OJK Pantau Gugatan Pailit BII Terhadap Dhiva
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang memantau kasus gugatan pailit PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BIIMaybank) terhadap PT Dhiva Inter Sarana. BII menggugat pailit Dhiva atas kredit macet senilai USD59 juta.
“Kami sedang meneliti laporan keuangan BII-Maybank per September 2014. Karena, yang jadi pusat perhatian OJK adalah terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya,” ujar Direktur Pengawas Perbankan II OJK Riyanti AY Sali di Jakarta akhir pekan lalu.
Riyanti menjelaskan, sepanjang Januari hingga September 2014 BII-Maybank hanya membukukan laba Rp340 miliar. Perolehan laba ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1,09 triliun. Dalam penelitian OJK, itu terjadi karena penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dia menjelaskan, OJK sedang menelusuri apakah pengucuran kredit tersebut sudah melewati prosedur yang semestinya. Untuk itu, OJK akan memeriksa semua pejabat bank BII-Maybank yang berwenang sambil menunggu hasil sidang pengadilan niaga.
“Kami akan melihat apakah mekanismenya benar, apakah pemberi persetujuan itu orang yang berwenang. Atau memang karena kondisi perusahaan debitor yang memburuk. Kalau semua sesuai prosedur, ya oke, tidak ada masalah,” tutur Riyanti. Kasus ini menyeruak saat pemilik sekaligus Presiden Direktur PT Dhiva Inter Sarana Richard Setiawan melakukan investasi di luar bisnis inti perusahaan.
Kemudian, pada Desember 2013 Dhiva meminta agar pinjaman/ kreditnya direstrukturisasi. Namun, tim audit internal BII-Maybank yang melakukan verifikasi kredit PT Dhiva sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Kini investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan.
Dari temuan tersebut, BIIMaybank menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat. Pasalnya, PT Dhiva dianggap gagal melunasi kredit senilai total USD59 juta dan diduga kuat ada pelanggaran hukum. Dalam dokumen audit internal BIIMaybank, tercantum jumlah kredit yang telah disalurkan BIIMaybank kepada Dhiva per tanggal 5 Juni 2014 sebesar Rp649,29 miliar.
Dhiva Inter Sarana adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Berdasarkan keterangan dalam laman resmi perusahaan, perusahan ini didirikan pada 21 Juni 2005. Mayoritas produk yang dijual Dhiva diimpor dari China, antara lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng.
Terkait proses hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat tercatat telah mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas PT Dhiva Inter Saranan yang diajukan BII. Dhiva menjadi termohon I dan Ricard Setiawan selaku personal guarantee sebagai termohon II.
Persetujuan hakim atas PKPU yang diajukan BII itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Titiek Tedjaningsih di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat, Senin (19/1) lalu. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa termohon I dan termohon II terbukti memiliki utang kepada BII.
Termohon I terbukti memiliki utang yang gagal bayar dan jatuh tempo senilai USD67,669 juta dan termohon II terbukti memiliki utang kepada BII sebesar Rp22 miliar. Selain berutang kepada BII, Dhiva juga terbukti memiliki utang kepada sejumlah bank senilai ratusan miliar.
Terpisah, Kepala Riset PT MNC Securities Edwin Sebayang menilai kasus gugatan pailit BIIMaybank kepada Dhiva Inter Sarana sedikit banyak memang akan berdampak pada keuangan emiten berkode saham BNII tersebut. Pasalnya, proses penyelesaian gugatan pailit biasanya memakan waktu sekitar tiga hingga enam bulan.
“Jika memang Dhiva itu sudah dipailitkan, langkah selanjutnya adalah melalui pelelangan, dan tergantung besaran utangnya. Setelah dibayar, maka bisa dimasukkan dalam net profit perusahaan,” ujarnya. Edwin kembali memaparkan, perseroan baru bisa meningkatkan laba bersih setelah utang dibayarkan oleh kreditor. Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan /NPL) perseroanjugaotomatis berkurang setelah pembayaran oleh kreditor tersebut.
Sementara, Direktur Perbankan Ritel BII Lani Darmawan menegaskan bahwa kasus ini tidak bersifat sistemik. Kasus ini semata merupakan kasus kredit macet antara bank dan nasabah. “Kami menindaklanjuti sesuai proses hukum,” ujar Lani saat dihubungi kemarin. Dia mengatakan, BII tidak akan mengubah kebijakan kredit, khususnya kesektor migas karena kasus tersebut.
Dia menegaskan, kebijakan kredit sektoral menggunakan analisa sektoral, industri, makro, dan mikroekonomi. “Jadi, bukan hanya berdasarkan satu atau dua kasus saja,” ujarnya. Terlepas dari itu, dia menegaskan bahwa tahun ini, pihaknya fokus untuk menggenjot pendapatan dari bunga dan komisi. Perseroan juga menerapkan risk management secara lebih dalam.
“Tahun lalu kami pikir bukan hanya BII, namun secara umum memang kredit bermasalah atau NPL relatif lebih tinggi dibanding 2013 karena dampak eksternal perbankan,” terangnya.
