Pemberlakuan SVLK, Era Baru Produk Kehutanan RI

Senin, 12 Januari 2015 - 10:15 WIB
Pemberlakuan SVLK, Era...
Pemberlakuan SVLK, Era Baru Produk Kehutanan RI
A A A
Sejak akhir 1990 hingga awal 2000an, pengusaha produk perkayuan Indonesia sulit memasarkan produknya. Jika ada pasar yang mau menerimanya, mereka hanya mau membelinya dengan harga rendah karena predikat illegal logging.

Lebih parah lagi, para pembeli produk kayu sebagai konsumen memaksakan menyewa tim audit untuk melakukan audit kepada para pelaku industri perkayuan Indonesia dengan standard sesuka mereka sendiri! Ini jelas merupakan penghinaan besar bagi Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Industri perkayuan dan kehutanan diacak-acak melalui mekanisme yang mereka sebut dengan istilah “scooping “.

Gratis? Tentu saja tidak! Biaya scooping dibebankan kepada eksportir Indonesia sebesar USD3/m3. Pelaku usaha kehutanan Indonesia yang sejak semula merupakan pengusaha yang tertib terpaksa berguguran satu per satu karena kalah bersaing dengan pengusaha yang “nakal”. Kondisi pahit yang terjadi di Indonesia tersebut memuncak pada masa-masa euforia reformasi.

Bahkan Pertemuan menteri- menteri yang membidangi masalah Kehutanan Asia Timur di Bali, September 2001 yang menghasilkan Deklarasi Bali tentang Penegakan Hukum dan Tata Kelola Kehutanan (Forest Law Enforcement and Governance -FLEG) yang mengajak negara-negara konsumen bersama negara-negara produsen kayu memerangi pembalakan liar atau illegal logging tidak cukup memberikan dampak positif bagi penanggulangan pembalakan liar di Indonesia.

Bahkan di 2002 muncul serangan balik dari sebuah LSM internasional yang membeberkan hasil risetnya bahwa 80% produk perkayuan Indonesia berasal dari illegal logging . Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Bambang Hendroyo mengatakan pendekatan perbaikan tata kelola kehutanan dalam rangka pemberantasan pembalakan liar dilaksanakan melalui pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan verifikasi legalitas kayu.

Aturan wajib sertifikasi bagi pengusaha kehutanan maupun pelaku industri perkayuan ini yang semula dimaksudkan semata untuk memperbaiki tata kelola kehutanan belakangan juga digencarkan dalam rangka memperbaiki reputasi produk perkayuan Indonesia di pasar kayu dunia.

Mimpi buruk tersebut di atas akan segera berakhir. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/2012 yang diperbarui dengan Peraturan No 81/2013 mengatur bahwa ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh industri/eksportir yang memegang sertifikat legalitas kayu.

Sedangkan, skema sertifikasi wajib yang diterapkan diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan diberlakukan sejak akhir 2009 yang dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Peraturan Menteri LHK tersebut pada dasarnya mewajibkan agar semua industri yang mengolah kayu dapat membuktikan legalitasnya melalui audit oleh pihak ketiga independen, sedang sumber (bahan baku)-nya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari atau setidak-tidaknya dapat dibuktikan legalitasnya melalui audit yang juga dilaksanakan oleh pihak ketiga independen.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/2012 pertama kali mulai berlaku sejak 1 Januari 2013 bagi sebagian besar produk industri berbahan baku kayu seperti plywood , kayu gergajian, wood-working, flooring , pintu, rumah prefabrikasi, pulp dan kertas. Mulai 1 Januari 2015, peraturan dimaksud akan diberlakukan secara menyeluruh bagi seluruh produk perkayuan termasuk mebel kayu.

“Ini merupakan era baru produk industri kehutanan Indonesia, era di mana produk perkayuan Indonesia akan berlabel legal dan bahkan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dengan penerapan sertifikasi yang kredibel yang hanya selangkah lagi menuju sertifikat ecolabel,” ujar Bambang.

Sudarsono
Jakarta
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7979 seconds (0.1#10.140)