Industri Reksa Dana Diperkirakan Tumbuh 14%
A
A
A
JAKARTA - Industri reksa dana di Tanah Air tahun ini diprediksi tumbuh 14% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini didorong oleh kondisi ekonomi domestik yang dinilai masih mendukung.
Presiden Direktur PT Bahana TCW Invesment Management Edward Lubis mengatakan, pertumbuhan industri reksa dana masih bisa tumbuh dua digit namun di bawah angka 15%. “Saya lihat isu dari dalam negeri sendiri bagus,” ujar Edward di Jakarta kemarin. Kendati demikian, industri reksa dana tahun ini diperkirakan bakal dibayangi aksi redemption (penjualan) karena banyak investor lebih suka mencari imbal hasil yang lebih besar dan cenderung mengabaikan yield yang kecil.
Bahana TCW sendiri sepanjang tahun lalu berhasil mengelola dana kelolaan sebesar Rp27 triliun atau naik 30% dibanding tahun sebelumnya. Angka tersebut lebih tinggi dibanding target sebelumnya yang mematok target dana kelolaan hanya Rp25 triliun. Sedangkan untuk tahun ini Bahana menargetkan dana kelolaan sebesar Rp30 triliun.
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, dana kelolaan reksa dana hingga pekan ketiga Desember 2014 menyentuh angka Rp266,22 triliun. Jumlah ini naik 21,49% ketimbang posisi awal tahun atau year to date (ytd) senilai Rp 219,12 triliun. Menurut OJK, pertumbuhan dana kelolaan reksa dana ditopang meningkatnya kepercayaan investor terhadap industri reksa dana.
Hal ini tecermin dari kenaikan jumlah unit penyertaan sebesar 18,7% (year to date) menjadi 143,20 miliar unit pada 24 Desember 2014. Analis PT Bahana TCW Invesment Management Sidharta Suryametta mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya redemption dengan proporsi besar dan berdampak negatif pada kinerja nilai aktiva bersih (NAB).
Di antaranya, aset yang tidak likuid dan nilai absolut redemption yang relatif besar. Sidharta menyarankan, guna menghindari kerugian, investor jangan silau dengan kinerja reksa dana yang cemerlang sehingga melupakan risiko likuiditas yang berpotensi timbul.” Saran saya, investor konservatif agar tetap mengoleksi reksa dana dengan dana kelolaan (AUM) yang besar,” ujar dia.
Namun, investor yang lebih agresif dan sering mencermati perkembangan portofolio reksa dananya, lebih baik memiliki reksa dana ber-AUM kecil. Karena, tipe investor seperti ini cenderung akan lebih puas karena membidik potensi keuntungan yang lebih menarik. Pada kesempatan yang sama Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini sedang dalam tahap stabilisasi menuju pertumbuhan.
Salah satunya bisa terlihat dari rencana pemerintah yang akan mempercepat realisasi proyek infrastruktur. “Kinerja pemerintahan pada tahun pertama saat ini akan menjadi acuan. Jika sesuai ekspektasi, akan mengantarkan Indonesia ke peruntungan yang berkelanjutan,” ujar di Jakarta.
Dengan begitu, akan terbuka peluang lembaga pemeringkat internasional mengganjar Indonesia dengan status “investment grade“. “Dengan kestabilan makroekonomi dan ekspektasi positif akan menopang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI),” katanya.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan utama untuk merealisasikan proyek infrastruktur yakni pembebasan lahan, pemberantasan korupsi, dan ekonomi biaya tinggi, serta meningkatkan kemudahan melakukan bisnis bagi investor asing. Seperti pada 2014, ujar Budi, peranan arus modal asing masih akan terus menopang kinerja IHSG pada 2015. Jika arus modal asing pada tahun ini mencapai USD6 miliar, maka terbuka peluang bagi IHSG meningkat hingga 6.140 poin.
Arsy ani s/Ant
Presiden Direktur PT Bahana TCW Invesment Management Edward Lubis mengatakan, pertumbuhan industri reksa dana masih bisa tumbuh dua digit namun di bawah angka 15%. “Saya lihat isu dari dalam negeri sendiri bagus,” ujar Edward di Jakarta kemarin. Kendati demikian, industri reksa dana tahun ini diperkirakan bakal dibayangi aksi redemption (penjualan) karena banyak investor lebih suka mencari imbal hasil yang lebih besar dan cenderung mengabaikan yield yang kecil.
Bahana TCW sendiri sepanjang tahun lalu berhasil mengelola dana kelolaan sebesar Rp27 triliun atau naik 30% dibanding tahun sebelumnya. Angka tersebut lebih tinggi dibanding target sebelumnya yang mematok target dana kelolaan hanya Rp25 triliun. Sedangkan untuk tahun ini Bahana menargetkan dana kelolaan sebesar Rp30 triliun.
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, dana kelolaan reksa dana hingga pekan ketiga Desember 2014 menyentuh angka Rp266,22 triliun. Jumlah ini naik 21,49% ketimbang posisi awal tahun atau year to date (ytd) senilai Rp 219,12 triliun. Menurut OJK, pertumbuhan dana kelolaan reksa dana ditopang meningkatnya kepercayaan investor terhadap industri reksa dana.
Hal ini tecermin dari kenaikan jumlah unit penyertaan sebesar 18,7% (year to date) menjadi 143,20 miliar unit pada 24 Desember 2014. Analis PT Bahana TCW Invesment Management Sidharta Suryametta mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya redemption dengan proporsi besar dan berdampak negatif pada kinerja nilai aktiva bersih (NAB).
Di antaranya, aset yang tidak likuid dan nilai absolut redemption yang relatif besar. Sidharta menyarankan, guna menghindari kerugian, investor jangan silau dengan kinerja reksa dana yang cemerlang sehingga melupakan risiko likuiditas yang berpotensi timbul.” Saran saya, investor konservatif agar tetap mengoleksi reksa dana dengan dana kelolaan (AUM) yang besar,” ujar dia.
Namun, investor yang lebih agresif dan sering mencermati perkembangan portofolio reksa dananya, lebih baik memiliki reksa dana ber-AUM kecil. Karena, tipe investor seperti ini cenderung akan lebih puas karena membidik potensi keuntungan yang lebih menarik. Pada kesempatan yang sama Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini sedang dalam tahap stabilisasi menuju pertumbuhan.
Salah satunya bisa terlihat dari rencana pemerintah yang akan mempercepat realisasi proyek infrastruktur. “Kinerja pemerintahan pada tahun pertama saat ini akan menjadi acuan. Jika sesuai ekspektasi, akan mengantarkan Indonesia ke peruntungan yang berkelanjutan,” ujar di Jakarta.
Dengan begitu, akan terbuka peluang lembaga pemeringkat internasional mengganjar Indonesia dengan status “investment grade“. “Dengan kestabilan makroekonomi dan ekspektasi positif akan menopang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI),” katanya.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan utama untuk merealisasikan proyek infrastruktur yakni pembebasan lahan, pemberantasan korupsi, dan ekonomi biaya tinggi, serta meningkatkan kemudahan melakukan bisnis bagi investor asing. Seperti pada 2014, ujar Budi, peranan arus modal asing masih akan terus menopang kinerja IHSG pada 2015. Jika arus modal asing pada tahun ini mencapai USD6 miliar, maka terbuka peluang bagi IHSG meningkat hingga 6.140 poin.
Arsy ani s/Ant
(bbg)