Internasionalisasi Yuan Meningkat

Minggu, 25 Januari 2015 - 12:33 WIB
Internasionalisasi Yuan...
Internasionalisasi Yuan Meningkat
A A A
SHANGHAI - Penggunaan mata uang yuan untuk transaksi lintas negara meningkat pesat mencapai USD1,63 triliun pada 2014. Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBoC) merilis data tersebut kemarin tanpa memberikan data pembanding.

China berupaya menjadikan yuan atau renminbi (RMB) digunakan secara internasional sesuai posisinya sebagai negara ekonomi terbesar kedua dunia. Beberapa analis memprediksi, yuan akan menjadi pesaing dolar Amerika Serikat (AS) di masa depan. “Volume yuan untuk perdagangan lintas negara, investasi, dan keuangan mencapai sekitar 20% dari total pembayaran dan penerimaan lintas negara oleh China,” ungkap PBoC, dikutip kantor berita AFP.

Meskipun China berupaya mempromosikan yuan, nilainya sangat dikontrol dan otoritas menjaga ketat jumlah kapital, baik dalam investasi atau transaksi keuangan. Pemerintah China tidak membiarkan nilai yuan ditentukan oleh pasar karena khawatir dengan ketidakpastian yang dapat mengganggu perekonomian.

Kantor berita resmi China, Xinhua, menyatakan bahwa internasionalisasi yuan akan menguntungkan semua pihak. “Penggunaan RMB secara internasional masih pada tahap awal, tapi dalam jangka panjang akan membantu keragaman dan memperbaiki sistem devisa global yang saat ini dikuasai oleh dolar AS yang labil,” papar pernyataan dalam komentar yang dirilis Xinhua.

Kementerian Perdagangan China pekan ini menyatakan, pihaknya hanya akan mengeluarkan data investasi asing ke dalam dan ke luar dalam yuan, mengurangi peran dolar. Juru bicara Kementerian Perdagangan China Shen Danyang menyatakan, tidak ada negara besar seperti AS, yang akan mengumumkan data itu dalam mata uang negara lain.

Dia menambahkan, ini juga bagian dari upaya meningkatkan peran internasional yuan. Awal bulan ini Badan Bea Cukai China hanya mengeluarkan nilai perdagangan dalam yuan dalam penjelasan data per kuartal. Nilai dalam dolar hanya diperoleh kemudian di website lembaga itu. Organisasi transaksi, SWIFT, memperkirakan, yuan merupakan mata uang ketujuh yang paling banyak digunakan secara global untuk pembayaran, meski hanya memiliki pangsa pasar 1,59% pada Oktober 2014.

“Kita telah melihat peningkatan pesat penggunaan RMB untuk pembayaran di China dan Hong Kong. Sebagian besar pertumbuhan ini baru pada pengguna baru. Ini sinyal bagus untuk internasionalisasi RMB,” papar Astrid Thorsen, kepala intelijen bisnis di SWIFT, dalam pernyataan November lalu. China telah menyepakati penggunaan yuan dengan 10 negara dan kawasan, serta menandatangani kesepakatan dengan 28 bank sentral.

Dalam kesepakatan terbaru, Bank Sentral Swiss menyatakan telah menandatangani pakta dengan PBoC untuk perdagangan yuan. Swiss National Bank menyatakan, kesepakatan akan memfasilitasi perdagangan dan investasi bilateral. Sementara, ekonomi China tumbuh di level terlemah dalam 24 tahun pada 2014, saat harga properti turun dan perusahaan- perusahaan serta pemerintah lokal menghadapi beban utang yang besar.

Kondisi ini menekan Beijing untuk mengambil langkah agresif menghindari penurunan tajam dalam perekonomian. Bagi para investor yang khawatir tentang pertumbuhan di China dan dunia tahun ini, data tersebut melahirkan dua pertanyaan. Pertama, apakah melemahnya perekonomian akan memaksa bank sentral mengucurkan ratusan miliar dolar dalam sistem perbankan untuk mendorong pertumbuhan?

Kedua, jika hal itu dilakukan, apakah itu berarti bagi upaya China mereformasi perekonomiannya? “Ekonomi China tumbuh 7,4% pada 2014,” ungkap data resmi Pemerintah China, dikutip kantor berita Reuters. Data itu meleset dari target 7,5% dan masih yang terendah sejak 1990, saat mendapat sanksi terkait kasus bentrok antara aktivis dan aparat di Lapangan Tiananmen.

Adapun, perekonomian China tumbuh 7,7% pada 2013. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2014 sebesar 7,3% dari tahun sebelumnya, sedikit lebih baik dibandingkan proyeksi. Hanya sedikit pengamat yang memperkirakan China dapat memenuhi target pertumbuhan 7,5%, tapi kinerja itu lebih baik dibandingkan sejumlah kekhawatiran bahwa ekonomi akan merosot tajam.

“Periode pertumbuhan lambat telah berakhir, tapi mari kita mendapatkan lebih dari itu. Akhir pertumbuhan berkecepatan tinggi bukan berarti akhir dari ekonomi China,” papar komentar yang dikutip kantor berita resmi Xinhua , merujuk pada pertumbuhan dua digit. Berbagai langkah China selama 2014 dapat mencegah terjadinya penurunan tajam.

Di sisi lain, toleransi Pemerintah China pada pertumbuhan yang lebih rendah itu mengirim pesan bahwa reformasi tetap prioritas utama. “Ini kehilangan terbaik yang dapat kamu miliki dari sudut pandang pesan tersebut. Pemerintah menyatakan, kita tidak terpaku pada target khusus ini, kita meleset dan oke. Itu bagi saya perkembangan yang cukup positif,” ujar Andrew Polk, ekonom di Conference Board, Beijing.

Tetap saja, penurunan ekonomi lebih lanjut di China dapat menghalangi peluang pemulihan pertumbuhan global pada 2015, memberi peran utama khususnya pada komoditas dan teknologi tinggi. Selain itu, Polk menjelaskan, data produk domestik bruto (PDB) sulit disejajarkan dengan sinyal negatif lainnya.

Pasar properti China yang menjadi penggerak utama permintaan di berbagai industri terbukti tidak responsif untuk dukungan kebijakan. Data kredit dari sistem perbankan juga menunjukkan penurunan, sedangkan sistem perbankan bayangan (shadow banking ) semakin meluas. Para pembuat kebijakan juga khawatir dengan potensi siklus deflasi, didorong oleh pen-urunan harga energi, industri yang kelebihan kapasitas dan kekurangan permintaan.

Deflasi sistemik dapat mengakibatkan China bernasib sama dengan Jepang. Ini juga alasan utama mengapa China bersedia mengucurkan lebih banyak dana dalam sistem keuangan. Deflasi sistemik merupakan siklus beracun dalam perekonomian, yaitu saat para investor dan konsumen menunda belanja dengan harapan harga akan turun di masa depan.

Syarifudin
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9889 seconds (0.1#10.140)