Faktor Eksternal Dorong Pelemahan Rupiah
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia kemarin, rupiah berada di level Rp12.732 per dolar AS, melemah dibandingkan hari Selasa (6/1) yang berada pada level Rp12.658 per dolar AS.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan, melemahnya kembali mata uang rupiah disebabkan faktor eksternal. Penurunan harga minyak yang terlalu tajam dan kondisi politik di Eropa dinilai menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
“Karena pengaruh eksternal dari kejadian di Eropa dan menurunnya harga minyak yang tendensinya terlalu tajam. Itu mungkin yang menciptakan ketidakpastian di ekonomi global,” ujarnya di Jakarta kemarin. Seperti diketahui, di Eropa, Yunani terancam didepak dari Uni Eropa karena krisis politik menjelang pemilu parlemen di negeri yang tengah diterpa krisis ekonomi tersebut.
Selain itu, ekspektasi bahwa kebijakan stimulus Bank Sentral Eropa dilanjutkan untuk mengatasi inflasi membuat nilai tukar Benua Biru terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi premium serta pemberlakuan subsidi tetap untuk solar yang diapresiasi, kebijakan tersebut tidak dapat membendung sentimen negatif dari perkembangan ekonomi global.
Bambang memperkirakan, tahun ini kisaran rupiah akan lebih mendekati Rp12.200 daripada Rp12.000 per dolar AS. Oleh karena itu, pemerintah sementara ini masih akan tetap mengajukan asumsi nilai tukar rupiah di level Rp12.200 per dolar AS. Sementara, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, bank sentral akan selalu ada di pasar untuk menjaga pergerakan nilai tukar rupiah.
Meski tidak bisa menargetkan satu level, BI ingin menjaga volatilitas di batas yang sehat. “Kita selalu jaga agar tetap di batas sehat dan saya ingin secara umum Indonesia dalam keadaan baik. Perkembangan AS yang menguat perlu kita waspadai jaga fundamental, jaga utang luar negeri dan pengelolaan kegiatan harus berhati-hati,” tandasnya. Ekonom senior Standard Charter Fauzi Ichsan mengatakan, nilai tukar rupiah pada semester pertama tahun ini diprediksi masih fluktuatif.
Pada semester kedua diharapkan akan kembali menguat diiringi dengan menciutnya defisit neraca berjalan. “Semester pertama masih ada kekhawatiran mengenai harga minyak internasional, di semester kedua baru ada kepastian dan tentunya defisit neraca berjalan yang menciut,” ujar Fauzi di Jakarta kemarin.
Dia memperkirakan, defisit neraca transaksi berjalan di tahun 2014 sekitar USD25 miliar dan pada tahun 2015 sekitar USD20 miliar. Menurutnya, pada semester II tahun ini atau diakhir tahun 2015 nanti rupiah bisa bergerakpadalevelRp11.900per USD. “Ada beberapa hal rupiah melemah, seperti karena memang defisit neraca berjalan yang besar serta prospek kenaikan fed funds rate,” ujar dia.
Senada, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Samual mengatakan, rupiah kembali terdepresiasi karena banyak sentimen negatif, mulai dari di Eropa menjelang pemilu Yunani pada akhir bulan ini serta ada wacana kemungkinan Yunani keluar dari euro. “Nah, ini menyebabkan wacana ini menimbulkan sentimen negatif ke euro dan euronya melemah,” kata David saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup menguat sebesar 38,05 poin atau 0,74% ke posisi 5.207,12. Sementara, indeks 45 saham unggulan (LQ45) naik sebesar 9,30 poin atau 1,05% ke posisi 897,50.
“IHSG BEI menguat didorong aksi spekulan atau investor yang berorientasi jangka pendek, situasi itu terlihat dari kenaikannya yang masih terbatas,” ujar Director of Investment PT Valbury Asia Asset Management Andreas Yasakasih kemarin. Dia mengemukakan bahwa penguatan IHSG BEI yang terbatas itu karena belum didukung oleh data ekonomi domestik yang positif. Data yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada awal Januari 2015 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih melambat.
“Ekspektasi ekonomi Indonesia juga belum cukup positif. Inflasi Januari 2015 diperkirakan masih tinggi,” katanya.
