Utang Luar Negeri Capai USD294,4 Miliar
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada November 2014 mencapai USD294,4 miliar atau tumbuh 11,8% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, kontribusi terbesar ULN Indonesia berasal dari sektor swasta sebesar USD160,5 miliar atau sekitar 54,5% dari total ULN. Sementara, ULN sektor publik sebesar USD133,9 miliar atau 45,5% dari total ULN. “Meski secara tahunan mengalami akselerasi pertumbuhan, posisi ULN November 2014 turun 0,2% jika dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya karena turunnya posisi ULN swasta,” kata Tirta di Jakarta kemarin.
Menurut dia, perkembangan ULN pada November 2014 dipengaruhi oleh pertumbuhan ULN sektor publik yang meningkat di saat pertumbuhan ULN sektor swasta melambat. Menurut BI, perkembangan ULN masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian. BI pun akan tetap memantau perkembangan ULN, khususnya ULN swasta.
“Hal ini dimaksudkan agar ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi,” tutup dia. Berdasarkan data BI, ULN sektor publik tumbuh 8,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 5,9% (yoy). Hal ini terutama dipengaruhi peningkatan kepemilikan surat utang pemerintah oleh asing. Sementara, ULN sektor publik terutama dalam bentuk surat utang (54,3% dari total ULN sektor publik) yang tercatat tumbuh 27,7% (yoy).
Di sisi lain ULN sektor swasta tumbuh 14,7% (yoy), lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 15,4% (yoy). Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pembiayaan yang bersumber dari utang harus digunakan untuk pembiayaan sektor produktif. Menurutnya, utang luar negeri tidak bisa dihindari karena pembiayaannya lebih murah dibanding mendapatkan utang dari dalam negeri.
“Untuk utang dalam bentuk valas, orientasi usahanya harus ekspor sehingga ini yang nanti akan meminimalkan risiko terhadap makroekonomi kita terutama fluktuasi nilai tukar,” ujar Enny kepada KORAN SINDO kemarin. Dia menambahkan, untuk memperbaiki kualitas pembiayaan, yang harus diperhatikan adalah menaikkan posisi tawar. Artinya, jangan sampai hanya karena biayanya murah tetapi banyak prasyarat yang dibebankan dari kreditur.
Kunthi fahmar sandy
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, kontribusi terbesar ULN Indonesia berasal dari sektor swasta sebesar USD160,5 miliar atau sekitar 54,5% dari total ULN. Sementara, ULN sektor publik sebesar USD133,9 miliar atau 45,5% dari total ULN. “Meski secara tahunan mengalami akselerasi pertumbuhan, posisi ULN November 2014 turun 0,2% jika dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya karena turunnya posisi ULN swasta,” kata Tirta di Jakarta kemarin.
Menurut dia, perkembangan ULN pada November 2014 dipengaruhi oleh pertumbuhan ULN sektor publik yang meningkat di saat pertumbuhan ULN sektor swasta melambat. Menurut BI, perkembangan ULN masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian. BI pun akan tetap memantau perkembangan ULN, khususnya ULN swasta.
“Hal ini dimaksudkan agar ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi,” tutup dia. Berdasarkan data BI, ULN sektor publik tumbuh 8,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 5,9% (yoy). Hal ini terutama dipengaruhi peningkatan kepemilikan surat utang pemerintah oleh asing. Sementara, ULN sektor publik terutama dalam bentuk surat utang (54,3% dari total ULN sektor publik) yang tercatat tumbuh 27,7% (yoy).
Di sisi lain ULN sektor swasta tumbuh 14,7% (yoy), lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 15,4% (yoy). Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pembiayaan yang bersumber dari utang harus digunakan untuk pembiayaan sektor produktif. Menurutnya, utang luar negeri tidak bisa dihindari karena pembiayaannya lebih murah dibanding mendapatkan utang dari dalam negeri.
“Untuk utang dalam bentuk valas, orientasi usahanya harus ekspor sehingga ini yang nanti akan meminimalkan risiko terhadap makroekonomi kita terutama fluktuasi nilai tukar,” ujar Enny kepada KORAN SINDO kemarin. Dia menambahkan, untuk memperbaiki kualitas pembiayaan, yang harus diperhatikan adalah menaikkan posisi tawar. Artinya, jangan sampai hanya karena biayanya murah tetapi banyak prasyarat yang dibebankan dari kreditur.
Kunthi fahmar sandy
(bbg)