri. Kalau mereka bisa menjual dan menghargai sendiri ikannya, kalau kami tidak. Harga diserahkan ke bakul," tutur Eko.
Eko mengungkapkan, sekali melalut yang membutuhkan waktu 2-3 bulan, kapal-kapal ukuran di atas 30 GT biasanya membutuhkan biaya untuk perbekalan sebesar Rp 100-Rp 120 juta dengan biaya paling banyak untuk membeli BBM. Sedangkan penghasilan kotor yang didapat dari lelang ikan maksimal Rp 300 juta. "Setelah dikurangi untuk perbekalan, hasil penjualan ikan dibagi dua dengan ABK (anak buah kapal)," ujarnya.
Jika harus membeli solar industri dengan harga Rp 10.000 per liter, lanjut Eko, maka biaya operasional untuk melaut dipastikan akan membengkak hingga 100 persen. Peningkatan ini tak sebanding dengan penghasilan yang didapat. "Saat ini saja biaya operasional sudah naik 40 persen lebih. Makanya bagi saya sendiri, kalau nanti harus membeli solar industri ya tidak akan kuat," tandasnya.
Eko melanjutkan, meski permen larangan tersebut belum keluar, sejak 1 Januari lalu puluhan kapal di atas 30 GT sudah tidak boleh membeli solar subsidi di SPBB. Pihak SPBB beralasan larangan tersebut merupakan instruksi langsung dari Pertamina melalui telepon. "Kalau tidak boleh dan tidak dilayani lalu kami harus membeli di mana," ujarnya.
Jumlah kapal ukuran di atas 30 GT di Kota Tegal saat ini mencapai 180 kapal. Tiap kapal rata-rata mempunyai ABK sebanyak 40 orang. Para ABK tersebut terancam menganggur jika banyak kapal yang tak beroperasi. "Seharusnya kebijakan pelarangan itu tak digebyah-uyah (disamaratakan). Kapal 30 GT di Kota Tegal berbeda dengan kapal di luar Jawa. Pemerintah turunlah ke lapangan, lihat kondisinya," ucapnya.
(dol)