Ria martati/ Kunthi fahmar sandy / ant
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan, melemahnya kembali mata uang rupiah disebabkan faktor eksternal. Penurunan harga minyak yang terlalu tajam dan kondisi politik di Eropa dinilai menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
“Karena pengaruh eksternal dari kejadian di Eropa dan menurunnya harga minyak yang tendensinya terlalu tajam. Itu mungkin yang menciptakan ketidakpastian di ekonomi global,” ujarnya di Jakarta kemarin. Seperti diketahui, di Eropa, Yunani terancam didepak dari Uni Eropa karena krisis politik menjelang pemilu parlemen di negeri yang tengah diterpa krisis ekonomi tersebut.
Selain itu, ekspektasi bahwa kebijakan stimulus Bank Sentral Eropa dilanjutkan untuk mengatasi inflasi membuat nilai tukar Benua Biru terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi premium serta pemberlakuan subsidi tetap untuk solar yang diapresiasi, kebijakan tersebut tidak dapat membendung sentimen negatif dari perkembangan ekonomi global.
Bambang memperkirakan, tahun ini kisaran rupiah akan lebih mendekati Rp12.200 daripada Rp12.000 per dolar AS. Oleh karena itu, pemerintah sementara ini masih akan tetap mengajukan asumsi nilai tukar rupiah di level Rp12.200 per dolar AS. Sementara, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, bank sentral akan selalu ada di pasar untuk menjaga pergerakan nilai tukar rupiah.
Meski tidak bisa menargetkan satu level, BI ingin menjaga volatilitas di batas yang sehat. “Kita selalu jaga agar tetap di batas sehat dan saya ingin secara umum Indonesia dalam keadaan baik. Perkembangan AS yang menguat perlu kita waspadai jaga fundamental, jaga utang luar negeri dan pengelolaan kegiatan harus berhati-hati,” tandasnya. Ekonom senior Standard Charter Fauzi Ichsan mengatakan, nilai tukar rupiah pada semester pertama tahun ini diprediksi masih fluktuatif.
Pada semester kedua diharapkan akan kembali menguat diiringi dengan menciutnya defisit neraca berjalan. “Semester pertama masih ada kekhawatiran mengenai harga minyak internasional, di semester kedua baru ada kepastian dan tentunya defisit neraca berjalan yang menciut,” ujar Fauzi di Jakarta kemarin.
Dia memperkirakan, defisit neraca transaksi berjalan di tahun 2014 sekitar USD25 miliar dan pada tahun 2015 sekitar USD20 miliar. Menurutnya, pada semester II tahun ini atau diakhir tahun 2015 nanti rupiah bisa bergerakpadalevelRp11.900per USD. “Ada beberapa hal rupiah melemah, seperti karena memang defisit neraca berjalan yang besar serta prospek kenaikan fed funds rate,” ujar dia.
Senada, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Samual mengatakan, rupiah kembali terdepresiasi karena banyak sentimen negatif, mulai dari di Eropa menjelang pemilu Yunani pada akhir bulan ini serta ada wacana kemungkinan Yunani keluar dari euro. “Nah, ini menyebabkan wacana ini menimbulkan sentimen negatif ke euro dan euronya melemah,” kata David saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup menguat sebesar 38,05 poin atau 0,74% ke posisi 5.207,12. Sementara, indeks 45 saham unggulan (LQ45) naik sebesar 9,30 poin atau 1,05% ke posisi 897,50.
“IHSG BEI menguat didorong aksi spekulan atau investor yang berorientasi jangka pendek, situasi itu terlihat dari kenaikannya yang masih terbatas,” ujar Director of Investment PT Valbury Asia Asset Management Andreas Yasakasih kemarin. Dia mengemukakan bahwa penguatan IHSG BEI yang terbatas itu karena belum didukung oleh data ekonomi domestik yang positif. Data yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada awal Januari 2015 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih melambat.
“Ekspektasi ekonomi Indonesia juga belum cukup positif. Inflasi Januari 2015 diperkirakan masih tinggi,” katanya.
Ria martati/ Kunthi fahmar sandy / ant
(ars)