Rakhmat baihaqi/ Heru febrianto/ Hafid fuad
“Kami sedang meneliti laporan keuangan BII-Maybank per September 2014. Karena, yang jadi pusat perhatian OJK adalah terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya,” ujar Direktur Pengawas Perbankan II OJK Riyanti AY Sali di Jakarta akhir pekan lalu.
Riyanti menjelaskan, sepanjang Januari hingga September 2014 BII-Maybank hanya membukukan laba Rp340 miliar. Perolehan laba ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1,09 triliun. Dalam penelitian OJK, itu terjadi karena penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dia menjelaskan, OJK sedang menelusuri apakah pengucuran kredit tersebut sudah melewati prosedur yang semestinya. Untuk itu, OJK akan memeriksa semua pejabat bank BII-Maybank yang berwenang sambil menunggu hasil sidang pengadilan niaga.
“Kami akan melihat apakah mekanismenya benar, apakah pemberi persetujuan itu orang yang berwenang. Atau memang karena kondisi perusahaan debitor yang memburuk. Kalau semua sesuai prosedur, ya oke, tidak ada masalah,” tutur Riyanti. Kasus ini menyeruak saat pemilik sekaligus Presiden Direktur PT Dhiva Inter Sarana Richard Setiawan melakukan investasi di luar bisnis inti perusahaan.
Kemudian, pada Desember 2013 Dhiva meminta agar pinjaman/ kreditnya direstrukturisasi. Namun, tim audit internal BII-Maybank yang melakukan verifikasi kredit PT Dhiva sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Kini investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan.
Dari temuan tersebut, BIIMaybank menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat. Pasalnya, PT Dhiva dianggap gagal melunasi kredit senilai total USD59 juta dan diduga kuat ada pelanggaran hukum. Dalam dokumen audit internal BIIMaybank, tercantum jumlah kredit yang telah disalurkan BIIMaybank kepada Dhiva per tanggal 5 Juni 2014 sebesar Rp649,29 miliar.
Dhiva Inter Sarana adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Berdasarkan keterangan dalam laman resmi perusahaan, perusahan ini didirikan pada 21 Juni 2005. Mayoritas produk yang dijual Dhiva diimpor dari China, antara lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng.
Terkait proses hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat tercatat telah mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas PT Dhiva Inter Saranan yang diajukan BII. Dhiva menjadi termohon I dan Ricard Setiawan selaku personal guarantee sebagai termohon II.
Persetujuan hakim atas PKPU yang diajukan BII itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Titiek Tedjaningsih di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat, Senin (19/1) lalu. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa termohon I dan termohon II terbukti memiliki utang kepada BII.
Termohon I terbukti memiliki utang yang gagal bayar dan jatuh tempo senilai USD67,669 juta dan termohon II terbukti memiliki utang kepada BII sebesar Rp22 miliar. Selain berutang kepada BII, Dhiva juga terbukti memiliki utang kepada sejumlah bank senilai ratusan miliar.
Terpisah, Kepala Riset PT MNC Securities Edwin Sebayang menilai kasus gugatan pailit BIIMaybank kepada Dhiva Inter Sarana sedikit banyak memang akan berdampak pada keuangan emiten berkode saham BNII tersebut. Pasalnya, proses penyelesaian gugatan pailit biasanya memakan waktu sekitar tiga hingga enam bulan.
“Jika memang Dhiva itu sudah dipailitkan, langkah selanjutnya adalah melalui pelelangan, dan tergantung besaran utangnya. Setelah dibayar, maka bisa dimasukkan dalam net profit perusahaan,” ujarnya. Edwin kembali memaparkan, perseroan baru bisa meningkatkan laba bersih setelah utang dibayarkan oleh kreditor. Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan /NPL) perseroanjugaotomatis berkurang setelah pembayaran oleh kreditor tersebut.
Sementara, Direktur Perbankan Ritel BII Lani Darmawan menegaskan bahwa kasus ini tidak bersifat sistemik. Kasus ini semata merupakan kasus kredit macet antara bank dan nasabah. “Kami menindaklanjuti sesuai proses hukum,” ujar Lani saat dihubungi kemarin. Dia mengatakan, BII tidak akan mengubah kebijakan kredit, khususnya kesektor migas karena kasus tersebut.
Dia menegaskan, kebijakan kredit sektoral menggunakan analisa sektoral, industri, makro, dan mikroekonomi. “Jadi, bukan hanya berdasarkan satu atau dua kasus saja,” ujarnya. Terlepas dari itu, dia menegaskan bahwa tahun ini, pihaknya fokus untuk menggenjot pendapatan dari bunga dan komisi. Perseroan juga menerapkan risk management secara lebih dalam.
“Tahun lalu kami pikir bukan hanya BII, namun secara umum memang kredit bermasalah atau NPL relatif lebih tinggi dibanding 2013 karena dampak eksternal perbankan,” terangnya.
Rakhmat baihaqi/ Heru febrianto/ Hafid fuad
(ars)